Di Arab Saudi, terdapat sebuah masjid megah nan agung dan kaya akan sejarah Islam. Tempat ibadah itu bernama Masjidil Haram. Di sana, umat muslim dilarang melakukan hal-hal tertentu yang berada di luar koridor peribadatan.
Menurut hadist riwayat Bukhari dan Muslim, ketentuan-ketentuan yang haram dilakukan di Masjidil Haram antara lain membawa senjata, berburu atau membunuh hewan, hingga mematahkan tumbuhan. Melanggarnya, tentu sama saja mempermainkan ketentuan Tuhan. Jelas, konsekuensinya tak main-main yakni dosa besar. Sedikit banyaknya penjelasan mengenai makna haram di atas bisa kita giring ke pentas sepakbola.
Di lapangan sepakbola, ada juga sebuah tempat atau area yang dikategorikan ‘haram’. Tepatnya ada di zona sekitar gawang. Kawasan ‘haram’ ini dibatasi oleh garis putih berbentuk kotak yang mengelilingi gawang dan kita kenal dengan area kotak penalti.
Kenapa disebut haram? Karena pemain yang bertugas mempertahankan gawang ‘diharamkan’ menyentuh (cenderung melakukan pelanggaran) pesepakbola yang bertugas mencetak gol. Ragam sentuhan baik dengan tangan, kaki, bahkan jidat, tidak diperbolehkan.
Perbuatan menendang, memukul, mendorong, menjitak, menepuk, menyenggol hingga mencolek pun dapat diganjar dosa besar. Dalam konteks sepakbola, dosa besar itu adalah tendangan penalti.
Pertandingan Brighton & Hove Albion kontra Liverpool yang sarat kontroversi mengilhami saya menulis ini. Dari pertandingan tersebut, salah satu yang perlu disorot adalah penalti yang diberikan oleh wasit Stuart Attwell untuk Brighton.
Saat itu, bola liar yang berada di kotak penalti Liverpool hendak disapu oleh Andrew Robertson. Penyerang Brighton, Danny Welbeck, lantas mengulurkan kaki hendak menjangkau bola. Si kulit bundar pada akhirnya berhasil disentuh Welbeck, tetapi ayunan kaki Robertson menghantam ujung kaki Welbeck. Menurut penjelasan di paragraf keenam, bek kiri The Reds itu sudah melakukan dosa besar.
Welbeck sempat goyah namun masih tetap bisa berdiri. Entah virus apa yang tiba-tiba menyerang saraf motorik juru gedor The Seagulls tersebut sehingga ia ‘lumpuh’ seketika dan terjatuh. Tak lupa, ‘kelumpuhannya’ itu dibarengi dengan mimik ringisan menahan sakit. Pertandingan sempat berjalan beberapa detik, kemudian diberhentikan.
Attwell yang menjadi hakim pertandingan memutuskan untuk melihat Video Assistance Referee (VAR). Sang pengadil lapangan lalu menunjuk titik putih karena menganggap Robertson telah melakukan pelanggaran kepada Welbeck. Pascal Gross yang maju sebagai algojo mampu menunaikan kewajibannya dengan sempurna. Papan skor pun berubah menjadi 1-1.
Perdebatan pun muncul di media sosial. Beberapa warganet setuju dengan keputusan Attwell, tetapi tak sedikit yang mempertanyakannya.
“Jika Anda ingat VAR diterapkan untuk kesalahan yang jelas. Hanya karena ada kontak tidak berarti itu pelanggaran. Permainan (sepakbola) adalah permainan fisik,” kata eks wasit Liga Inggris, Peter Walton, seperti dilansir dari Liverpool Echo.
VAR Mengubah Segalanya
Semua berubah saat VAR mulai menginvansi dunia sepakbola, utamanya di liga-liga Eropa. Entah mengapa, saya sendiri merasa bahwa sepakbola kian sensitif semenjak ada teknologi yang diproyeksikan sebagai alat bantu untuk wasit guna mengambil keputusan tersebut. Kasarnya, sepakbola seperti kehilangan jiwa maskulinnya.
Padahal, sepakbola terlahir dari kalangan kelas pekerja saat era industrialisasi abad ke-19. Mulai dari Manchester United yang didirikan oleh pekerja Lancashire & Yorkshire Railway hingga klub senam buruh pabrik farmasi Bayer 04 yang menjadi cikal bakal Bayer Leverkusen.
Buruh notabene berwatak keras, kuat, dan tahan banting. Tentu colekan dan sentuhan lembut jemari sama sekali tak berarti apa-apa. Berguling sampai merengek kesakitan merupakan perbuatan yang memalukan bagi para pekerja. Tangguh adalah kata yang paling pas untuk menggambarkan sosok buruh.
Sebelum sepakbola mengenal VAR. Pemain yang tangguh di kotak penalti bertebaran di mana-mana. Tekel keras sudah menjadi makanan sehari-hari. Jika sudah mendapatkan bola di area 12 pas, tujuannya hanya satu: bagaimana caranya menceploskan bola ke gawang. Bukan malah bertindak culas dengan berguling-guling di lapangan agar wasit merasa iba dan memberi hadiah penalti.
Menurut How They Play, tugas suci seorang striker yakni mencetak gol. “Penyerang sering kali mendapatkan perhatian (lebih) karena peran mereka dirancang dalam posisi mencetak gol.”
Dahulu, ada Ronaldo dan Diego Maradona yang menolak terjatuh meski dihantam lawan di kotak penalti. Badan serta kaki mereka sudah terbiasa dengan tekel dan sikut. Karena sesungguhnya akting bukan hal yang pantas bagi dewa sepakbola.
Setelah era dua legenda itu, muncul nama Lionel Messi dan Miroslav Klose. Keduanya tetap melanjutkan giringan meski menerima tarikan baju dan dorongan lawan. Banyak sekali video di YouTube yang menggambarkan keduanya merupakan pemain berkategori pesepakbola anti-diving.
Tentunya, VAR dan penurunan standarisasi kategori pelanggaran di kotak penalti menghanguskan personalitas ‘keras’ yang dibawa sang pionir (buruh) ketika melahirkan olahraga bernama sepakbola. VAR telah menghilangkan sejumlah makna sepakbola yang kita kenal dengan kontak fisiknya.
Di antaranya momen saling dorong antar pemain, hingga tekel-tekel keras baik itu di luar maupun di dalam kotak penalti. Jika dulu pemain bertahan berani menyikut dan menempel ketat lawan, saat ini mereka tak mau ambil risiko. Lebih baik mengambil langkah pragmatis daripada diganjar penalti bagi lawan.
Kadar atau standarisasi kontak fisik semakin menurun akhir-akhir ini. Hanya sedikit sentuhan ke lawan, peluit wasit sudah berbunyi. Hanya tipis saja colekan jari, papan VAR menampilkan kata ‘penalti’. Anehnya, sentuhan selembut bayi tersebut tak mendapatkan hukuman bila dilakukan di luar penalti.
Karena fenomena ini, membuat para pemain yang timnya sedang dalam posisi menyerang, berusaha terpental ke sana ke mari demi mendapatkan hadiah penalti dari wasit. Sangat jauh berbeda dengan tugas utama striker di sebuah tim. Usai terpental, korban dan rekan-rekannya berusaha berteriak, merengek, dan mengepung wasit. Korps baju hitam yang semula teguh akan pendiriannya untuk tidak memberikan penalti sering berubah pikiran.
Jika menelisik dua musim terakhir, ada tiga pemain yang paling sering diuntungkan karena ‘sentuhan lembut’ itu. Pertama Sadio Mane. Pemain berpaspor Senegal ini menjadi penyelamat Liverpool saat melawan Leicester City musim lalu.
Pemain The Foxes, Marc Albrighton, menyentuh tumit Mane. Sebetulnya Mane bisa saja tak terjatuh. Karena kesempatan di depan mata, pikirnya, Mane memutuskan terjungkal.
Selain rajin mencetak gol, Mohamed Salah juga tekun menyelam di kotak penalti. Colekan jemari pemain lawan ke badannya bikin ia mudah terjatuh seolah ada makhluk tak kasat mata yang mendorongnya. Newcastle United, Arsenal, West Ham, hingga Brighton sudah menjadi korban aksi gaib Salah ini.
Lantaran aksinya, ada banyak lagu parodi di YouTube yang diunggah sebagai ‘apresiasi’ atas lemahnya keseimbangan tubuh Salah ketika berada di kotak penalti. Salah satunya lagu ‘Dives Like Salah’ yang diunggah Jim Daly Comedy.
Terakhir ada algojo penalti The Red Devils, Bruno Fernandes. Selain teka-teki ada tidaknya kota bernama Saranjana di Kalimantan Selatan, hadiah penalti bagi United ketika Bruno terjatuh usai bertabrakan dengan pemain Aston Villa juga masih menjadi misteri yang belum terungkap.
Dari tayangan ulang, jelas Bruno yang menginjak kaki Ezri Konsa. Namun anehnya, malah Bruno yang berguling-guling sambil memegangi kakinya yang seolah-olah remuk usai ditebas Roy Keane atau Patrick Vieira.
Federasi sepakbola Inggris (FA) dan asosiasi sepakbola lainnya perlu mengevaluasi lagi aturan kontak fisik di kotak penalti. Karena bila ‘insiden-insiden’ ini terus terjadi, maka kenikmatan menonton sepakbola akan terus berkurang. Nggak ada gregetnya kalau kata Mad Dog. Penonton tak lagi antusias bila tak ada lagi benturan antar pemain. Bila tak mau ada kontak fisik, ya, lebih baik berganti profesi saja menjadi pemain bola bekel.