Kota, Klub, dan Pasoepati: Harapan di Balik Catatan

Usaha mendaraskan sejarah ke dalam lembar-lembar buku membutuhkan usaha yang tidak ringan. Dibutuhkan ketelatenan, kegigihan, dan kecintaan untuk memetakan tanggal-tanggal dan peristiwa yang kadang hanya membekas dalam ingatan satu dua orang. Devi Fitroh Laily, mahasiswi Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta berhasil melakukannya.

Kota, Klub, dan Pasoepati: Satu Dekade Dinamika Supoter Surakarta merupakan hasil peneltian untuk keperluan skripsi yang diperam kembali menjadi sebuah buku. Melihat latar belakang penyusunannya, maka tidak heran apabila buku ini berisisi catatan sejarah yang disokong penelitian ideal.

Buku ini juga semakin kaya apabila melihat latar belakang penulisnya yang lulusan studi Sosiologi. Benar saja, dua bab dalam buku ini membahas bagaimana sebuah klub tumbuh di tengah kota, yang geliat budayanya begitu kental, namun dinamis.

Surakarta adalah kota dengan corak sejarah kerajaan. Kota ini berkembang dengan cepat di tengah nuansa kolonial ketika jalur kereta api mengular membelah kota.

Jalur kereta api tersebut menghubungkan Kota Semarang dengan Surakarta. Hasil bumi menjadi lebih mudah diangkut lantaran Surakarta menjadi seperti titik niaga dari kota-kota seperti Surabaya, Madiun, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta.

Selain memicu perkembangan dari sisi ekonomi, kolonial Belanda juga memperkenalkan sepak bola. Maka, selanjutnya adalah sebuah sejarah yang mencatat bahwa sepak bola menjadi olahraga paling populer di Nusantara.

Pada awalnya, pribumi malu-malu untuk ikut menikmati asyiknya sepak bola. mereka hanya menjadi penonton. Namun, daya tarik si kulit bulat nampaknya tak mampu ditampik.

Maka pada tahun 1923, Vorslandsche Voetbal Bond (VVB) lahir. Bond ini merupakan cikal bakal Persatuan Sepak Bola Indonesia Surakarta (PERSIS). PERSIS Solo sempat mencecap kejayaannya pada medio 1930-an, meski akhirnya meredup ketika Jepang menguasai. Sejak saat itu, prestasi PERSIS anjlok dan perlahan kehilangan pesonanya, sampai akhirnya Arseto Solo hadir di Kota Solo.

BACA JUGA:  Kota, Klub, dan Pasoepati

Klub baru ini langsung mendapatkan cinta dari publik Solo yang sudah menahan dahaga prestasi sejak lama. Sayang, Arseto sendiri tidak berumur panjang.

Geger 1998 juga menularkan dampaknya ke kehidupan sepak bola. ketika Arseto tumbang, Pelita Jaya hadir menyapa wong Solo. Pada masa Pelita Solo inilah wadah suporter terbentuk dan dinamakan Pasoepati dengan Mayor Haristanto didapuk sebagai koordinator (pada kemudian hari, tampuk tertinggi Pasoepati disebut Presiden).

Penggila sepak bola Solo kembali kesepian ketika Pelita Solo memutuskan hijrah ke Banten. Gairah bola yang sempat meredup kembali menyala ketika Persijatim menyapa. Romantisme warga Solo dengan klub yang sempat menggunakan nama Persijatim Solo FC ini tidak langgeng. Persijatim Solo FC akhirnya hengkang ke Palembang dan mengubah kulitnya menjadi Sriwijaya FC.

Di tengah kesedihan ini, PERSIS Solo, artefak berharga milik brayat Solo bangkit kembali. Dukungan dari warga Solo mulai mengalir. Kota Bengawan Solo tersebut akhirnya menemukan cinta sejatinya.

Cinta lama yang pernah ditinggalkan karena surutnya prestasi. Klop, PERSIS Solo dan suporternya mampu sama-sama berkembang. Dinamika kota dan sejarah yang kental membuat keduanya semakin mesra. Basis massa pendukung PERSIS Solo pun semakin beragam setelah Pasoepati Campus dan Pasoepati Ultras lahir mengiringi induknya.

Jalinan sejarah dan dinamika kisah tersebut dipetakan dengan cukup apik oleh Devi Fitroh Laily melaui buku bersampul hitam dan merah ini. Usaha menjaga ingatan seperti ini merupakan pilihan yang harus terus diyakini sebab cinta memang harus terus digairahkan, bukan?

Dari bagian pembahasan hubungan sebuah klub, kota, dan manusia (bab 1 dan 2), hingga catatan-catatan sejarah pada bab 3 terasa kegembiraan penulis. Sebuah kegembiraan akan cintanya kepada klub yang boleh diterjemahkan sebagai sebuah harapan.

BACA JUGA:  Persela (Memperteguh) Lamongan

PERSIS solo dan Pasoepati merupakan dua insan yang harus terus berjalan beriringan. Keduanya sudah melewati rekam sejarah yang diwarnai pasang dan surut. Kesimpulanya, dari deskripsi akan dinamika manusia dan rekam sejarah, buku ini merupakan harapan seorang suporter yang ingin terus berkembang bersama klub terkasihnya.

Memang, buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian untuk keperluan skripsi. Namun, sayangnya, proses menjadikannya sebuah buku tidak berjalan dengan rapi.

Masih banyak ditemui kesalahan penulisan yang sangat mengganggu. Selain itu, salah satu kesalahan yang seharusnya tidak boleh dilakukan adalah kesalahan pemberian keterangan foto pada halaman 95. Foto merupakan bukti sejarah dan penegas identitas, jadi seharusnya editorial dilakukan lebih teliti.

Kritik ini juga berlaku untuk banyaknya kesalahan penulisan dan data yang tentu mengganggu kenyamanan membaca catatan sejarah ini.

Apabila sesuai dengan kalimat penulis pada Kata Pengantar, bahwa buku ini merupakan buku pertama dari program Soerakarta Football History, maka sudah seharusnya perbaikan dalam aspek editorial perlu lebih diseriuskan.

Pada akhirnya, seperti kata Fajar Junaedi pada bagian Epilog, bahwa historia magistra vitae atau sejarah adalah guru terbaik, buku ini merupakan bagian dari sejarah itu sendiri. Sebuah catatan yang harus terus digiatkan, demi terjaganya sumbu ingatan manusia akan kenangan yang terkadang begitu pendek.

Data Buku

  • Judul buku: Kota, Klub, dan Pasoepati: Satu Dekade Dinamika Supoter Surakarta
  • Pengarang: Devi Fitroh Laily
  • Penerbit: Buku Litera
  • Tahun terbit: Cetakan pertama, 2016
  • Dimensi buku: 14x21cm xvii, 122 halaman
  • Harga buku: Rp50,000

 

Komentar
Koki @arsenalskitchen.