Lafran Pribadi, Perserikatan, dan Galatama

Sosoknya begitu kukenal akrab ketika masih melatih Perserikatan Sepak Bola Sleman (PSS) musim 2013. Kala itu, Lafran Pribadi merupakan asisten Yusack Sutanto sebelum ia dipromosikan menjadi pelatih kepala usai mundurnya mantan pelatih Persika Karawang tersebut pada pertengahan musim.

Naik jabatan dan diberi target membawa Laskar Sembada menjuarai Divisi Utama Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) jelas bukan pekerjaan mudah. Tapi, pengalaman panjang di kancah persepakbolaan Indonesia telah menempa Lafran untuk teguh dalam mengemban amanah dan berusaha sekuat tenaga mewujudkan target yang juga menjadi mimpi publik sepak bola Sleman.

Singkat cerita, pelatih yang menempa diri sebagai pemain sepak bola di klub lokal Angkatan Muda Seyegan (AMS) itu mampu mewujudkan harapan menjadi kenyataan. PSS diantarkannya menjadi juara usai mengandaskan perlawanan Lampung FC 2-1 di rumah sendiri, stadion Maguwoharjo, Sleman.

Bagi Lafran Pribadi, gelar tersebut melengkapi pencapaian mengesankannya sebagai pemain. Ketika masih menjadi pemain, Lafran ikut serta mengantarkan Super Elang Jawa promosi ke Divisi Utama lima belas tahun silam.

Perjalanan karir sebagai pemain

Pria kelahiran Sleman, 16 Juli 1968 ini mengawali karir sebagai pesepak bola pada 1984. Ketika itu, dia bermain untuk tim junior. Melihat bakat sepak bolanya yang cukup bagus, pada usia yang baru 16 tahun, Lafran kerap ikut latihan bersama tim senior. Jadilah dia bermain untuk tim junior sekaligus senior pada satu waktu.

Berkat kemampuannya, dia dipanggil untuk memerkuat tim sepak bola Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang mengikuti Pra PON (Pekan Olahraga Nasional). Tim Pra PON DIY saat itu dilatih oleh duet pelatih, Iswadi Idris dan Dananjaya. Dua sosok itulah yang kemudian memengaruhi karir sepak bola Lafran.

Sempat ditawari untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) usai menamatkan pendidikan sekolah menengah atas, Lafran akhirnya menolak. Alasannya, dia sudah diterima kuliah di IKIP yang kini kita kenal dengan nama Universitas Negeri Yogyakarta. Dia mengambil pendidikan ilmu olahraga dan masuk tahun 1989.

Tidak bisa jauh dari sepak bola, Lafran masih berlatih dengan AMS maupun PSS. Tapi, kesibukan belajar di perguruan tinggi menyita banyak waktunya sehingga tidak bisa seleluasa dulu untuk bisa bermain sepak bola. Di tengah penyesuaian diri dengan lingkungan kampus, tawaran itu datang.

Iswadi Idris menawari Lafran Pribadi untuk bergabung dengan Perkesa Mataram. Klub yang di kemudian hari sempat berganti nama menjadi Mataram Putra itu memberi tawaran yang sulit ditolak. Bermain di Liga Sepak bola Utama (Galatama) yang merupakan kompetisi semi-profesional tingkat nasional jelas merupakan harapan banyak pesepak bola. Apalagi, sang pelatih dan manajemen memberinya kelonggaran untuk menyesuaikan latihan dengan jam kuliah.

Perserikatan dan Galatama

“Waktu itu main di Galatama ya ada kebanggaan tersendiri. Semuanya profesional mas, mirip sekarang. Latihan sehari dua kali, ada asrama untuk pemain, gaji bagus, programnya jelas,” kenang Lafran mengenai masa-masanya di Perkesa Mataram.

Menurut Lafran, Galatama ketika itu menjanjikan sepak bola yang lebih tertata. Bagi pemain, itu bagus untuk pengembangan diri. Hal ini berbeda dengan Perserikatan yang latihan biasanya baru menjelang kompetisi.

“Saat main untuk Perkesa ya masih sering main untuk PSS. Jadwal Perserikatan itu kan tidak panjang, paling hanya berapa bulan. Beda dengan sekarang. Pemain juga biasanya baru berkumpul menjelang kompetisi dan latihannya juga biasanya tidak setiap hari,” cerita Lafran mengenai kompetisi Perserikatan.

Tapi, semuanya berubah setelah ada penyatuan kompetisi Perserikatan dengan Galatama. Di Indonesia kemudian hanya dikenal satu kompetisi, yaitu Liga Indonesia. Pesertanya merupakan gabungan klub-klub dari kedua kompetisi tersebut. Lafran kemudian keluar dari Mataram Putra yang kondisi internalnya sudah mulai limbung.

Pelatih yang kini menjadi asisten Jaya Hartono di PSS ini memilih bermain untuk PSIR Rembang. Sayangnya, kenangannya tidak mengenakkan. Pada pertengahan musim Lafran mengalami cedera parah pada lututnya yang mengakibatkannya absen selama sekitar sepuluh bulan sepanjang tahun 1995.

Setelah sempat trauma untuk kembali ke lapangan hijau, berkat pengobatan alternatif dan dukungan dari keluarga, Lafran memutuskan untuk menendang bola kembali. Dia bergabung dengan PSIM Yogyakarta pada 1996/1997. Selanjutnya, dia kembali ke PSS pada tahun 1998 hingga kemudian pensiun pada tahun 2000 setelah mengantarkan Laskar Sembada promosi ke Divisi Utama.

 

Komentar

This website uses cookies.