Copa America Centenario: Lionel Messi dan Urgensi Gelar bagi Argentina

Membayangkan Lionel Messi mengalami dahaga gelar adalah salah satu hal paling surealis yang bisa kita bayangkan sebagai penggemar sepak bola. Karier Messi ditakdirkan semesta selalu bergelimang gelar dan kejayaan.

Ia akan berlari melewati lawan, menggocek bola beberapa kali, dan meninggalkan jurnalis dan para awak media dalam senyum takjub yang gembira usai La Pulga mencetak gol dengan cara yang brilian.

Media dan kita, para kaum awam di sepak bola akan mewajarkan kenapa Messi selalu gagal bersama timnas. Ini bukan kutukan atau hal konyol yang berbau takhayul.

Semua bisa dijelaskan dan dicari eksplanasi logisnya. Mulai dari minimnya kualitas penjaga gawang Argentina yang jarang diisi oleh kiper andal, sampai kurangnya kontribusi para pemain di belakang Messi.

Tapi, peran Xavi, Sergio Busquets, dan Iniesta, tiga poros utama yang menopang kejayaan Messi bersama Barcelona, tentu bisa diduplikasi perannya dengan baik oleh nama-nama semisal Angel Di Maria sampai Ever Banega di timnas.

Tandem di lini depan semisal Ronaldinho, Samuel Eto’o hingga Luis Suarez dan Neymar tentu tidak akan sulit ditemukan di La Albiceleste. Argentina bukan dan tidak pernah krisis nama besar di sektor penyerang. Sergio Aguero dan Gonzalo Higuain, keduanya ada dan siap di sana untuk menopang kualitas superhuman La Pulga.

Pertanyaan besarnya, kenapa Messi masih saja tidak pernah juara bersama timnas senior Argentina?

Dahaga bersama timnas adalah satu dari sekian noda yang kelak akan ditinggalkan Messi jikalau ia pensiun dari sepak bola. Orang akan mewajarkan semua catatan surealisnya tentang jumlah gol dan gelar Ballon D’Or-nya yang jauh lebih banyak dari trofi Liga Inggris Arsenal sejak 2004, tapi catatan nirgelar bersama timnas akan menjadi hutang dan titik lemah Messi perihal warisan bagi negaranya.

Kalau sepak bola brilian yang dimainkannya bersama Blaugrana selama beberapa tahun ini tidak bisa direplika dengan baik di timnas, mungkin, sudah saatnya bagi Messi dan Argentina untuk bersatu padu menjadi komplotan pragmatis yang bermain untuk gelar, bukan untuk kesenangan semata.

Di salah satu catatan wawancaranya, Si Kutu selalu menekankan kecintaannya akan sepak bola. Ia akan memotong jatah waktu liburan ke Rosario dan kembali ke komplek latihan Barcelona hanya untuk sesegera mungkin berlatih dan bermain bola.

BACA JUGA:  Raul Bobadilla: Si Bengal dari Argentina di Timnas Paraguay

Sepak bola adalah permainan yang ia cintai lebih dari gol dan gelontoran gelar individu yang diraihnya. Permainan, yang konon akan ia hentikan apabila ia tidak lagi menyukainya.

Permainan yang akan ia tinggalkan apabila ia tak lagi menemukan kenyamanan saat menahan bola dengan sisi luar kaki kirinya, atau saat menurunkan pundaknya sedikit untuk mengecoh gerakan lawan hingga saat mencungkil bola melewati kepala kiper lawan.

Tapi, mungkinkah Messi pensiun dari timnas dengan catatan nirgelar?

Suami dari Antonella Roccuzzo ini tentu bukan pemain medioker. Ia juga bukan Zlatan Ibrahimovic, pemain istimewa yang kesulitan untuk juara bersama timnas mediokernya di Swedia.

Ia tentu tak sebanding juga dengan Cristiano Ronaldo yang tandem lini depannya di timnas berupa sosok Ederzito hingga Hugo Almeida. Ketika Ronaldo memiliki tandem medioker di Portugal, Messi masih memiliki hak istimewa dengan bergelimang para pemain bintang di sekitarnya.

Ada Aguero, penyerang kecil nan kuat yang menjadi jaminan gol bagi Manchester City selama bertahun-tahun. Ada Di Maria, malaikat kidal yang kekuatan kaki kirinya sama hebatnya dengan Messi. Ia juga punya mentor yang kuat dan berjiwa hebat dalam sosok Javier Mascherano di belakang.

Pun kalau kapabilitas taktik dari pelatih yang menjadi kambing hitam. Sekali lagi, semuanya belum tentu benar.

Dari era Jose Pekerman di Piala Dunia 2006 sampai Gerardo Martino saat ini, semuanya adalah pelatih yang cukup punya nama di Amerika Latin. Praktis, hanya Diego Maradona, pelatih medioker yang pernah menangani Messi di Piala Dunia 2010 dan berujung pembantaian oleh generasi emas Jerman saat itu, yang ironisnya, empat tahun berselang mengalahkan Messi dan Argentina kembali di final 2014.

Martino memang bukan nama besar, pun tidak memiliki kontribusi taktikal yang baik. Catatan nirgelarnya bersama Barcelona yang berujung pemecatan adalah jawabannya, tapi sebentar, bukankah bagi Messi, taktik bisa dikamuflasekan dengan kekuatan low centre of gravity yang dimiliki tubuh pendeknya itu? Atau oleh kemampuan drop shoulder-nya yang istimewa itu?

Messi adalah contoh paripurna seorang needle player. Ia adalah Maradona di zaman modern. Terlebih, ia kapten utama di timnas.

***

Sudah saatnya bagi Messi, dan Tata Martino, untuk bermain taktis dan pragmatis di Copa America Centenario yang digelar di Amerika Serikat nanti. Messi bisa menyimpan bualan sepak bola menyenangkan yang menjadi kesukaannya untuk dongeng di akhir kariernya sebagai penutup cerita yang manis kalau kelak ia membuat sebuah otobiografi selepas pensiun.

BACA JUGA:  Real Madrid 0-3 Barcelona: Sebuah Momen yang Menentukan Hasil Akhir

Albiceleste punya lebih dari cukup pemain untuk bermain seimbang dan stabil. Dari rilis skuat resmi timnas Argentina, keputusan memainkan Paulo Dybala bersama timnas U-23 untuk Olimpiade tentu patut disesalkan (Juventus kemudian tidak mengizinkan Dybala berlaga di Olimpiade Rio 2016, red.), namun musim ini, dua nama penyerang hebat di Eropa, ada di skuat Argentina.

Higuain dan Aguero adalah jaminan gol yang paten, dan Messi, seperti biasa, bisa ditempatkan dimanapun itu selama ia diberi ruang berkreasi yang pas dan nyaman. Lagipula, apa salahnya memainkan Messi sebagai pionir utama untuk serangan balik?

Martino perlu untuk paham ini. Ia punya Di Maria, Erik Lamela, dan Ezequiel Lavezzi, yang kecepatannya bisa membantu progresi serangan balik Argentina. Bahkan, Messi dan Aguero yang pergerakannya begitu licin di sepertiga akhir akan sangat membantu bila menyerang dari sisi halfspace lawan.

Tim ini juga punya pengatur ritme dan penyalur bola yang baik dalam diri Banega hingga Nico Gaitan. Juga masih ada unsung hero milik Atletico Madrid musim ini, Augusto Fernandez yang bisa menjadi breaker tangguh di belakang Banega dan Di Maria. Dan jangan lupa, tembok kokoh Mascherano siap menjaga mereka di belakang.

Argentina terakhir menjuarai Copa America pada 1993, sebuah puasa gelar yang patut disesalkan dari sebuah timnas yang berisi barisan nama-nama tenar di jagat sepak bola dunia.

Nirgelar yang ditorehkan skuat generasi emas ini akan meninggalkan noda yang luar biasa menyengat dan menyebalkan. Terlebih lagi, mereka punya Lionel Messi. Satu pemain istimewa yang belum tentu akan hadir dalam sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan.

Generasi emas Juan Roman Riquelme pernah mengalami kegagalan itu. Romantisme Riquelme dikenang sebagai sepak bola manis yang tak berujung gelar, bahkan ditutup kegagalan pahit akibat blunder Pekerman di Piala Dunia 2006 lalu.

Messi lebih dari mampu dan pantas untuk mempersembahkan gelar bagi Albiceleste, pertanyaannya bukan bagaimana, tapi, kapan?

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.