Liverpool, Sang Spesialis Drama

Jauhnya jarak yang terbentang antara Liverpool dan Manchester City di papan klasemen bikin kubu The Reds tak terlewat khawatir selepas bermain imbang dengan Everton di partai Derbi Merseyside pada pekan ke-31 Liga Primer Inggris (21/6). Keyakinan mereka bahwa titel Liga Primer Inggris akan datang ke pelukan tetap besar.

Benar saja, kemenangan 4-0 dari Crystal Palace (24/6) yang diikuti kekalahan City dari Chelsea via kedudukan 1-2 (25/6) menahbiskan anak asuh Jurgen Klopp sebagai tim terbaik di tanah Inggris. Selisih 23 poin yang memisahkan kedua tim dengan tujuh pekan tersisa membuat The Citizens takkan mampu menyalip Liverpool.

Perasaan gembira sedang meluap-luap di dada suporter The Reds. Pasalnya, mereka sudah menanti selama tiga dasawarsa untuk melihat tim kesayangannya kembali mengangkat gelar liga. Sebuah penantian panjang yang melatih kesabaran sekaligus memuakkan.

Bagi fans Liverpool yang jeli melihat perjalanan Liverpool selepas tahun 2005, tentu ada yang spesial dari tim ini. Menyaksikan perjalanan klub yang berkandang di Stadion Anfield tersebut rasanya seperti menonton tayangan drama yang menaik-turunkan emosi. Tak ayal, fans Liverpool harus punya jantung yang kuat karena timnya selalu bikin deg-degan.

Maka pantas bila saya menyebut kampiun Liga Champions enam kali itu sebagai tim spesialis drama karena berulangkali menampilkan kisah-kisah dramatis di banyak laga yang dilakoni. Setidaknya ada dua faktor yang membuat Georginio Wijnaldum dan kolega layak diberi gelar sebagai tim paling dramatis sedunia.

Faktor tersebut adalah kegagalan dan keberhasilan Liverpool dalam memenangkan sebuah gelar maupun pertandingan. Mereka laksana perpaduan dari keajaiban gol menit akhir Manchester United era Sir Alex Ferguson, blunder-blunder konyol khas Arsenal, ketidakberuntungan Tottenham Hotspur, hingga permainan ajaib nan memikat mata seperti yang biasa disuguhkan City.

Kegagalan yang Tak Kunjung Usai

Menukil kalimat Sapardi Djoko Damono, mungkin tak ada yang lebih tabah dari suporter Liverpool di muka Bumi ini. Berkali-kali mereka dikecewakan di detik-detik akhir, tapi mereka tetap setia memberi dukungan bagi tim kesayangannya.

BACA JUGA:  Jauhkan Sepakbola Dari Rasisme

Final Liga Champions 2006/2007 merupakan episode pertama. Berjumpa di Athena, kala itu, AC Milan berhasil membalas kegagalan mereka dua tahun sebelumnya di Istanbul. Padahal materi pemain The Reds disebut-sebut lebih prima ketimbang kejayaan musim 2004/2005.

Musim 2008/2009, Liverpool berpeluang mengakhiri puasa gelarnya di Liga Primer Inggris. Duo Steven Gerrard dan Fernando Torres jadi simbol kedigdayaan mereka saat itu. Namun apes, upaya merebut tahta tim nomor satu di Inggris buyar di tengah jalan. Salah satu momen penyebabnya tentulah hasil imbang 4-4 dengan Arsenal di mana Andriy Arshavin membukukan poker alias empat gol buat The Gunners.

Kisah serupa juga muncul di musim 2011/2012. Kendati terseok-seok di Liga Primer Inggris, Liverpool masih mampu menjejak final Piala FA dan Piala Liga. Sayang, di ajang pertama mereka keok dari Chelsea setelah gol-gol dari Ramires dan Didier Drogba hanya bisa dibalas sebiji gol Andy Carroll.

Musim 2013/2014 merupakan tahun paling mengenaskan bagi Liverpool. Keunggulan satu poin dari City di papan klasemen pada pengujung kompetisi sirna gara-gara tragedi terpelestnya Gerrard saat Liverpool berjumpa Chelsea. Kesialan itu berlanjut saat mereka diimbangi Palace dengan skor 3-3 meski unggul telak terlebih dahulu.

Pasca-tragedi itu, The Reds ditinggal Raheem Sterling yang pindah ke City dan Luis Suarez yang menyeberang ke Barcelona. Mujur, ada sedikit asa yang tumbuh di Melwood, markas latihan klub, saat Klopp datang sebagai juru taktik yang baru.

Walau diwarnai sepasang kegagalan yaitu keok di final Piala Liga dan Liga Europa musim 2015/2016, keyakinan fans bahwa Liverpool akan bangkit tetap menyesaki dada. Terlebih, Fenway Sports Group (FSG) sebagai pemilik klub memperlihatkan determinasinya buat membangkitkan tim.

BACA JUGA:  Malam Penuh Sukacita di Moskow

Akan tetapi, kebangkitan tak bisa dilakukan dengan mudah. Liverpool masih harus mencicipi pahitnya kegagalan usai tumbang di tangan Real Madrid pada final Liga Champions 2017/2018. Dua blunder Loris Karius dan cederanya Mohamed Salah jadi gambaran utama ketidakberdayaan The Reds di momen tersebut.

Sementara di musim 2018/2019, Wijnaldum dan kawan-kawan juga harus puas menjadi runner up usai finis di posisi dua klasemen akhir, berselisih satu angka saja dari City yang memeluk gelar Liga Primer Inggris keempatnya dalam rentang sedekade terakhir.

Keberhasilan Selalu Diiringi Perjuangan Keras

Fans Liverpool memang tidak pernah menangis, tapi hatinya berdarah-darah. Meminjam kalimat almarhum Rusdi Mathari, kira-kira memang begitulah keadaan fans The Reds. Keberhasilan yang mereka raih selama ini selalu diiringi perjuangan keras sampai detik-detik akhir.

Gelar Liga Champions 2004/2005, Piala FA 2005/2006 sampai Piala Liga 2011/2012 diraih dengan cara heroik nan dramatis. Seolah-olah, Liverpool ogah memenangi sesuatu jika tak ditempuh dengan cara seperti itu.

Tatkala menjuarai Liga Champions 2018/2019 pun, Liverpool harus melakukan comeback fantastis di semifinal kontra Barcelona. Kalah di pertemuan pertama dengan skor 0-3, The Reds menang 4-0 dalam laga kedua sehingga berhak melaju ke final.

Kesuksesan menggenggam trofi Liga Primer Inggris musim 2019/2020 pun tak bisa dilepaskan dari momen-momen dramatis. Kemenangan-kemenangan krusial dari rival berat seperti Arsenal, Chelsea, City, Tottenham, dan United jadi kunci melenggangnya mereka di papan klasemen. Apalagi Wijnaldum dan kawan-kawan hanya sekali kalah musim ini yaitu melawan Watford pada pekan ke-28.

Menurut saya, selama 15 tahun terakhir, tak ada tim selain Liverpool yang keberhasilannya meraup prestasi maupun kegagalan mendapat trofi selalu dihiasi beraneka drama. Ya, karena mereka memang spesialis dalam urusan yang satu itu.

Selamat, Liverpool. This is our year!

Komentar
Mahasiswa pelaju Jogja-Wonosari tiap akhir pekan. Bisa disapa di akun Twitter @Rofiizuhdi17