Walaupun kalah dan gagal melaju ke final SEA Games 2017, tetapi permainan Garuda Muda terhitung baik. Koneksi serangan dari belakang ke tengah terhitung ideal, beberapa kombinasi di koridor sayap menciptakan ruang penetrasi, dan kerapatan (compactness) pertahanan yang cukup terjaga.
Mekanisme pressing kedua tim
Seperti pada umumnya tim-tim di ASEAN, Malaysia memainkan pressing blok menengah yang mana lini pertama pressing memulai orientasinya dari area gelandang bertahan lawan.
Dalam hal ini, lini pertama press Malaysia memulai dari area yang ditempati oleh poros ganda (double pivot) Evan Dimas dan Hanif Sjahbandi.
Pressing Malaysia sangat kuat merapat ke ruang di mana bola berada. Ini bisa dilihat dari perilaku press kedua pemain sayapnya.
Kedua sayap serang Malaysia beriorentasi ke bek sayap Indonesia, tetapi hanya sayap sisi bola yang berorientasi penuh ke bek sayap Indonesia (lihat Putu Gede dalam infografik di bawah).
Sayap serang sisi jauh merapat ke tengah dan berorientasi kepada salah satu pivot sekaligus menempatkan bek sayap sisi jauh (lihat Rezaldi Hehanusa) di belakang tubuhnya.
Tingkat kerapatan (compactness) blok pressing Malaysia ini termasuk sangat tinggi. Gelandang sayap terjauh dari bola bergerak sangat jauh dari posnya untuk menjepit pemain-pemain lawan di sekitar bola, terutama sekali ketika sirkulasi Indonesia bergerak sangat dekat ke garis tepi (touchline).
Ini membuat pressing Malaysia juga seperti pressing berorientasi kepada ruang atau space-oriented space (Rene Maric, 2014).
Dengan sempitnya ruang dan waktu, tentu saja meningkatkan kemungkinan bagi lawan untuk membuang bola jauh ke depan untuk menghindari interception Malaysia di seperti awal.
Indonesia sendiri dapat meloloskan diri dari press, salah satunya ketika Septian David Maulana menyesuaikan posisinya dengan cara turun ke bawah untuk menyediakan opsi progresi. Kombinasi cepat antara Evan, Hanif, dan David dapat memanipulasi dua lini awal pressing Malaysia yang terdiri dari 5 pemain.
Namun, dalam situasi ini pun, Malaysia masih dapat memanfaatkan satu gelandang bertahan yang berdiri di belakang kelima pemain terdepan Malaysia. Gelandang bertahan inilah yang sering kali melakukan penjagaan perorangan kepada David untuk mencegahnya menciptakan akses ke kedalaman pertahanan Malaysia.
Metode lain meloloskan diri dari pressing rapat Malaysia adalah memainkan bola ke salah satu pivot untuk kemudian si pivot memainkan kombinasi umpan pendek dengan bek sayap. Bila berhasil lolos dari pressing, bola akan segera diprogresi ke gelandang sayap atau penyerang tengah.
Indonesia juga memainkan pressing blok menengah, tetapi dengan intensitas press yang berbeda. Press Timnas jauh lebih pasif ketimbang Malaysia.
Ezra Walian dan David sering kali hanya sebatas mengamankan ruang di depan lini gelandang tanpa banyak press intensitas tinggi untuk segera mengarahkan lawan ke area tertentu.
Sedikit berbeda dengan perilaku pressing di area lebih dalam. Kalau di area depan pemain-pemain Indonesia terlihat lebih memprioritaskan menjaga bentuk (position-oriented press), di area dalam, pemain-pemain dari lini bek akan segera melakukan press ke arah depan ketika ada lawan yang mendekati sepertiga awal Indonesia.
Dari build up di lini belakang, Malaysia akan segera memrogresi bola langsung ke lini terakhir, terutama kepada pemain-pemain yang berada di tengah-tengah pertahanan Indonesia.
Situasinya berbeda, kalau ada pemain sayap yang mengisi pos sayap di sepertiga akhir, yang mana orientasi serangan Malaysia mengarah ke pinggir lapangan untuk kemudian mencari akses melepaskan umpan silang melambung kepada penyerang tengah.
Malaysia dan orientasi sayap dalam fase menyerang!
Sering kali terlihat Malaysia memainkan satu pivot di dalam build up yang dilakukan dari lini belakang. Terkadang si pivot tetap di depan duo bek tengah, terkadang ia ditemani salah satu nomor 8 yang turun ke pos gelandang bertahan.
Gelandang tengah Malaysia dalam fase ini tidak difungsikan sebagai distributor utama bola. Peran distributor hanya dilakukan secara situasional. Keduanya tidak memainkan peran playmaker klasik seperti Evan Dimas yang mana aliran bola sangat banyak diarahkan kepadanya.
Malaysia banyak memainkan bola kepada bek sayap untuk kemudian diprogresi segera ke lini terakhir Malaysia atau kepada gelandang sayap yang bergerak turun sedikit mendekat kepada bek yang menguasai bola.
Pergerakan lari diagonal dari sisi sayap ke dalam kotak penalti – oleh gelandang sayap – untuk menerima umpan yang diarahkan ke celah antara bek sayap dan bek tengah Indoesia merupakan salah satu cara Malaysia berpenetrasi ke kotak 16 Indonesia.
Cara lain yang lebih gradual adalah meng-overload koridor sayap dengan cara menempatkan satu gelandang sayap dan satu pemain di half space sisi bola untuk menciptakan kombinasi umpan dengan bek sayap yang bergerak ke depan.
Kedua cara di atas, walaupun dapat menciptakan ruang untuk melepaskan umpan silang ke kotak 16, tetapi, pada dasarnya, gagal mencapai efektivitas ideal.
Karena, selain banyak umpan terobosan yang dilepaskan terlalu cepat (dalam metode pertama) juga kedinamisan dalam pergerakan (metode segitiga) tidak memadai untuk memanipulasi pertahanan lawan.
Pun compactness pertahanan Timnas dapat menghambat Malaysia mengembangkan sirkulasi-progresi ke area-area berbahaya.
Contoh, ketika bek sayap Malaysia mengakses gelandang sayap atau gelandang tengahnya, pemain-pemain Indonesia segera dapat melakukan pressing ke depan (onward press) yang segera menghentikan progresi lawan.
Isu dalam fase penguasaan bola (fase menyerang) Malaysia sama dengan isu yang ada di Indonesia. Bahkan, isu yang sama pun, sejatinya, juga dengan mudah diidentifikasi di negara-negara ASEAN.
Apa itu? Sering kali, dalam permainan bola-bola panjang ke depan ada jarak yang besar di antara gelandang tengah dengan lini terakhir. Akibatnya, ketika terjadi bola liar, tim bertahan yang lebih rapat secara vertikal lebih mudah merebut kembali penguasaan bola.
Lepas dari isu tersebut, model permainan Malaysia adalah bermain (lebih) direct (daripada Indonesia) untuk segera mengakses penyerang tengah melalui umpan panjang melambung maupun umpan silang melambung.
Kalau diperhatikan lebih seksama, Malaysia sering mendapatkan situasi-situasi yang (sebetulnya) menjanjikan dalam duel-duel udara dari umpan silang ini.
Dari momen-momen ini, dua kemungkinan teridentifikasi. Pertama, permainan bola silang melambung dan duel udara merupakan prinsip dalam fase eksekusi Malaysia.
Kedua, lini belakang Timnas gagal mengatasi taktik ini, karena seringnya Malaysia mendapatkan potensi menguntungkan dari bola-bola silang melambung.
Apakah karena Luis Milla tidak mengantisipasinya – dikarenakan keterbatasan waktu pemulihan dan latihan – atau sesederhana karena ketiadaan Hansamu Yama, yang pasti, Malaysia memetik keuntungan maksimal dari bola silang melambung.
Progresi Indonesia lebih variatih
Variasi dalam pola progresi Indonesia salah satunya disebabkan oleh karakter bermain dan tugas dari poros halang di lini tengah. Evan dengan olah bola yang mumpuni disertai Hanif yang berkarakter “lebih build up” ketimbang Hargianto.
Karakter-karakter ini ditunjang oleh penugasan Luis Milla kepada Evan dan Hanif yang memang difungsikan sebagai penghubung serangan dari lini belakang dan depan.
Faktor lain adalah kehadiran David di pos nomor 10. Akun twitter @dribble9 menyebut Timnas U-22 sebagai Septian David FC. Pergerakan tanpa bola David didukung telepatinya dengan Evan yang sudah terjalin sejak Timnas U-19 era Indra Sjafri.
David merupakan nomor 10 yang sering kali mengokupansi celah di antara gelandang sayap dan gelandang tengah. Dalam fase build up dari belakang, David yang kerap memberikan opsi vertikal yang lebih “aman”, ketimbang overdosis umpan jauh melambung ke depan.
Ia bergeser secara horizontal menurut letak bola berada di area belakang. Ia kemudian bergerak turun sedikit untuk menjemput umpan-umpan datar dari area belakang.
Pemain-pemain belakang Malaysia termasuk sangat antisipatif terhadap pola semacam ini. Banyak sekali press ke arah depan – oleh bek maupun gelandang bertahan – yang berhasil menghambat progresi segera yang mungkin diciptakan David bila ia dibiarkan.
Yang disayangkan adalah dari situasi-situasi serupa sering kali pemain belakang Timnas mampu merebut kembali bola kedua atau ketiga, tetapi progresi selanjutnya berlanjut dengan – lagi-lagi – umpan-umpan jauh melambung ke depan dalam waktu yang kurang pas, menyebabkan Malaysia sukses merebut kembali penguasaan bola.
Pola progresi lain yang dimainkan Indonesia adalah sama dengan yang sudah sering kita lihat sejak lama. Yaitu, orientasi ke sayap memanfaatkan gelandang sayap yang cepat dan berposisi lebar di area paling pinggir.
Kebetulan, profil sayap serang Timnas U-22 cocok dengan filosofi ini.
Merupakan pemandangan jamak bila dari belakang atau lini tengah, bola langsung diprogresi ke sayap serang di kedua tepi lapangan untuk kemudian si sayap penerima bola melakukan dribble cepat sebelum melepaskan umpan silang melambung.
Strategi ini selalu digunakan menghadapi lawan bertipe seperti apa pun.
Di satu sisi, sering kali, permainan semacam ini terlalu satu dimensional dan mengisolasi si sayap dalam kepungan 2-3 pemain lawan. Walaupun menjengkelkan mata penonton, tetapi ini merupakan konsekuensi model permainan.
Mengandalkan Febri Haryadi dalam taktik seperti ini, tentu saja, dalam banyak kesempatan, membuat Febri dengan mudah di-overload lawan.
Kenapa mudah di-overload? Karena ketiadaan dukungan pemain di half space terdekat maupun di belakang Febri.
Namun, sejatinya, ada sisi positif yang bisa dimanfaatkan (dan dikembangkan ke depannya). Perhatikan momen di menit ke-24 – kalau tidak salah 😊-. Putu Gede menguasai bola di sepertiga tengah di koridor kanan.
Saat itu, karena lebarnya penempatan posisi Yabes Roni yang juga berada di koridor sayap, bek kiri Malaysia tertarik keluar melebar. Akibatnya, celah horizontal antara bek tengah dan bek kiri menjadi sangat lebar.
Sebuah umpan terobosan dilepaskan Putu kepada David yang begerak vertikal sebelum ia memberikan umpan datar kepada Ezra Walian. Walaupun gagal membuahkan gol, tetapi situasi ini merupakan contoh bagaimana tinggi dan lebarnya posisi gelandang sayap bisa dimanfaatkan dalam taktik menyerang.
Hal positif lain dalam serangan Timnas adalah struktur posisional yang mendukung dalam pertarungan bola kedua setelah terjadi duel udara.
Di pertandingan-pertandingan sebelumnya, termasuk uji-tanding, sering kali bola-bola panjang tendangan gawang Indonesia tidak didukung oleh overload memadai di area di mana bola diarahkan. Menghadapi Malaysia, secara mengejutkan (dan menyenangkan) hal ini berubah.
Indonesia melakukan overload di mana bola diarahkan. Sayangnya, persentase recovery bola kedua dari situasi serupa terlihat tidak terlalu banyak. Tetapi, paling tidak, ada perbaikan struktur posisional.
Milla dan para pemain tinggal mengasah orientasi dalam fase transisional untuk lebih banyak mencatatkan recovery dari situasi serupa.
Salam.