Kemenangan dan sepakbola indah sering menjadi ramuan paling mujarab bagiĀ seorang suporter sepakbola untuk menambatkan hatinya. Seperti itulah Gooners, suporter paling bebal tentang asmaranya kepada Arsenal gara-gara terpesona aksi Tony Adams, Dennis Bergkamp, dan Thierry Henry menaklukkan tanah Britania.
Jangan beri nasehat orang yang terbakar api asmara. Percuma. Dengarkan racauannya di akhir pekan. Entah sebagai hiburan atau pelajaran, tapi satu yang pasti bahwa sekali jatuh cinta, fatal akibatnya.
Victoria Concordia Crescit (Kemenangan yang Tumbuh Melalui Keharmonisan), begitu mantra yang melekat bagi Arsenal. Hal itu digubah Arsene Wenger menjadi identitas tim selama bertahun-tahun. Manis sekali. Di tangan lelaki Prancis tersebut, gaya main The Gunners begitu seksi. Persis seperti kisah stensil yang temponya perlahan dan terarah, diimbangi imajinasi liar dan nakal serta eksekusi yang bikin klimaks.
Izinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan. Apakah bermain indah selalu seiring sejalan dengan prestasi? Apakah permainan indah merupakan DNA kepunyaan Arsenal? Apakah Victoria Concordia Crescit perlu tafsiran baru, alih-alih mempertahankan libido untuk terus bermain indah?
Jika Anda bersikukuh Arsenal harus memiliki pelatih dengan mencantumkan hasil tesisnya dalam curriculum vitae tentang sepakbola indah paling mutakhir, hentikan saja proyek pencarian itu.
Wenger pasca-meninggalkan Stadion Highbury guna bermarkas di Stadion Emirates yang lebih megah juga terobsesi dengan permainan indah ala orkestra ini. Namun kita semua tahu hasilnya menyedihkan karena gelar liga tak pernah lagi mampir ke London Utara. Keok di fase 16 besar Liga Champions jadi suatu hal yang senantiasa dimaklumi. Beruntung, Wenger masih bisa menghadiahi tiga titel Piala FA sehingga capaian Arsenal tak kecut-kecut amat.
Perihal DNA Arsenal, kalau saya boleh memilih adalah kontribusinya terhadap sepakbola itu sendiri. Bagaimana sumbangsih Herbert Chapman (penomoran pada jersey dan formasi W-M serta Wenger dengan pola diet ketatnya) mengubah wajah sepakbola, paling tidak di dataran Inggris.
Jika Anda meyakini DNA The Gunners adalah permainan indah, sebelum era Wenger, ada nyanyian Boring Boring Arsenal di era Bruce Rioch karena tim ini sering bermain bertahan habis-habisan demi mempertahankan kemenangan tipis.
Melihat perkembangan teraktual, tidak ada kondisi paling berantakan yang berkelindan di Arsenal ketimbang musim ini. Pelatih yang kehilangan wibawa, cara bermain yang semakin tak tentu arah, meminggirkan pemain termahal, kapten yang meledek fans di kandang, dan masih banyak lagi masalah yang jika disusun bak sebuah resep masakan, jadi rupa sesungguhnya Arsenal.
Daripada mencari pelatih yang mengedepankan filosofi bermain indah, sebaiknya manajemen menunjuk seseorang yang genius dalam hal taktik, pandai menyemangati pemain agar tak berhenti berjuang demi logo meriam di dada sekaligus punya kemampuan memimpin dan mengayomi ruang ganti.
Harmoni untuk menggapai kemenangan bisa dimulai dari markas latihan berupa kepercayaan terhadap instruksi pelatih dan ide yang jernih untuk meraup hasil positif di suatu pertandingan.
Para pemain dan pelatih sepatutnya mengerti jika uang yang digelontorkan Gooners untuk menyaksikan Arsenal tidak murah. Banyak dari mereka yang rela tidak membeli selusin bir sebagai teman di musim dingin demi menyaksikan Bernd Leno dan kawan-kawan berlaga secara langsung. Para suporter mencari hiburan dan kebahagiaan dari The Gunners, bukan problematika anyar dan tiada habisnya sehingga memperkeruh hidup mereka.
Bagi para Gooners, akhir pekan di bulan November lalu ibarat berkah tiada terkira. Pelatih keras kepala, Unai Emery, akhirnya dipecat setelah 18 bulan membuat kebingungan akan strateginya. Pelantikan Freddie Ljungberg bak angin segar karena Arsenal saat ini diasuh oleh salah satu kepingan The Invincibles. Pengalaman menangani Arsenal di kelompok remaja dan menjadi asisten Emery cukup menjadi alasan menaruh harapan pada Ljungberg untuk mengentaskan Arsenal dari fase vivere pericolosamente (sebuah frasa bahasa Italia yang dalam bahasa Indonesia bermakna periode kehidupan yang sulit atau berbahaya).
Pengaruh dan kemampuan berkomunikasi pria Swedia tersebut bisa jadi kunci kebangkitan Arsenal dari kepiluan. Tentu tidak secara instan. Setidaknya, sampai manajemen menemukan figur ideal untuk dijadikan nakhoda baru yang siap melaju dengan Arsenal Way, walau tentu ada komodifikasinya, seperti dahulu.
Tak sepatutnya kita membebani Ljungberg dengan ekspektasi selangit. Keberhasilannya membawa Leno dan kawan-kawan beroleh tiga angka pada laga melawan West Ham United (9/12) dengan comeback paripurna merupakan hal yang membahagiakan sekaligus menjanjikan kendati di laga sebelumnya kontra Norwich City (1/12) serta Brighton & Hove Albion (5/12) disudahi dengan hasil seri dan kalah.
Hasil imbang melawan Standard Liege dini hari tadi (13/12) juga pantas diberi sedikit apresiasi. Bermain dengan skuat pelapis, Arsenal masih sanggup mengejar ketertinggalan 2-0 guna menutup laga dengan skor 2-2. Sebuah bukti jika mentalitas tim untuk berjuang sampai akhir tetap menyala.
Jangan membebani kesuksesan di masa lalu untuk direplikasi secara mentah. Bisa saja itu tak lagi relevan sebab dinamika sepakbola telah mengubah banyak hal. Alangkah baiknya, Gooners berharap ruang ganti Arsenal kembali ceria, pemain memainkan kulit bundar penuh keriangan dan kemauan untuk berjuang demi memuaskan penonton yang memadati stadion seraya mendendangkan We Are the Famous, the Famous Arsenal. Jika itu sudah terlaksana, perubahan yang kita tunggu pasti akan memperlihatkan wujudnya.