Saat Loris Karius didatangkan Jurgen Klopp, tentu tujuannya jelas: menggeser Simon Mignolet. Klopp, dengan akal yang waras, tentu saja sadar betapa payahnya kiper yang ia miliki itu. Ia tak mahir dalam pendistribusian bola selayaknya Pepe Reina. Atau selincah Jerzy Dudek untuk melakukan penyelamatan.
Jika ditanya berapa banyak momen kopite bangga dan malu memiliki Mignolet sebagai kiper utama mereka, kita tahulah jawabannya. Hanya ada momen kecil bagi fans untuk hal-hal baik tentang Mignolet, semisal penyelamatan penaltinya saat debut.
Dan sebaliknya, akan ada seribu alasan untuk membencinya. Bahkan saking banyaknya, mungkin kita semua akan lupa momen-momen tersebut.
Tapi, ada-ada saja hidup ini. Nasib, pada akhirnya, menyuruh Klopp dan Kopites bersandar di pundak Mignolet. Pertama, saat Karius cedera di pra-musim sehingga Mignolet harus menggantikannya hingga enam gameweek.
Lalu, pada Desember saat pertandingan tengah musim melawan Middlesborough. Karena rupanya, Loris Karius tampak terlalu grogi dengan Liverbird di dadanya.
Tangannya, tidak sejago seperti imajinasi para fans saat berulang kali menyaksikan klipnya di YouTube. Ia tak bisa melakukan penyelamatan gemilang, distribusi bolanya kacau balau.
Entah kenapa magisnya hilang dan sebagian penggemar mulai mencari kambing hitam: salah satu alasan mereka adalah pelatih kiper, John Achtenberg, yang tidak ada wah-wahnya sama sekali.
Ia diserang oleh pandit macam Gary Neville dan membuat Jurgen Klopp harus membela mati-matian harga diri Loris sendiri. Ia, mudahnya, alih-alih memberi solusi, kemudian memberi masalah bagi Liverpool dengan catatan kebobolan 14 gol dari 13 laga. Bagi seorang kiper Jerman tampan asal Mainz yang terkenal reputasinya, itu sangat buruk.
Modal Mignolet saat itu tentu saja sedikit. Ia hanya bermain dua kali di masa Karius menjadi kiper utama. Itupun hanya di League Cup di mana ia kebobolan satu gol di dua laga. Kalau mau dilihat secara statistik, dalam enam laga di mana Mignolet menggantikan Karius, ia hanya memiliki rata-rata kebobolan 1.33. Sementara Karius, hanya 1.08 per laga.
Itupun kalau dilihat sebenarnya Karius hanya lebih tiga gol kebobolannya daripada Thibaut Courtois pada saat itu. Ia dikritik habis-habisan oleh pandit, termasuk eks-Liverpool, Jamie Carragher. Bahkan, Klopp sendiri tampak sebenarnya ragu terhadap Mignolet.
“Situasinya adalah project di Liverpool ini bersifat long-term. Kita inginnya meningkatkan kualitas klub, karena kita paham kita perlu sukses secepat mungkin. Tapi di sisi lain kita perlu merasa nyaman dengan situasi ini. Begitu juga dengan kiper. Dan saya tahu sejago apa Loris Karius itu,” Kata Klopp, sebagaimana dilansir di Echo.
Tapi Mignolet berusaha maju ke depan. Persetan soal sebenarnya naiknya ia menjadi kiper utama Liverpool adalah cara Klopp memancing Karius agar menunjukkan performanya saat di Mainz. Ia lebih peduli dengan pengkritiknya dan bagaimana membungkam mereka semua.
Tentu saja cara yang ia tempuh tidak seperti pemuda kekinian yang saat dikritik kemudian malah menertawakan orang-orang yang mengkritiknya. Tentu saja tidak.
Kalau iya, kariernya mungkin sudah kandas dari lama macam si mulut besar Nicklas Bendtner. Saat rekannya yang bernasib serupa macam Mahamadou Sakho tak tahan dengan perlakuan Klopp dan menyindirnya di media sosial sehingga masalahnya merembet ke persoalan pribadi, ia tetap memilih diam.
Ia memilih untuk bekerja keras, mencuri perhatian Klopp hingga ia tidak ada alasan lain untuk tidak memilihnya. Ia selalu menjunjung tinggi profesionalisme di atas segalanya. Dan ia menunjukkan Klopp pada akhirnya, mengapa ia adalah pilihan yang tepat.
Mulanya, pada pertandingan lawan Middlesborough. Itu pertandingan setelah sekian lama Liverpool menang tanpa seorang kiper harus memungut bola dari jala gawang. Tentu saja, kritik kepadanya tidak serta merta berhenti. Namun sebisa mungkin ia berusaha membungkamnya.
Ia, tentu saja, tidak sempurna. Di Desember saat melawan Stoke, harusnya ia bisa menghalau bola dari Walters saat Liverpool menang 4-1 di kandang mereka.
Begitu juga kala Januari, ia masuk dalam bagian lainnya dari sebab mengapa Liverpool susah sekali meraih kemenangan setelah ditinggal Sadio Mane. Tapi ia terus berusaha menyakinkan orang-orang bahwa ia masih pantas.
Ia benar-benar membuktikannya. Membuat Diego Costa malu karena gagal penalti di Stamford Bridge. Penyelamatan gemilang ketika Zlatan Ibrahimovic meluncurkan bola saat free-kick atau dengan satu tangan menghalau bola Mkhitaryan kala Liverpool bertandang ke Old Trafford.
Juga jangan lupakan pertandingan melawan Arsenal di Anfield. Terutama yang tak boleh Anda lupa adalah away win di Stoke City dan yang baru-baru ini, saat Liverpool menang melawan West Brom. Dua pertandingan terakhir yang saya singgung, adalah pertarungan hidup dan mati Simon Mignolet membela harga dirinya.
Jamie Carragher, kemudian berkata begini saat post-match analysis West Brom melawan Liverpool. “Ia pantas mendapatkan puja-puji? Tidak diragukan. Liverpool mendapatkan tiga poin di Stoke dan dia menyelamatkan dua poin untuk Liverpool hari ini. Itu lima poin yang membuat perbedaan luar biasa di klasemen liga.”
Dan tentu saja, banyak pandit dan media sepakbola yang mulai mengapresiasi kelebihannya di dua laga terakhir. Tapi, jika ada satu kemenangan sejati Simon Mignolet setelah jerih payahnya sendiri, itu tentu saja datang dari manajernya sendiri. Pujian yang meyakinkan semua orang bahwa tak ada salahnya untuk bersandar di pundak seorang Simon Mignolet.
“Ia sangat baik, benar-benar lincah, kakinya juga kuat, semuanya. Ia menjadi penting, kembali,” puji Klopp padanya.