Masa Sulit yang Menempa Theo Hernandez

Theo Bernard Francois Hernandez atau lebih dikenal sebagai Theo Hernandez dapat dikatakan sebagai pembelian musim panas tersukses AC Milan sejauh ini. Bagaimana tidak, meski berposisi sebagai bek kiri, dirinya menyeruak sebagai pencetak gol terbanyak I Rossoneri bersama Krzysztof Piatek dengan koleksi empat gol sampai pekan ke-16 Serie A musim 2019/2020.

Walau demikian, ada perjuangan luar biasa yang ditempuh Theo untuk bisa sampai di titik ini. Adik kandung dari Lucas Hernandez, bek Bayern München, itu harus mengadapi berbagai rintangan hidup yang bahkan harus diceritakan kisah lengkapnya sebelum ia lahir pada tahun 1997 silam.

Kisah hidup Theo yang menarik ini sudah dimulai sejak sang ayah, Jean-Francois Hernandez, masih bermain sepakbola. Jean-Francois mengawali kariernya di Toulouse dan merumput dalam 148 pertandingan bersama klub yang berlokasi di sebelah selatan Prancis tersebut. Selepasnya, Jean-Francois bermain selama semusim di Sochaux sebelum hijrah ke klub besar impiannya, Olympique Marseille.

Saat itu, Marseille bermain di Divisi Dua (sekarang Ligue 2) kompetisi Liga Prancis, buntut dari hukuman yang dijatuhkan federasi sepakbola Negeri Anggur (FFF) terkait kasus suap yang melibatkan Bernard Tapie, sang presiden klub.

Pada periode itu, Jean-Francois juga menjalani hari-hari bahagia di keluarga kecilnya sebab sang istri, Py Laurence, telah melahirkan dua anak lelakinya, yaitu Lucas dan Theo, pada tahun 1996 dan 1997.

Meski berkontribusi membawa Marseille promosi kembali ke Divisi Utama (sekarang Ligue 1), tapi Jean-Francois yang kala itu berusia 28 tahun tidak dimasukkan dalam rencana klub pada musim berikutnya.

Gara-gara itu juga Jean-Francois memutuskan untuk pindah ke negara yang masih memiliki kedekatan dengan orang tuanya, Spanyol. Awalnya, Jean-Francois menginjakkan kaki di sebuah kota yaitu Santiago de Compostela guna memperkuat Sociedad Deportiva Compostela.

Akan tetapi, hanya selang beberapa bulan, ia memboyong seluruh keluarganya ke kota Madrid. Di kota metropolitan tersebut, Jean-Francois memperkuat dua klub yakni Rayo Vallecano dan Atletico Madrid hingga akhir kariernya.

Jalan hidup memang tidak bisa diduga, meski kita selalu diberikan pilihan untuk mengambilnya atau tidak. Sosok menawan Sonia Moldes, aktris sekaligus presenter televisi di Madrid telah membutakan hati Jean-Francois.

Tak peduli sudah memiliki dua balita yang amat menggemaskan di rumah, ia malah mendekati Sonia hingga kemudian menikah. Jean-Francois memilih untuk meninggalkan Py beserta kedua putranya. Dalam kondisi sulit macam itu, sang ibu berusaha keras membesarkan Lucas dan Theo di lingkungan apartemen yang jauh dari kata mewah di Vallecas, sebuah kawasan di pinggiran kota Madrid.

Bakat sepakbola jadi satu-satunya hal yang diwariskan Jean-Francois kepada dua putranya. Awalnya, Theo yang lebih dahulu memperlihatkan kelebihannya dalam mengolah si kulit bundar. Pada usia sembilan tahun, ia sudah diundang untuk menjalani trial oleh Atletico.

Sementara Lucas yang lebih tua dua tahun, justru belum mendapatkan hal tersebut. Namun cara kerja Tuhan memang luar biasa. Bermula dari ketidakmampuan menyewa pengasuh anak, Py selalu membawa putra pertamanya itu ke tempat latihan Theo.

Siapa sangka, dari situlah bakat Lucas juga dilirik. Gerak-gerik Lucas yang tadinya hanya menghabiskan waktu bermain bola di pinggir lapangan sembari menunggu sang adik, rupanya menarik perhatian tim pelatih. Manajemen tim muda Atletico pun memutuskan buat merekrut Lucas sekalian.

Pengaruh buruk dari kelakuan sang ayah sempat bikin dua pemuda tanggung ini bermasalah. Baik Lucas dan Theo sempat terlibat skandal kekerasan dengan kekasih masing-masing yang berakibat hukuman kerja sosial. Nasib mujur menghampiri Theo karena ia tidak terbukti bersalah dan lepas dari jerat hukum.

Sedangkan Lucas, usai menjalani sanksi itu dapat mengembalikan fokusnya pada sepakbola dan bahkan memperoleh panggilan ke tim senior. Sisanya adalah sejarah, di mana Lucas kemudian menjadi andalan Los Rojiblancos dan beroleh titel Liga Europa 2017/2018, memenangkan Piala Dunia bersama tim nasional Prancis dan mengamankan kepindahan ke Bayern lewat mahar senilai 80 juta euro per musim 2019/2020.

Di waktu yang sama, Theo juga makin menjanjikan. Diego Simeone, pelatih Atletico, memproyeksikannya untuk segera main buat masuk tim utama, setidaknya jadi pelapis Filipe Luis terlebih dahulu. Namun Theo agak kurang sabar menyikapi kondisi itu.

Tak ingin membiarkan bakat Theo hilang, kubu manajemen memilih untuk meminjamkannya ke Deportivo Alaves. Di sana, ia punya banyak kesempatan untuk bermain sekaligus memperlihatkan bakat besarnya. Sampai akhirnya, rival sekota Atletico, Real Madrid, datang membawa tawaran menarik yang tak kuasa ditampik Theo.

Kembali memegang status pemain pelapis, kali ini untuk Marcelo, tak membuat Theo patah arang. Apalagi dirinya sempat membukukan 13 penampilan pada musim perdananya di Stadion Santiago Bernabeu.

Semusim kemudian, Los Merengues merasa bahwa Theo lebih baik dipinjamkan ke klub lain demi menambah jam terbangnya dan klub yang dipilih untuk itu adalah Real Sociedad.

Di San Sebastian, markas Sociedad, Theo tampil 24 kali dan mencetak sebuah gol. Pencapaian yang sekilas biasa-biasa saja, tapi cukup untuk membawanya ke meja negosiasi di sebuah restoran pinggir pantai kawasan Ibiza bersama sang idola masa kecil, Paolo Maldini.

Dengan kapasitasnya sebagai legenda sekaligus Direktur Milan, Maldini tentu tahu apa yang ia lihat. Pria berambut gondrong itu sadar betul yang ada di hadapannya merupakan bek kiri dengan kualitas apik. Bahkan, di matanya, Theo merupakan bek kiri paling berbakat di Eropa saat ini meski tidak banyak yang menyadarinya.

Madrid mungkin menyadarinya, tapi mereka lebih memilih untuk memberi tempat kepada Marcelo atau sang rekrutan anyar, Ferland Mendy. Theo seperti pemain biasa saja untuk mereka dan ketika Milan menyodorkan tawaran senilai 20 juta euro, rasanya bukan keputusan sulit untuk merampungkan negosiasi.

Dari situlah perjalanan baru Theo dimulai. Bermain di I Rossoneri, sebuah klub yang ingin kembali menjadi besar, Theo sebetulnya sempat diragukan. Ia dinilai masih terlalu muda dan hijau. Kendati berbakat, tentu tidak ada jaminan baginya untuk dapat menembus tim inti dan menjadi andalan secara langsung.

Namun lagi-lagi, perjalanan hidup memang tidak ada yang tahu. Hanya enam bulan sejak tinggal di apartemen mewah kota Milan, Theo membuktikan bahwa intuisi dan analisis Maldini tidak salah. Theo berhasil menggeser posisi Ricardo Rodriguez dan berkontribusi atas seperempat gol yang dicetak Milan sejauh ini.

Di tengah badai kritik yang melanda manajemen Milan saat ini, pembelian Theo dipandang sebagai kesuksesan besar. Baik dari sisi finansial maupun aspek teknis di lapangan.

Terserah bagaimana Anda menilai tinggi bakat Theo. Entah sebagai The Next Maldini atau The Next Serginho. Bagi saya, Theo tetaplah dirinya sendiri. Ia adalah potret pemain yang mampu meraih sukses meski melalui masa-masa sulit finansial pada masa kecil sebab tumbuh tanpa sosok ayah dan telah mengorbankan sebagian masa mudanya demi berlatih keras agar menjadi pesepakbola profesional.

Sampai di sini, Theo telah menyejajarkan diri dengan sang kakak dan siapa lagi yang tidak lebih bahagia untuk menyaksikan itu semua ketimbang Py, sang ibu yang telah bersusah payah membesarkan keduanya.

Bagi Milan, Theo kelak akan dikenal sebagai dirinya sendiri dan mengukir kisah suksesnya sendiri. Semoga saja, ia akan tetap berlatih keras membenahi kekurangannya dalam bertahan dan tetap rendah hati sembari melihat ke belakang tentang betapa besar perjuangannya serta pengorbanan sang ibu untuk menjadikannya seperti sekarang.

Teruslah berjuang, Theo!

 

Komentar

This website uses cookies.