Melangkah Maju Seperti Cristiano Ronaldo

Cristiano Ronaldo tiga kali meraih Ballon d’Or. Pemain asal Portugal ini punya banyak senjata di lapangan hijau. Stamina yang memungkinkannya berlari rata-rata sepuluh kilometer setiap pertandingan dan mencetak gol pada 20 menit terakhir saat pemain lain mulai kelelahan. Kekuatan lompatan setinggi 74 cm di kedua kaki dan kecepatan hingga 30 km/jam. Kekuatan tendangan yang membuat bola mampu melaju hingga 128 km/jam, dengan putaran tinggi yang memungkinkan bola berubah arah hingga tiga meter –jika Ronaldo mau.

Semua kemampuan itu tersirat dari fisiknya yang berotot dan proporsional. Melihatnya, orang cenderung berpikir Ronaldo terlahir demikian, dengan tubuh yang sempurna. Namun, kita tahu dulu Ronaldo tidak begitu. Kita ingat, saat dulu membela Manchester United, Ronaldo pernah menjadi pemuda kurus, tidak ideal untuk iklim Premier League yang banyak kontak fisik. Itu salah satu alasan Sir Alex pernah lebih memilih Wayne Rooney ketimbang Ronaldo. Itu adalah masa sulit, persimpangan yang menentukan masa depannya.

Lalu semuanya perlahan-lahan berubah.

Perlahan ototnya makin kekar dan performanya membaik, hingga ia menjadi kesayangan publik Old Trafford. Pada 2009 dia hijrah ke Real Madrid. Di Santiago Bernabeu Ronaldo meraih banyak prestasi baik bersama tim maupun secara individu, dari La Decima hingga gelar Ballon d’Or-nya yang ketiga.

Khalayak menatap Ronaldo dengan takjub, sekaligus mungkin sedikit terintimidasi. Dengan kekaguman yang barangkali bercampur pertanyaan, ”bisakah aku sehebat dia?” sebagian merasa itu tidak mungkin. Mereka merasa Ronaldo di luar jangkauan, seperti rivalnya Si Alien, Lionel Messi.

Namun, benarkah demikian? Apa yang membuat seseorang menjadi yang terbaik di bidangnya? Yang membedakan mereka dengan pemain yang sekadar bagus, atau lebih jauh lagi, dengan “orang biasa”?

Ada beberapa faktor yang saling terikat dalam menentukan tingkat kesuksesan seseorang.

BACA JUGA:  Flick, Klopp, dan Problematika Penghargaan Terbaik

Dalam bukunya, Outliers, jurnalis Malcolm Gladwell menjelaskan bahwa tingkat puncak keahlian dicapai setelah mencurahkan 10.000 jam di suatu bidang. Namun, itu hanya sebagian yang benar. Dalam bidang yang dinamis seperti sepak bola, “bagaimana” sama pentingnya dengan “seberapa banyak seseorang berlatih. Tepatnya disebut extended deliberate practice, yakni latihan yang dipertimbangkan dengan matang dan terukur baik. Yang mengembangkan satu skill hingga maksimal, lalu dilanjutkan ke skill lain, dan demikian seterusnya.

Di sini muncul faktor pertama, yakni pengetahuan yang tinggi.

Ronaldo memiliki jadwal dengan detail yang tinggi dalam hal latihan dan nutrisi. Latihan Ronaldo beragam. Mulai dari penurunan kadar lemak, latihan teknis, latihan taktikal, latihan daya sentak kaki, latihan kardio, dan angkat beban. Rincian dan tingkat kesulitan latihan Ronaldo melebihi rekan-rekan setimnya. Misalnya, ia berlatih clap push-up saat rekan-rekannya berlatih push-up normal. Demikian juga asupan nutrisinya. Sehingga, Ronaldo pun menjadi ahli belajar (berlatih dan mengkondisikan tubuh) yang secara berkelanjutan meningkatkan Ronaldo yang ahli praktik (bermain bola).

Ronaldo tidak memikirkannya sendiri, melainkan dipandu oleh pakar-pakar di timnya. Level pengetahuan yang lebih ini menjelma ke level permainan yang lebih tinggi pula. Pengetahuan ini meningkatkan efisiensi usaha yang dikerahkan seseorang dan memaksimalkan hasilnya. Inilah faktor pembeda vital, di mana tidak semua orang memiliki akses ke pengetahuan yang tepat. Jika tidak mampu mencapainya sendiri, carilah pakarnya. Seperti ucapan almarhum Bob Sadino, ”Saat bisnis berkembang, pekerjakanlah orang pintar.”

Berikutnya adalah inner drive. Sebelumnya, mari kita ingat pelajaran fisika SMA. Hukum kedua termodinamika mengatakan bahwa dalam sistem tertutup, ketidakteraturan selalu meningkat. Untuk mengubah kondisi ketidakteraturan menjadi lebih teratur dibutuhkan energi. Dalam konteks analogi lepas, tubuh yang dibiarkan tanpa latihan akan melemah (semakin tidak teratur). Lemak menumpuk, otot mengecil, dan sebagainya. Untuk mengubahnya menjadi lebih teratur (lebih fit, otot yang tepat berkembang maksimal), seseorang harus mengeluarkan energi tidak sedikit dalam latihan berkelanjutan.

BACA JUGA:  Manchester United yang Labil

Di sinilah motivasi berperan. Ellen Winner, psikolog dari Boston College, menyebut dorongan ini “hasrat garang untuk menjadi ahli”. Inilah yang membantu Ronaldo melewati masa-masa latihan yang keras, yang tidak dimiliki orang biasa. Tanpa passion kuat ini, masa latihan akan terasa bagai siksaan, sebuah pengorbanan yang tidak sepadan karena berlawanan dengan keinginan. Sebaliknya, jika ada perasaan cinta, pengorbanan tidak terasa, karena sejalan dengan keinginan kita. Seperti Cinta yang bertahun-tahun menanti Rangga dalam kisah Ada Apa Dengan Cinta.

Inilah bagian yang cukup tricky.

Passion adalah masalah pribadi, suatu aspek privat seseorang. Idealnya, ini ditemukan setelah seseorang berinteraksi dengan banyak orang lain dan menjajal berbagai kegiatan, hingga akhirnya ia memilih suatu bidang dengan kepribadian yang telah matang. Inilah yang membantu seseorang menjalani masa sulit dalam proses berkembangnya, semisal saat Ronaldo belum bersinar di Manchester United. Membantu melewati kejenuhan, seperti The Beatles yang muak menjalani tur konser yang terasa makin jemu dan monoton.

Sayangnya tidak mudah menemukan passion. Dunia nyata jarang berkondisi ideal. Di mana lebih mungkin faktor-faktor pendukung tidak tersedia daripada tersedia, di mana lebih sedikit pihak yang diuntungkan kondisi awal. Kestabilan keamanan negara, kasih sayang dan dukungan orang tua, infrastruktur, kesempatan berupa trial, terjadi seleksi alam berupa probabilitas.

Akankah seseorang menyerah karena kartu yang dibagikan nasib padanya jelek? Atau dia berusaha mendapat kartu menguntungkan? Di sinilah manusia secara tak terelakkan disaring dan diuji. Untungnya manusia dibekali akal dan daya adaptasi, sebagai modal melakukan lompatan keyakinan untuk maju.

Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

 

Komentar