Melupakan Divisi Utama dan Liga Nusantara

Piala Presiden disebut menghadirkan gelaran yang tertata rapi, meriah, bergelimang uang, dan utamanya memberi suguhan yang menarik bagi masyarakat Indonesia. Piala Jenderal Sudirman (PJS) pun digelar untuk mengikuti jejak turnamen yang dijuarai Persib Bandung tersebut.

Tapi, ada satu hal yang mengganjal. Kedua turnamen itu diperuntukkan bagi klub Indonesia Super League (ISL). Klub Divisi Utama dan Liga Nusantara tak diakomodasi.

Ketika PSGC Ciamis, Persita Tangerang, dan Martapura FC ikut serta dalam Piala Presiden, keikutsertaan mereka lebih karena untuk menggantikan klub ISL yang urung ikut serta.

Walaupun di PJS ada PS TNI yang statusnya amatir, sejatinya PJS tak mengakomodasi klub di luar ISL. PS TNI ikut serta lebih karena turnamen ini digagas oleh Panglima TNI sehingga dianggap perlu ada kontestan yang jadi wajah korps militer Republik Indonesia untuk menggenapkan jumlah 15 kontestan.

Jika Mahaka selaku penyelenggara PJS memperbolehkan, tentu saja keikutsertaan PSMS Medan yang notabene klub Divisi Utama akan dipersilakan.

Memang tak bisa sepenuhnya menyalahkan operator kedua turnamen tersebut, tapi tetap saja sulit untuk menampik bahwa klub Divisi Utama dan Liga Nusantara seperti dianaktirikan. Padahal mereka berhak memperoleh panggung untuk unjuk kebolehan sekaligus mengisi kekosongan kompetisi.

Mengapa tak ada turnamen bagi klub Divisi Utama dan Liga Nusantara?

Jawabannya sederhana, kompetisi klub Divisi Utama dan Liga Nusantara tak memiliki nilai jual setinggi klub ISL. Jika memaksakan, bisa jadi operator akan menanggung kerugian besar.

Lihat saja bagaimana Piala Kemerdekaan sepi dari penonton dan pemberitaan. Hanya pertandingan pembuka dan final saja yang disiarkan secara langsung. Itu pun oleh TVRI, tak ada stasiun televisi swasta yang berebut membeli hak siarnya. Setelah turnamen usai, pemberitaan lebih banyak tentang bonus yang belum dibayar dan sebagainya.

BACA JUGA:  Mengapa Jersey Pemain Ada Banyak Sponsor?

Sangat kontras dengan Piala Presiden yang digelar setelahnya. Konon ada lebih dari dua stasiun televisi yang berebut hak siarnya. Jika tayangan televisi saja tak cukup, maka Piala Presiden juga tersedia dalam bentuk live streaming. Sponsor juga memadati stadion, kostum pemain, dan media promo lainnya.

PJS setali tiga uang dengan Piala Presiden. Tender hak siar televisinya ramai diperbincangkan hingga akhirnya NET TV memenangi bidding. Nama turnamen pun menyebut salah satu merek kopi terkemuka sebagai bukti bahwa mereka mampu menggaet sponsor utama yang rela keluar uang dalam jumlah besar.

Persoalan sulitnya memasarkan Divisi Utama dan Liga Nusantara sebagai liga amatir sudah terjadi sejak lama. PT Liga Indonesia selaku operator kompetisi kerap mengeluh terus merugi.

Jika memang Mahaka Sports and Entertainment merasa bisa jadi operator yang paling pas untuk memutar roda kompetisi sepak bola Indonesia, maka tantangannya jelas, tidak sekadar mengelola kompetisi bagi klub ISL, tapi harus Divisi Utama dan Liga Nusantara. Apakah bisa mereka menjual kompetisi yang dinilai tak menjual itu?

Jika potensi kerugian besar, apakah Mahaka siap untuk menanggung kerugian demi terus bergulirnya Divisi Utama dan Liga Nusantara?

Mengapa perlu memikirkan Divisi Utama dan Liga Nusantara?

Jelas perlu untuk memikirkan nasib Divisi Utama dan Liga Nusantara. Ada lebih banyak orang yang terlibat di Divisi Utama dan Liga Nusantara.

Ada 63 klub Divisi Utama. Liga Nusantara sebagai kompetisi amatir jelas punya jumlah klub yang lebih banyak lagi. Dari Jawa Timur saja ada 27 klub yang ikut serta.

Itu berarti ada lebih banyak pemain yang cari makan dari kompetisi ini dibanding mereka yang berlaga di ISL. Pun dengan jumlah kelompok suporter yang mendukung klub daerahnya.

BACA JUGA:  Membandingkan Rafael Benitez dengan Djajang Nurjaman dan Rahmad Darmawan

Lebih penting lagi, keduanya merupakan kesatuan dari piramida pembinaan sepak bola Indonesia yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Divisi Utama dan Liga Nusantara merupakan arena menempa pemain sebelum mereka bisa melejit ke ISL maupun tim nasional.

Pemain muda lebih mungkin memperoleh menit bermain di klub Divisi Utama dan Liga Nusantara dibanding ISL. Hal ini bisa dilihat di Piala Presiden, betapa minimnya pemain muda yang punya kesempatan besar untuk jadi andalan di klubnya.

Aturan PJS yang mewajibkan dua pemain U-21 di tim inti pun menyisakan polemik karena pemain-pemain muda ini ditarik ketika pertandingan belum genap 15 menit. Jarang yang bisa memperoleh banyak menit bermain.

Di timnas U-19 lalu, ada banyak pemain jebolan klub yang dianggap kasta kedua atau bahkan ketiga ini. Sebut saja nama Ravi Murdianto yang bermain di Perserang Serang, M. Fatchurohman (Persekap Pasuruan), M. Sahrul Kurniawan (Persinga Ngawi), Hendra Sandi Gunawan (Persiraja Banda Aceh), Zulfiandi (PSSB Bireuen), hingga Muchlis Hadi Ning Syaifullah (Persekap Pasuruan).

Fakta itu menjadi bukti bahwa Divisi Utama dan Liga Nusantara punya andil besar dalam jenjang pembinaan pemain muda Indonesia. Kedua kompetisi ini mungkin tak banyak menyumbang pemain untuk timnas senior, tapi jelas keduanya berkontribusi aktif bagi timnas kelompok umur.

Jadi, sampai kapan kita akan melupakan Divisi Utama dan Liga Nusantara?

Komentar
Akrab dengan dunia penulisan, penelitian, serta kajian populer. Pribadi yang tertarik untuk belajar berbagai hal baru ini juga menikmati segala seluk beluk sepak bola baik di tingkat lokal maupun internasional.