Membela Pragmatisme Jose Mourinho

Pragmatis, sensasional, kontroversial, genius, dan berprestasi. Barangkali itu merupakan hal-hal yang cocok untuk menggambarkan sosok pelatih nyentrik berusia 55 tahun asal Portugal, Jose Mourinho.

Sejak menekuni dunia kepelatihan pada tahun 2000 silam, sudah cukup banyak kesebelasan profesional, utamanya di benua Eropa, yang dinakhodai Mourinho.

Sebagai kepala pelatih, nama Mourinho mulai naik daun saat membawa FC Porto menjuarai Liga Primera Portugal, Piala Portugal dan Piala UEFA (sekarang Liga Europa) di musim 2002/2003.

Namanya semakin harum dan jadi pusat perhatian semusim berselang usai membawa klub dengan seragam biru-putih tersebut menahbiskan diri sebagai kampiun Liga Primera Portugal dan Liga Champions.

Seperti yang kita ketahui bersama, petualangannya sebagai pelatih lalu berlanjut di Chelsea (dua periode berbeda), Inter Milan, Real Madrid, dan Manchester United.

Hebatnya, Mourinho selalu mampu menghiasi curriculum vitae-nya dengan raihan gelar juara (berjumlah 19 titel), baik di ajang domestik maupun regional. Tak heran kalau dirinya didapuk sebagai salah satu pelatih terbaik di generasinya.

Sayangnya, kegemilangan Mourinho sebagai pelatih ibarat kisah indah di masa silam. Walau sukses menghadiahkan trofi kepada United, banyak yang menganggap kemampuannya merosot.

Filosofi permainan pragmatisnya dinilai makin usang sehingga mudah dipatahkan. Mourinho sendiri disebut-sebut tak mampu menghadirkan inovasi dalam setiap taktik pilihannya.

Selain itu, pria berjuluk The Special One dengan ego besar ini juga kerap terlibat cekcok saat melatih. Entah dengan pemainnya, staf kepelatihannya sendiri atau manajemen klub.

Alhasil, harmonisasi tim asuhannya begitu mudah terdistraksi dan mereka jadi sulit tampil maksimal. Ini semua terbukti kala dirinya membesut Chelsea (dalam dua periode berbeda itu), Madrid, dan United.

Kendati demikian, Mourinho masih punya daya pikat yang tinggi. Namanya seringkali muncul sebagai headline surat kabar sebagai calon pelatih baru sebuah kesebelasan mapan yang baru saja mengganti pelatih.

Dari sekian klub yang digosipkan meminati jasanya, karier eks penerjemah almarhum Sir Bobby Robson di Sporting Lisbon, Porto, dan Barcelona ini akhirnya berlanjut di Tottenham Hotspur per November 2019 kemarin.

Penampilan kurang menawan Spurs kala ditukangi Mauricio Pochettino di awal musim 2019/2020, termasuk gugur di fase awal Piala Liga, jadi alasan utama manajemen mendepak lelaki Argentina tersebut.

Sebagai suksesor yang kaya pengalaman, Mourinho diharapkan mampu mengangkat performa The Lilywhites. Apalagi ia dibekali skuat yang cukup mentereng dengan keberadaan Dele Alli, Harry Kane, Hugo Lloris, Son Heung-min sampai Jan Vertonghen.

Sayang seribu sayang, dari 17 partai Liga Primer Inggris yang dilakoni Spurs bersama Mourinho, hasilnya tak kelewat memuaskan. Lloris dan kawan-kawan cuma mengoleksi 8 kemenangan, 3 kali imbang dan terkapar di 6 laga. Posisi mereka di papan klasemen pun masih tersendat di peringkat delapan via koleksi 41 poin.

Nahasnya lagi, The Lilywhites juga sudah tersingkir dari dua kompetisi lain yang mereka ikuti. Spurs ditaklukkan Norwich City lewat adu penalti pada ronde kelima Piala FA serta bertekuk lutut di hadapan RB Leipzig pada babak 16 besar Liga Champions.

Seperti yang telah saya tuliskan di bagian awal artikel, salah satu kendala Mourinho adalah usangnya filosofi permainan dan taktik yang ia anut.

Ciri khas permainan defensif nan pragmatis yang kental dari tim asuhannya sembari mengandalkan kemampuan individu sejumlah pemain bikin lawan gampang mengantisipasi.

Padahal di era sepakbola modern, Mourinho dianggap sebagai figur genius sekaligus antitesis dari seorang Pep Guardiola dalam hal taktik. Jika Mourinho fasih dengan strategi defensif yang acap membosankan, maka Guardiola adalah pemuja skema ofensif nan memikat mata.

Meski sama-sama menimba ilmu di Barcelona, jalan yang ditempuh Mourinho dan Guardiola berbeda jauh. Mourinho memilih jalan yang lain sementara Guardiola menyempurnakan filosofi permainan yang dikembangkan oleh Johan Cruyff selama menangani raksasa Catalan itu.

Sejatinya, masing-masing pelatih memiliki keyakinan tersendiri perihal filosofi permainan yang diimani. Pun dengan Mourinho yang amat memuja hasil akhir. Maka memintanya untuk mengubah hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan.

“Banyak yang merasa bahwa pilihan saya untuk membangun benteng pertahanan yang kokoh adalah sebuah kejahatan. Padahal itu hanyalah satu dari ribuan cara untuk mendapatkan hasil dari sebuah pertandingan sepakbola,” terang Mourinho dalam suatu wawancara.

Gaya main pragmatis dan bertahan seperti yang biasa dipertontonkan tim asuhan Mourinho akan selalu menghadirkan perdebatan di kancah sepakbola. Ada yang selalu pro, tapi juga ada yang kontra. Kadangkala, itu hanya masalah preferensi semata.

Bagaimanapun juga, kita harus ingat bahwa mencari cara untuk menang di suatu laga adalah hukum mutlak dalam sepakbola. Strategi ofensif yang menghibur dan menyejukkan mata atau permainan defensif yang efektif tapi cenderung menjemukan hanyalah alat buat mendekatkan diri kepada hasil positif. Asyiknya, kita bebas mau memilih cara yang mana demi menggapai target yang ditentukan.

Sehingga konyol sekali rasanya kalau ada yang menyebut Mourinho yang senantiasa membuat tim-tim asuhannya bermain bertahan dan membosankan disebut sebagai pendosa. Toh, sudah berkali-kali cara main pragmatis manjur digunakan untuk meraih gelar juara di kancah sepakbola.

Tak percaya? Silakan tengok bagaimana penampilan Portugal di Piala Eropa 2016 yang sukses mereka akhiri dengan kegembiraan hakiki usai mengecup trofi juara. Setali tiga uang, Yunani juga menampilkan aksi teramat membosankan di Piala Eropa 2004. Namun di pengujung cerita, merekalah yang tertawa paling akhir setelah memastikan diri sebagai raja di Benua Biru.

Keberhasilan Mourinho merengkuh Treble Winners bersama Inter lekat dengan aroma permainan yang defensif serta pragmatis. Tatkala mengecup trofi Liga Champions tiga musim beruntun bersama Madrid, Zinedine Zidane juga memperlihatkan gaya main serupa.

Saat ini, Mourinho sedang mengalami penurunan prestasi. Namun menyebutnya sebagai figur gagal adalah kesalahan sebab ia punya segudang bukti bahwa kemampuannya eksepsional dan layak dipuja. Siapa yang berani menebak kalau peruntungannya takkan berubah bareng Spurs di musim 2020/2021 mendatang?

Sentimen taktik defensif ala Mourinho melahirkan banyak sekali kritikan. Tetapi wajib diingat bahwa sepakbola merupakan olahraga yang dinamis, termasuk perkara filosofi, taktik dan strategi.

Bisa saja Mourinho dicaci habis karena pilihannya selama ini. Namun dinamika sepakbola yang konsisten bergulir akan terus mengubah wajah sepakbola.

Hari ini, apa yang Mourinho perlihatkan bakal mendapat kritik tanpa henti. Namun siapa yang bisa menduga jika dalam rentang 5-10 tahun ke depan, cara tersebut dapat mengubah tatanan yang ada di ranah sepakbola. Entah dilakukan sendiri oleh Mourinho atau pelatih-pelatih lain yang lebih muda.

Rasanya pasti lucu dan memalukan kalau saat ini kita mencaci Mourinho dengan pilihan taktiknya, tapi dalam beberapa tahun ke depan, ia atau preferensi taktiknya justru menjadi faktor kunci untuk kebangkitan tim kesayangan kita.

Komentar

This website uses cookies.