Memindai Peran Christian Eriksen di Inter

Bergulir selama satu bulan terakhir, kepindahan Christian Eriksen dari Tottenham Hotspur ke Internazionale Milano akhirnya jadi kenyataan. Usai menjalani serangkaian tes medis, kubu I Nerazzurri mengumumkan secara resmi kedatangan gelandang tim nasional Denmark tersebut via akun media sosialnya kemarin (28/1).

Mengacu pada laporan Dailystar, Inter hanya menghabiskan fulus sejumlah 17 juta paun (berikut add-ons) buat memboyong pria berusia 27 tahun itu. Murahnya harga tebus Eriksen disebabkan oleh durasi kontrak sang pemain bareng Tottenham yang segera kedaluwarsa (Juni 2020). Daripada kehilangan Eriksen secara cuma-cuma pada bursa transfer musim panas mendatang, beroleh kucuran dana senilai 17 juta paun tentu lebih baik untuk The Lilywhites.

Tatkala Serie A musim 2019/2020 berputar, ada optimisme yang meletup di Suning Sports Training Centre, markas latihan Inter. Di bawah komando Antonio Conte sebagai pelatih baru, I Nerazzurri diyakini akan menjadi rival Juventus dalam perburuan gelar Scudetto walau mereka tak pernah mengamininya secara terbuka.

Pada kenyataannya, sampai giornata ke-21, Inter sanggup menempel Juventus di papan klasemen dengan selisih tiga poin. Artinya, perebutan Scudetto berpotensi sengit hingga pekan-pekan pamungkas.

Sayangnya, klub besutan Conte justru mengalami penurun performa dalam rentang tiga laga terakhir. Berturut-turut, Inter bermain seri dengan Atalanta, Lecce, dan Cagliari.

Selain lini depan yang kurang tajam, miskinnya kreativitas dari sektor tengah disebut-sebut sebagai problem utama I Nerazzurri. Maka tak perlu heran bila kedatangan Eriksen disambut gembira Interisti. Terlebih, bekas penggawa Ajax Amsterdam itu cukup kondang sebagai figur jenius yang mampu jadi konduktor permainan tim.

Ketika berkostum Tottenham, Eriksen seringkali didapuk sebagai gelandang serang yang berdiri tepat di belakang striker. Posisi ini memberinya kebebasan lebih untuk berkreasi sekaligus jadi opsi alternatif penyelesai peluang.

Berbekal teknik olah bola mumpuni yang ditunjang inteligensia, keahlian dalam mengambil keputusan sampai kebolehan mencari ruang di pertahanan lawan, membuat Eriksen jadi ancaman nyata untuk barisan belakang kubu musuh.

Pemosisian diri Eriksen. Foto: Wyscout

Gambar di atas menunjukkan bagaimana Eriksen secara cerdas menempatkan dirinya di celah antarlini pertahanan Aston Villa. Tujuannya agar Tottenham dapat memprogresikan bola ke depan dengan lancar sehingga kans menciptakan peluang dan mencetak gol semakin tinggi.

Sejatinya, Eriksen tidak dimainkan sebagai starter pada laga pembuka mereka di Liga Primer Inggris musim ini. Pelatih The Lilywhites kala itu, Mauricio Pochettino, memilih untuk bermain dengan skema 4-3-1-2 dan memasang Erik Lamela di belakang duet Kane dan Lucas Moura.

Akan tetapi, pergerakan Lamela yang diberi kebebasan cenderung dominan ke area sayap sehingga skema Tottenham lebih mirip 4-3-3. Hal inilah yang membuat mereka kesulitan menguasai permainan sedari sepak mula karena progresi bola dari lini tengah ke depan sering macet. Penyebabnya ada dua, ketiadaan pemain yang lihai mengisi ruang antarlini lawan di tengah maupun half-space serta pakem The Villans yang bermain rapat dan menerapkan blok pertahanan rendah.

Beruntung, Pochettino cepat bereaksi dan memasukkan Eriksen guna menggantikan Harry Winks. Keberadaannya membuat dimensi permainan The Lilywhites semakin luas. Bola tak lagi didistribusikan ke area sayap saja sebab Eriksen bisa mencabik-cabik pertahanan Aston Villa lewat penempatan posisi maupun umpan-umpan akuratnya di area tengah. Diakui atau tidak, presensi Eriksen mengubah jalannya pertandingan dan Tottenham pun menang via skor 3-1 meski tertinggal lebih dahulu.

Membiarkan Eriksen berleha-leha dengan bola sama artinya dengan mengundang petaka. Ia bisa saja mengirim umpan akurat kepada rekannya atau justru mengeksekusinya sendiri via sepakan jarak jauh. Pergerakan tanpa bolanya pun wajib diwaspadai karena dalam sepersekian detik, Eriksen bisa mengokupasi ruang kosong untuk menerima bola lalu mengalirkannya kembali, mengeksekusinya atau sekadar menarik atensi lawan sehingga rekannya bebas dari penjagaan.

Lantas, seperti apa peran yang bakal dilakoni Eriksen dengan seragam biru-hitam?

Sudah bukan rahasia lagi jika Conte adalah penggemar formasi dasar 3-5-2. Dengan pola tersebut, ia menempatkan tiga gelandang tengah yang memiliki tugas berbeda.

Umumnya, ia memasang satu gelandang defensif yang berdiri di depan para bek tengah sekaligus menjadi distributor utama bola dan sepasang gelandang berkarakter agresif yang lebih ofensif. Andai tak terganggu cedera atau suspensi, triumvirat Nicolo Barella-Marcelo Brozovic-Stefano Sensi merupakan opsi andalan Conte.

Namun semenjak cedera, ada sedikit penurunan kualitas dari Sensi. Gelandang mungil nan lincah itu sendiri masih berupaya keras mengembalikan performanya ke titik puncak.

Seraya menanti Sensi kembali ke bentuk terbaiknya, Eriksen dapat dimaksimalkan sebagai satu dari dua gelandang berkarakter menyerang. Pria berambut pirang ini tak cuma berfungsi sebagai jembatan antara lini tengah dan depan, tapi juga kreator permainan dari lini kedua sehingga beban Brozovic tak terlalu berat.

Seperti di Tottenham, Eriksen patut diberi keleluasaan lebih untuk melakukan penetrasi di area tengah hingga sayap, baik dengan atau tanpa bola. Mengisi celah-celah yang kosong di ruang antarlini bakal sering ia lakukan demi melancarkan progresi bola sembari mengkreasikan peluang. Hal ini bisa mendatangkan benefit untuk duet Lautaro Martinez dan Romelu Lukaku di sektor depan. Tak berhenti sampai di situ sebab Eriksen yang punya sepakan terarah juga hadir sebagai penembak jarak jauh dan algojo tendangan bebas.

Bukan cuma krusial di fase menyerang, keberadaan Eriksen akan sangat penting dalam mode bertahan. Bareng The Lilywhites, ia mendapat gemblengan dari Pochettino agar mampu berkontribusi untuk tim saat diserang. Caranya? Tentu mengasah kemampuan membaca permainan lawan, berani melakukan duel-duel fisik, tak ragu buat menjulurkan tekel atau bahkan melanggar musuh asalkan bola tidak mendekati area pertahanan.

Di luar proses adaptasi yang wajib dilakoni Eriksen, kini semuanya berpulang kepada Conte. Allenatore berusia 50 tahun tersebut pernah memuji Eriksen sebagai figur brilian dalam aspek teknis maupun taktis. Sebuah nilai plus yang dibutuhkan oleh kesebelasan mana pun. Maka memaksimalkan kemampuan Eriksen adalah keharusan bagi Conte.

Kehadiran Eriksen bisa mendorong Conte yang terkenal kaku, agar lebih fleksibel dan variatif dalam menerapkan strategi permainan. Jika selama ini kukuh dengan pola dasar 3-5-2, presensi pemilik 95 penampilan dan 31 gol bersama timnas Denmark tersebut bisa memberinya alternatif lain, misalnya saja turun dengan formasi dasar 3-4-1-2 dan menempatkan sang rekrutan anyar di belakang tandem Lautaro dan Lukaku. Serangan yang banyak bertumpu pada umpan-umpan dari sisi sayap, kini dapat divariasikan dengan sodoran-sodoran presisi dari wilayah tengah yang dihuni Eriksen.

Saat berbaju Ajax dan Tottenham, Eriksen memamerkan kilaunya sebagai gelandang kreatif yang piawai melayani rekan setim. Total ia mengukir 127 asis bagi kedua tim tersebut. Harapan serupa, sekarang menunggunya di Stadion Giuseppe Meazza.

Komentar

This website uses cookies.