Menebak Nasib Sepak Bola Gresik Pasca-Pilkada 2015

Bukan sebuah rahasia lagi bahwa sepak bola dan politik adalah dua elemen yang tidak terpisahkan. Politik seakan menjadi pisau bermata dua. Politik bisa menjadi alat membangun sepak bola dan sebaliknya, bisa merusak.

Di Indonesia sendiri, sempat ada dua kompetisi. Galatama dan Perserikatan. Singkatnya, Perserikatan diisi oleh klub yang dikelola oleh pemerintah daerah. Sedangkan Galatama berisikan klub yang dikelola atau dibentuk oleh swasta. Dari sini saja, sudah terlihat bahwa politik dan sepak bola di Indonesia, terikat dengan sangat erat.

Gresik, sempat memiliki klub yang terlibat dalam kompetisi Perserikatan. Yakni Persegres Gresik era pertama. Klub ini pun dikelola oleh pemerintah daerah.

Bahkan, pemilihan julukan pun dipengaruhi oleh pemerintah. Yang awalnya Joko Umbaran diubah secara sepihak oleh pemerintah menjadi Laskar Giri. Ini adalah pembuka dalam melihat betapa dekatnya sepak bola dan politik di Gresik.

Lahirnya Gresik United

Sepak bola Gresik mengalami pasang surut. Sempat menggemparkan jagat sepak bola Indonesia melalui Petrokimia Putra Gresik dengan label menjadi “Juara Tak Bermahkota” pada Ligina 1 tahun 1994/1995, kilauan cahaya sepak bola Gresik meredup.

Sinar cahaya itu sempat membumbung tinggi ketika PS Petrokimia Putra Gresik mampu meraih gelar Ligina pada tahun 2001/2002 dan mengharumkan nama Gresik. Tapi setelah itu, Petrokimia Putra degradasi. Sepak bola Gresik mencapai titik terendahnya.

Permasalahan bermula ketika manajemen PT. Petrokimia menolak melanjutkan proyek sepak bola. Gresik terancam tanpa sepak bola.

Ultrasmania Gresik berontak. Mereka tak ingin Gresik kering tanpa hiburan. Puncaknya, Ultrasmania melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD Gresik.

Pada 2 Desember 2005, pemerintah memutuskan untuk membentuk klub sepak bola baru. Hasil merger dari Persegres Gresik dan Petrokimia Putra Gresik. Namanya Gresik United dengan julukan Laskar Joko Samudro.

Semua warga Gresik bergembira. Bagaimana tidak, Gresik akan sepi tanpa sepak bola. Hiburan paling menghibur di kolong langit. Tapi percayalah bahwa itu adalah tindakan salah. Setidaknya dampaknya terasa sampai saat ini.

Ketika melakukan aksi demo ke pemerintah, artinya kita semua ingin agar pemerintah ikut campur dalam sepak bola. Padahal, klub sepak bola profesional harusnya lepas dari cengkraman APBD dan campur tangan pemerintah.

Dari sini saja, terlihat bahwa pembentukan Gresik United tak lepas dari peran pemerintah daerah. Dan ini adalah awal dari terang benderangnya peran pemerintah dan politik dalam sepak bola di Gresik.

Matinya Gresik United dan berdirinya Persegres Gresik United

Gresik United tak bertahan lama. Gresik United “dimatikan” dan sejarahnya dikubur dalam-dalam. Kini, anak cucu kita nanti mungkin tak tahu kalau ada Gresik United.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gresik tahun 2010 adalah akar dari hilang dan lenyapnya nama Gresik United. Pilkada tahun itu memunculkan nama baru. Incumbent sudah dua periode memimpin Gresik. Mau tak mau, ia melepaskan tahta. Muncullah nama-nama baru beraroma lama.

Pilkada 2010 juga terjadi kejutan. Partai yang selama ini menguasai Gresik kalah. Mau tak mau, ia harus melepaskan semua kekuasaanya. Termasuk sepak bola. Sepak bola adalah salah satu “harta karun” yang dimiliki Gresik. Selain pabrik, waliyullah, dan warung pangku.

Di sinilah awal mula terbentuknya Persegres Gresik United (selanjutnya disebut Persegres jilid II). Di tangan bupati baru, Sambari Halim Radianto, sepak bola Gresik disulap dan dipoles sedemikian rupa.

Persegres jilid II mendapatkan durian runtuh dengan lolos ke Indonesia Super League (ISL) 2011. Pada Divisi Utama musim 2010/2011, Persegres lolos ke 8 besar, tapi gagal promosi setelah hanya menempati peringkat ketiga grup A.

Aturannya Persiba Bantul, Persiraja Banda Aceh, Mitra Kukar, dan Persidafon Dafonsoro (via play-off) yang punya kesempatan lolos. Tapi, kisruh dualisme liga membawa berkah bagi Persegres jilid II sehingga dengan berbagai pengaturan sedemikian rupa bisa melangkah ke ISL.

Unsur politis di tubuh Persegres jilid II terlihat samar-samar. Pun sama dengan ketika Gresik United dulu. Terlihat samar, namun kalau dilihat lebih lanjut sebenarnya sangat jelas. Cek saja siapa yang mengisi pos-pos penting di manajemen Gresik United dan Persegres jilid II. Akan terlihat nama-nama politisi di Gresik.

Stadion Gelora Joko Samudro

Gresik membangun stadion baru. Stadion yang sebenarnya diproyeksikan untuk gelaran Asian Games 2018. Tapi apadaya, yang menang Palembang (lagi).

Anggaran miliaran dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Rencana pembangunan pun disampaikan kepada publik. Meskipun sempat mendapatkan penolakan, rencana ini berjalan. Tahun 2015, tahap pertama pembangunan stadion akan selesai. Janji itu terbukti.

Bulan lalu, stadion Gelora Joko Samudro (Selanjutnya disebut GJS) diresmikan Menpora. Mungkin GJS satu-satunya stadion yang diresmikan ketika pembangunannya belum selesai total. Karena rencananya, pembangunan tahap kedua selesai 2016.

Lalu, kalau belum beres sepenuhnya kenapa harus diresmikan? Pertanyaan ini akan selalu menghiasi otak warga Gresik. Ada apa sebenarnya.

Sedikit demi sedikit jawaban mulai terkuak. Akhir tahun, ada event akbar. Pilkada serentak 2015. Jangan salahkan warga Gresik yang su’udzon kalau pembangunan stadion tak luput dari kepentingan pilkada. Karena memang rentang waktu peresmian dan pemilu hanya sekitar dua bulan.

Pembangunan stadion sendiri akan dilanjut 2016. Menunggu anggaran, katanya. Itu janji Pemerintah Daerah. Ingat, itu janji Pemerintah Daerah era sekarang. Apa jadinya kalau misal incumbent gagal menang? Janji pembangunan stadion akan seperti apa? Mangkrak?

Tentu tak ada yang berharap stadion akan mengkrak dan pembanguna tidak dilanjutkan. Semua berharap stadion akan selesai seperti janji. Lalu bagaimana caranya agar stadion bisa selesai sesuai rencana? Jadikan incumbent menang? Mungkin jalan terbaik adalah siapa pun yang memenangkan pertarungan politik akhir tahun nanti, stadion harus selesai. Semoga.

Lalu, bagaimana nasib sepak bola Gresik?

Stadion adalah bagian kecil dari permasalahan sepak bola di Gresik pasca-Pilkada. Masalah besarnya adalah klub sepak bola itu sendiri. Bagaimana nasib klub? Apa harus berubah nama lagi? Masak setiap ada pilkada, klub sepak bola di Gresik ganti nama. Kasihan PSSI dan FIFA, setiap lima tahun sekali, ia harus gonta ganti nama klub di Gresik.

Jadi, kalau dilihat dari polanya memang seperti itu. Sudah dua kali Pilkada Gresik yang berujung perubahan klub. 2005 pilkada, lahirlah Gresik United. Pilkada 2010 berlangsung dan tak lama muncullah Persegres jilid II. Polanya sama, manajemennya berbeda.

Dan tahun ini, adalah pilkada periode ketiga pasca-matinya Petrokimia Putra Gresik. Lalu, apakah nasib sepak bola Gresik sama dengan sebelumnya? Apabila petahana menang, pembangunan stadion lanjut dan nama tetap Persegres jilid II. Atau ketika yang menang nama lain, nama klub kembali ke Gresik United dan stadion mangkrak tak diselesaikan.

Pernyataan di paragraf atas adalah hipotesis dari pertanyaan tentang bagaimana nasib sepak bola di Gresik pasca-Pilkada 2015. Karena, kembali kalau dilihat dari pola sebelumnya, peluang hipotesis itu jadi nyata cukup besar.

Kalau hal itu terbukti, maka itu adalah kiamat kecil bagi sepak bola Gresik. Sepak bola Gresik tak akan pernah maju. Bagaimana mau maju, kalau manajemen setiap lima tahun sekali harus berubah. Baru kali ini ada “mutasi” manajemen.

Manajemen klub akan diisi oleh orang-orang yang hanya memikirkan politik dan kekuasaan. Tanpa memikirkan sepak bola dan prestasi. Karena ketika menjabat, akan memikirkan bagaimana menjaga kekuasaannya di dalam tubuh manajemen klub. Kalau ini terjadi, sepak bola Gresik harus ditata ulang.

Yang perlu diingat adalah tulisan ini hanya sebuah opini. Sifatnya spekulatif dan masih bisa diperdebatkan. Tak ada tendensi dan keberpihakan politik apa pun. Tulisan ini dimaksudkan sebagai sumbangsih pemikiran untuk kemajuan sepak bola di Gresik.

 

Komentar

This website uses cookies.