Sekitar dua belas tahun yang lalu, saya sempat terpesona dengan cara berpikir seorang dosen senior yang sedang mengajukan sebuah penelitian untuk hibah nasional dengan tema yang menurut saya luar biasa.
Beliau ingin melihat persepsi seratus pelajar asing terhadap negara Indonesia, terutama dari kehidupan sosial dan budayanya.
Saya yang saat itu masih bau kencur sempat terpana, kok kepikiran ya ingin melihat cara pandang para “bule” terhadap negara kita.
Seketika saya yang sudah berkecimpung di kajian sport communication, langsung berpikir “ada, nggak, ya, orang asing yang mau menulis buku tentang sepakbola Indonesia?”.
Jawabannya hadir sekitar awal tahun 2017. Saya mendengar dari seorang kolega kalau ada sebuah buku bertemakan sepakbola yang ditulis oleh warga negara asing yang tergila-gila akan sepakbola tanah air.
Sang penulis yang bernama Antony Sutton menceritakan keunikan sepakbola di Indonesia dari kacamata pribadinya yang terkesan jujur dan dituliskan apa adanya, tanpa bumbu penyedap layaknya cerita sinetron lokal.
Ketika buku Sepakbola; The Indonesian Way of Life sudah beredar, saya berhasil membelinya dengan menitip kepada teman saya, yang merupakan seorang book hunter.
Sayangnya, dalam sebuah perjalanan penelitian, ketika melintasi dataran selatan Thailand, Hat Yai, buku yang baru saya baca kurang dari tiga bab hilang beserta seluruh isi tas yang dibawa lari oleh oknum tak bersahabat dalam kereta yang saya naiki dari Kangar, Malaysia.
Secuil cerita di atas merupakan kisah pertama kali saya terpana pada buku yang bersampulkan potret suporter bola yang sedang bertelanjang dada yang entah sedang, marah, kecewa, atau malah kegirangan karena terciptanya gol dari klub kebanggaan mereka.
Buku ini cukup tebal sekitar 300 halaman dan terbagi dalam 17 bab yang mempunyai beragam kesan.
Buku ini memang berangkat dari kumpulan tulisan dalam blog Jakarta Casual dengan pemilihan diksi dari Andibachtiar Yusuf selaku penerjemah sangat jeli memilah dan memilih padanan kata yang tepat.
Dalam bab pertama yang diberi judul Letak dan posisi Indonesia, Antony terang-terangan menjelaskan kepada pembacanya terutama untuk warga asing bahwa Indonesia merupakan negara yang besar dengan total kota di Indonesia yang berjumlah ratusan, yang di dalamnya bisa saja terdapat ribuan klub baik yang berlisensi maupun yang tidak diakui.
Selanjutnya, dalam bab Indonesia, Piala Dunia, dan Federasi, Anthony menceritakan carut marutnya federasi sepakbola kita, PSSI.
Terutama ketika dualisme liga ditambah dengan sistem manajerial yang dikendalikan dari balik jeruji. Menariknya lagi, federasi yang terkesan bandel terhadap FIFA ini malah nekat ingin mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia.
Berbicara sepakbola dan kaitannya dengan seni coba dituangkan pria penggemar Arsenal tersebut dalam bab ketiga yang berjudul Sepakbola Indonesia dan Seni di dalamnya.
Menariknya Antony memandangnya melalui jendela film bertemakan sepakbola yang masih sangat jarang muncul ke permukaan.
Film berjudul Romeo Juliet, menggambarkan kerinduan serta menyiratkan tantangan untuk turut melahirkan film dengan tema serupa.
Jika saya diizinkan memilih, mana bab paling favorit, maka saya memilih bab keempat tentang sepakbola Indonesia di kancah Asia.
Ada perasaan getir ketika Anthony bercerita mengenai sejarah sepakbola kita yang selalu mentok di babak awal dan masuk Piala Dunia bak mimpi di siang bolong.
Uniknya, Anthony menuliskan sebuah perasaan menggelitik bahwa pemain kita di level tim nasional lebih semangat jika bertanding di kancah Asia Tenggara dibandingkan menatap lebih luas di level Asia maupun dunia.
Ada perasaan takut dan tidak percaya diri. Ketika membaca bagian tersebut saya senyum-senyum sendiri, karena memang begitu kenyataannya.
Bicara sepakbola lokal tidak lepas dengan stadion yang menggawanginya. Melalui bab kelima, Anthony menceritakan minimnya infrastruktur dalam sepakbola Indonesia.
Melalui guratan candaan beberapa klub yang berlabel nama daerah, malahan tidak mempunyai stadion yang bisa menjadi kendang di kota mereka sendiri. Khas Indonesia sekali.
Antony juga cukup jeli memandang prestasi klub Indonesia di gelaran internasional. Dalam bab ‘Persibo dan Rasa Malu bangsa’, ia bercerita mengenai sebuah klub yang jungkir balik membuat nama Indonesia ternoda.
Namun, jangan salah, bab ini bukan hanya soal kegagalan, tetapi juga ada cerita klub lain seperti PSM dan Semen Padang yang membuat harum nama bangsa.
Jika kita berpikir ada, nggak, ya, pemain yang bermain di level Piala Dunia mau menginjakkan kaki di tanah air?
Jawabannya akan tersedia di bab berikutnya lewat kehadiran legenda Kamerun di Piala Dunia 1990.
Perbincangan Antony dengan Jules Dennis Onana terdengar renyah dan sebuah hal baru yang jarang disinggung oleh penulis buku lainnya. Ada sebuah cerita, harapan, hingga nestapa yang diceritakan oleh seseorang yang pernah mengalahkan Diego Maradona.
Dalam dua bab selanjutnya, Anthony berfokus kepada cerita mengenai sejarah darah biru Persib dengan Bobotoh hingga sekelebat perseteruan Persib dengan Persija yang menghiasi bab ‘fenomena Bernama Persib’ dan “Bandung dan Bobotoh’.
Setelah berpetualang ke Kota Kembang, ia juga mengajak kita ke Jawa Timur dengan memahami hubungan Bonek dengan klub Persebaya secara tradisi, hingga identitas diri yang tidak bisa luntur dengan anggapan negatif (bab ‘May The Green Force Be With you’).
Melipir ke Kota Apel, Malang, juga menjadi cerita yang tersaji dalam buku ini lewat bahasan relasi erat Aremania dengan sejarah berliku klub Arema.
Setelah mengajak kita bertamasya dengan membaca rangkaian klub yang beredar di sepanjang perjalanan keretanya di Pulau Jawa, sang penulis mengajak kita memandang nasib para pemain muda yang diwakilkan oleh timnas U-19 yang menyita perhatian di akhir 2013.
Ada nada kesal dan sedih yang seolah tersirat ketika berbicara mengenai eksploitasi para pemain serta kelelahan karena tur nusantara yang terkesan dipaksakan.
Setelah bicara prestasi tim nasional junior, kurang afdol jika tidak menyinggung timnas senior yang pada tahun 2010 dengan prestasi luar biasa karena bantuan dari sistem naturalisasi pemain yang menjadi tren.
Hebatnya, dalam bab ini Antony berhasil menceritakan sisi lain dari seorang pemain yang memilih Indonesia sebagai negara barunya.
Sejatinya sebuah obrolan, akan ada bagian yang menggebu-gebu, santai, hingga terkesan hening.
Dalam dua bab terakhir, sisi refleksi dari Antony yang secara gamblang bercerita mengenai dirinya yang bukan orang Indonesia secara tidak langsung juga bertemu dengan beberapa orang yang senasib karena jatuh cinta dengan sepakbola Indonesia.
Seperti yang ditulis olehnya pad halaman 254 bahwa ada rasa kekaguman terhadap Indonesia. Rasa kagum tersebut yang melatarbelakangi seluruh tulisan dalam buku ini menjadi sesuatu yang berbeda nan unik.
SEPAK BOLA: THE INDONESIAN WAY OF LIFE
—
Antony Sutton melakukan apa yang jarang dilakukan ekspatriat: menulis soal sepak bola Indonesia. Ia menuliskan pengalamannya layaknya pengembara. “Sepak bola Indonesia masih suci,” katanya.Segel | Rp99.000
WA https://t.co/5MpO5Yzeil pic.twitter.com/dxI0sNDj3v— Kedai⚡Boekoe (@kedaiboekoe) February 17, 2021
Kalau mau menyebut tulisan ini sejenis resensi, monggo saja, dengan harapan buat yang belum membaca bukunya jadi tertarik membeli.
Dengar-dengar, bukunya juga sudah tersedia dalam cetakan baru pada awal tahun ini, lho.