Menpora, BIN, dan Pengaturan Skor

Tahun 2015 pemberitaan terkait dugaan pengaturan skor semakin kencang. Dimulai dari kejadian penangkapan Johan Ibo di Surabaya sehari sebelum pertandingan yang memertemukan tuan rumah Persebaya Surabaya melawan Pusamania Borneo hingga rekaman percakapan dari pihak yang ditengarai sebagai investor yang membiayai pengaturan skor pertandingan Indonesia pada Sea Games 2015 lalu.

Berbagai macam peristiwa yang terjadi ini membuat masyarakat pencinta sepak bola Indonesia semakin kecewa dan cemas. Tak pelak, berbagai macam pendapat pun dilontarkan dan tak jarang pula ada perdebatan antara percaya tidak percaya adanya mafia. Apa buktinya dan apa tindakannya.

Kecemasan ini coba dipecahkan oleh Menpora. Imam Nahrawi menginginkan aparat kepolisian dan intelijen untuk segera bertindak guna menangani persoalan tersebut.

“Kemenpora tidak punya kewenangan mengusut kasus mafia bola atau pengaturan skor. Aparat kepolisian atau Intelijen harusnya turun tangan,” ujar Imam Nahrawi saat penjemputan kontingen SEA Games 2015 di Bandara Soekarno Hatta, Rabu (17/6).

Pernyataan Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) tersebut lantas ditanggapi oleh tim pembela PSSI. Aristo Panggaribuan mewakili Tim Pembela PSSI, mengatakan bahwa suatu kesalahan besar jika BIN ikut-ikutan mengusut tentang mafia bola.

“BIN –Badan Intelijen Negara— itu tugasnya ngurusin teroris. Terlalu rendah pekerjaanya jika ngurus mafia bola,” tukas Aristo Panggaribuan di Jakarta beberapa waktu lalu.

Kemunculan mafia bola dalam pertandingan-pertandingan sepak bola di Indonesia menjadi perdebatan tersendiri bagi Kemenpora dan PSSI terkait siapa yang lebih berwenang dalam penanganannya. Publik sendiri pun kemudian jadi ikut bertanya-tanya mengenai siapa yang layak diserahi tanggung jawab menuntaskan persoalan yang tak kunjung usai tersebut.

Ada benarnya ketika memahami pernyataan Aristo Panggaribuan bahwa masalah mafia bola terlalu remeh jika diurus oleh BIN. Karena jika melihat UU No. 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, sifat BIN lebih kepada deteksi dini dan cegah dini terkait ancaman dari dalam negeri dan luar negeri yang berkaitan dengan stabilitas negara. Dijelaskan pula pada bagian penjelasan, bahwa ancaman terhadap keamanan dalam negeri yang dimaksud meliputi separatisme, terorisme, sabotase, kekerasan politik, konflik horizontal dan lain sebagainya.

Sejauh ini, kasus mafia bola masih belum bisa mengarah pada timbulnya konflik horizontal. Justru pertandingan bola antara Persija vs Persib, umpamanya, bisa memicu timbulnya konflik horizontal antara suporter dari Persib dengan Persija. Namun, itu juga sifatnya hanya periodik dan tidak berlarut-larut. Maksudnya, pasca pertandingan tersebut, orang Bandung yang berada di Jakarta tidak berdampak apa-apa, yang sekaligus menunjukkan bahwa hanya simbol-simbol yang berhubungan langsung dengan sepak bola saja yang bertikai. Apabila simbol seperti kaos, syal, logo, hingga bendera klub sudah ditanggalkan, maka konflik pun juga akan hilang. Beda halnya dengan kasus Sampit yang terjadi pertikaian antara orang Madura dengan suku Dayak. Situasi yang bisa berlarut-larut dan mengancam keselamatan jiwa bagi banyak orang.

Kasus mafia bola cenderung masuk dalam ranah hukum, di mana terjadi aksi suap kepada perangkat pertandingan bola, baik pemain, pelatih maupun wasit dengan tujuan tertentu. Suap tentu masuk dalam ranah pidana, karena hal itu telah diatur dalam UU No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Pelaku suap diancam pidana hingga lima tahun dan denda, sementara penerima suap diancam pidana tiga tahun.

Jika kembali melihat pernyataan Imam Nahrawi yang menginginkan kepolisian dan intelijen mengusut tuntas kasus mafia bola, tentu yang dimaksud bukan Badan Intelijen Negara. Karena lembaga intelijen di negara ini tidak hanya BIN saja, tetapi juga ada Intelijen Kepolisian dan Intelijen Kejaksaan. Intelijen Kepolisian bertindak sesuai dengan fungsi kepolisian, sedangkan Intelijen Kejaksaan bertindak sesuai dengan fungsi penegakan hukum.

Sang Menpora tentu berharap permasalahan mafia bola bisa diusut tuntas dengan didukung oleh kinerja aparat intelijen tersebut, sehingga mafia bola tidak hanya sebagai isu belaka, tetapi terkuak oleh fakta yang diperoleh oleh aparat intelijen tersebut.

Apabila yang dimaksud Imam Nahrawi adalah lembaga intelijen seperti BIN, tentu kerja sama yang dijalin tidak bisa hanya lewat media massa, mengingat ini adalah hubungan antarlembaga pemerintahan. BIN secara struktural di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sementara Kemenpora juga secara struktural berada di bawah Presiden. Secara kelembagaan tentu tidak etis apabila kemenpora memberikan perintah kepada lembaga yang secara struktural sama-sama di bawah Presiden.

Kemenpora harus meminta kepada bapak Jokowi agar memberikan perintah kepada BIN untuk terlibat dalam pemberantasan mafia bola-tentu harus sudah dipikirkan kembali terkait fungsi BIN itu sendiri. Atau lebih cepatnya, Menpora bisa melakukan pembahasan terkait nota kesepahaman kerjasama terkait mafia bola. Seperti yang sudah dilakukan oleh Ibu Susi Pudjiastuti. Di mana pada lansiran situs www.bin.go.id bulan April lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan telah melakukan penandatanganan Nota kesepahaman terkait kerjasama bidang kelautan.

Ada payung hukum untuk menjerat pelaku penyuapan dan pengaturan skor yang terjadi di sepak bola Indonesia. Kini, kita nantikan apakah pihak yang berwenang punya niatan untuk menuntaskan segala persoalan yang sudah menguras energi banyak pihak ini atau lebih suka saling lempar tanggung jawab mengenai siapa yang seharusnya melakukan penanganan.

Komentar

This website uses cookies.