Vietnam, dalam sudut pandang Hanoi, merupakan belukar ibu kota yang berjalan sebagaimana mestinya. Ramai, penuh dengan klakson, kabel berhalang rintang menyusuri njlimetnya penjuru kota.
Perihal sepakbola, kota ini tak pernah ketinggalan cerita. Mulai dari The Cong (kini bernama Viettel SC) yang dimiliki oleh tentara dan ditransfusi dana oleh perusahaan bernama Viettel, hingga Hanoi FC II yang tak lelah melahirkan tim kuat baru seperti Saigon FC dan Ha Tinh FC.
Tahun lalu saya berkesempatan menuju kota sepakbola di Vietnam. Di sana, saya banyak mendapatkan ilmu seputar sepakbola setempat. Tak terkecuali pandangan mereka terhadap sepakbola kita, baik itu level klub atau tim nasional.
Dalam tulisan kali ini, saya akan merangkum dari berbagai narasumber yang saya temui di jalan, kereta, hingga hostel di Hanoi hingga Da Nang.
Narasumber A saya temui ketika mampir di warung Pho dekat Old Town, Hanoi. Narasumber B di dalam kereta perjalanan menuju Da Nang dan ia adalah fans dari Nam Dinh FC. Terakhir adalah narasumber C, ia salah satu rekan hostel di Da Nang, berasal dari Saigon dan fans dari Tp. Ho Chi Minh FC.
Apa kalian tahu tentang sepakbola Indonesia?
Kebanyakan menjawab tahu. Dan narasumber B menjawab lebih kompleks, “Siapa yang tidak tahu, atau sekadar memantau salah satu kekuatan sepakbola Asia Tenggara,” jawabnya dengan menyeringai.
Klub sepak bola Indonesia apa yang kalian ketahui?
Narasumber A dan B kompak, mereka menjawab Persija dan Persib. Terkhusus Persib, narasumber A menyimpan kenangan manis. Yakni ketika Hanoi FC pernah menghantam Persib dengan skor 4-0 pada babak pertama kualifikasi Liga Champions Asia 2015 region Asia Tenggara. Ia juga mengetahui Arema karena pernah satu grup dengan Hanoi FC dalam Piala AFC 2014.
Untuk Persib, saya mendapatkan kesan dan pesan yang luar biasa dari narasumber A, “Mereka tim yang kuat. Namun sangat disayangkan bahwa semua dana dilimpahkan untuk pemain dan hal-hal yang instan. Jika mereka mengolah uang seperti Johor Darul Takzim (dan membangun sarana latihan kelas wahid), mungkin uang tersebut akan terus berputar (menjadi prestasi lagi).”
Apakah tim-tim di Vietnam melakukan investasi infrastruktur seperti apa yang dilakukan JDT?
Narasumber A menjawab, “Liga kami (V.League 1) masih bintang dua. Belum seperti di Thailand, Malaysia atau Indonesia yang sudah bintang tiga. Peminat banyak, tapi intensitas pendapatan kebanyakan dari sponsor. Itu memang tak sehat, makanya kami tidak pernah melakukan “pembakaran” uang secara jor-joran. Apa lagi hanya untuk membeli satu atau dua pemain Eropa level atas yang sudah habis (usia emasnya).”
Bagaimana pandangan kalian mengenai progres sepakbola Indonesia sejauh ini? Berhubung timnas kita sering bertemu di Piala AFF?
Narasumber B menjawab, “Saya kurang bisa menerima konsep ranking. Indonesia memang di bawah tetapi di level junior, Indonesia kerap menjadi ancaman. Nah, mungkin celahnya adalah pembinaan, cetak biru utama, dan tidak ada patokan yang jelas. Itu pandangan sederhana saya, sih. Sebagai rival tentunya.”
Sedangkan narasumber C, seorang bapak-bapak yang pernah pergi ke Thailand hanya untuk mendukung timnas Vietnam. Ia menjawab, “Saya baca media, banyak orang-orang yang nggak paham sepakbola terlibat terlampau jauh dalam merawat sepakbola ini. (Sebelumnya saya bercerita bahwa olahraga utama Indonesia adalah sepakbola dan bulutangkis) Menimbang jomplang prestasi dua olahraga utama Indonesia, kan, kita bisa sama-sama melihat apa yang kurang.”
Narasumber C melanjutkan, “Singkatnya, ketika sepak bola mengalami paceklik, tinggal meneropong saja badan bulutangkis. Mengapa mereka bisa berprestasi? Terdengar gampang, sih, atau bahkan sudah dilakukan, tapi, ya, balik lagi, jika yang mengisi memiliki maksud lain (selain memajukan sepakbola), bisa dipastikan itu adalah titik lemah Indonesia.”
Apa yang menjadi keunggulan Vietnam atas Indonesia dalam pandangan kalian?
Narasumber A menjawab dengan guyon, “Klenik. Ya, ini tentang klenik. Kami percaya jika bertemu Indonesia, keberuntangan kami rasanya terkuras habis.”
Narasumber C mengatakan, “Sama saja, sih. Kita mulai dengan waktu yang relatif sama. Sepakbola negara kami dibawa semenjak masa penjajahan Prancis. Melalui daerah utara, kemudian menuju selatan. Rasanya kebanyakan negara Asia Tenggara memulai di waktu yang sama. Saya masih percaya dengan argumen saya, orang-orang di balik sepakbola Vietnam itu sepenuh hati. Entah dengan Indonesia.”
Narasumber B menjawab dengan tertawa, “Tentunya, pemain. Vietnam mengutamakan “produk asli” sedangkan Indonesia sama saja seperti Filipina (naturalisasi).”
Memangnya Vietnam nggak pernah menaturalisasi pemain asing?
Narasumber C menjelaskan, “Nak, ini pemikiran kolotku saja, ya, mungkin akan berbeda dengan dirimu. Naturalisasi sebetulnya tak melulu soal timnas tapi juga menguntungkan klub. Misalkan jatah pemain asing yang berlaku di Vietnam adalah tiga pemain asing, satu pemain Asia dan pemain naturalisasi. Kebetulan timku, Nam Dinh, diisi satu pemain naturalisasi, Nguyen Quoc Thien Esele, maka ada slot kosong yang dapat diisi pemain lain, bukan?”
Gelombang naturalisasi Vietnam meledak di tahun 2009. Ketika itu ada delapan pemain yang dinaturalisasi, bahkan ada dua mantan pemain timnas Thailand yang dinaturalisasi supaya dapat memperkuat tim yang sedang dibela guna mengurangi slot pemain asing tanpa mengurangi kuota pemain asing di satu tim.
Dikutip dari Pandit Football, sekitar tahun 2010, ada ide dari sebelas klub yang mengusulkan jika pemain naturalisasi dibatasi. Aturan ilegal ini cukup unik, setiap klub boleh memiliki sebanyak-banyaknya pemain naturalisasi, tapi hanya boleh memainkan satu saja ketika laga dimulai. Protes tentu saja ada. Lantas federasi sepakbola Vietnam (VFF) menerapkan aturan 3 pemain asing dan 1 pemain naturalisasi di lapangan.
Terakhir, tiga tahun lagi, bagaimana persaingan antara Vietnam dan Indonesia? Ketat atau Indonesia semakin kalah jauh?
Narasumber A menjawab, “Indonesia harus berbenah, walau saya nggak tahu berbenah dalam hal apa. Gimana kalau pertanyaan itu aku limpahkan ke kamu yang orang Indonesia? Apa yang harus federasimu benahi untuk setidaknya bersaing di kancah Asia Tenggara?”