Sepakbola Indonesia tak pernah bosan menciptakan drama tersendiri. Baru berjalan beberapa bulan pasca-vakum akibat pandemi Covid-19, isu pengaturan skor yang kembali menyeruak bikin para suporter debat kusir tiada akhir.
Mengapa saya sebut demikian? Para suporter tentu bisa melihat sendiri konsep acara Mata Najwa yang dari judul serta tampilan di layarnya. Angka 6-0 memberi pesan kepada kita bahwa federasi sepakbola Indonesia (PSSI) tak serius dalam mengatasi isu yang sama setiap musimnya.
Bagi saya, sudah saatnya PSSI melihat isu pengaturan skor yang terjadi di dalam kompetisi sepakbola nasional sebagai isu yang sangat penting buat dibahas sekaligus diselesaikan.
Bukan hanya untuk menciptakan kompetisi yang berkualitas, tetapi juga membuat perdebatan antar suporter di media sosial menjadi lebih cerdas dan sehat.
Rasa-rasanya kita sudah terlalu lama disuguhi perdebatan antar suporter yang dipenuhi kecurigaan dan saling tuduh.
Suporter klub A menuduh klub B sebagai tim yang akrab dengan wasit karena sering mendapat hadiah penalti. Tak terima dengan label itu, suporter tim B balas menuduh kesebelasan A sebagai kubu yang disayangi federasi sebab pengurus klubnya menjadi orang penting di tubuh federasi.
Kasus yang terbaru berkaitan dengan laga pada Jumat (5/11) yang lalu antara Bali United versus Persipura dan Persija kontra Barito Putera.
Dua laga yang kalau kita bahas dari sisi taktikal, semangat juang pemain, dan segala hal teknis yang lain tentu sangat menarik buat ditonton.
Lantas, apa yang terjadi di lini masa media sosial terkait dua partai tersebut?
Para suporter justru sibuk berdebat mengapa gol Bali United terjadi pada menit 90+6 padahal injury time yang diberikan wasit cuma 4 menit? Mengapa Ilija Spasojevic sebagai penyerang senior dan berlabel top skorer tim gagal mencetak gol via titik putih?
Apakah penalti yang diperoleh Persija kontroversial? Mengapa eksekusi Marco Motta yang merupakan pemain asal Eropa gagal?
Ironis, muara dari perdebatan itu mengarah kepada satu isu yang saat ini begitu hangat diperbincangkan yaitu pengaturan skor.
“Pertandingan ini pasti ada campur tangan mafia.”
Kalimat di atas hanyalah pernyataan yang sangat pendek. Namun langsung membuyarkan semua keseruan dari sepasang laga yang diperbincangkan.
Seolah-olah, cuma ada sisi gelap dalam pertandingan sepakbola di negeri ini. Hal-hal teknis dan taktis hanyalah niskala.
Mengapa gol Serdau Tridatu terjadi pada menit 90+6 sedangkan injury time hanya 4 menit?
Ada dua hal yang dapat menjawab pertanyaan ini. Pertama, perlu diketahui bahwa wasit berhak menambahkan waktu laga apabila selama injury time banyak kejadian yang menyebabkan pertandingan terhenti sejenak.
Memang tidak diwajibkan, tapi sekali lagi bahwa wasit sebagai pengadil di lapangan berhak memberikan hal tersebut.
Itulah mengapa wasit mengenakan dua jam tangan. Satu untuk mengetahui jalannya 45 menit pertandingan dan berjalan tanpa henti.
Sedangkan yang satu lagi dapat dihentikan apabila pengadil lapangan melihat suatu kejadian yang membuat laga terhenti. Dari jam tangan inilah wasit bisa menentukan berapa lama waktu tambahan yang diberikan, termasuk pada momen injury time.
Keputusan wasit pada laga Bali United melawan Persipura bisa dianggap benar. Pasalnya, saat memasuki periode injury time, terdapat insiden cederanya Hedipo Gustavo yang menyebabkan pertandingan terhenti sejenak.
Kedua (dan menurut saya semakin membenarkan situasi tersebut), meski injury time yang diberikan adalah 4 menit, tak serta-merta laga harus selesai pada menit 94 detik 00.
Terdapat banyak pertimbangan sehingga pertandingan masih dilanjutkan. Salah satunya karena situasi advantage yang didapat salah satu kesebelasan.
Saat itu waktu sudah menunjukkan menit 94 dan situasinya Persipura mendapatkan tendangan penjuru. Mari kita berandai-andai saat itu pemain Mutiara Hitam tidak memainkan bola di area tengah.
Bisa saja laga tersebut selesai dengan skor 0-0. Bahkan kalau Persipura piawai memanfaatkan situasi dengan ball possession yang ada pada mereka, bukan tidak mungkin kemenangan justru menjadi milik Ricky Kayame dan kawan-kawan.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Bola dapat direbut penggawa Bali United yang kemudian meluncurkan serangan balik. Situasi tersebut jelas advantage untuk Spasojevic dan kolega. Akan sangat aneh jika wasit langsung meniup peluit panjang dalam keadaan tersebut.
Serangan balik Bali United memang gagal tetapi mereka mendapatkan tendangan pojok pada menit 90+5. Secara logika, kondisi itu masih termasuk advantage bagi tim asuhan Stefano Cugurra, bukan?
Maka wajar dan pantas bila wasit tetap melanjutkan pertandingan. Berbeda dengan Persipura, sang lawan lebih cermat memaksimalkan keadaan ini untuk mencetak gol kemenangan via sepakan Ricky Fajrin.
Lalu mengapa pemain sekelas Spasojevic dan Motta gagal mengeksekusi penalti pada momen krusial?
Saya akan mengawalinya dengan sebuah pertanyaan ke pembaca. Apakah Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, bahkan Jorginho tidak pernah gagal saat maju sebagai algojo penalti?
Kalau mereka saja pernah gagal mengonversi tendangan 12 pas menjadi gol, mengapa Spasojevic dan Motta tidak boleh gagal?
Tendangan penalti adalah situasi sulit. Bukan hanya teknik menendang yang dibutuhkan tetapi juga mental kuat dari para eksekutor.
Dalam kasus Motta, ia bukan algojo utama penalti Persija. Dirinya bahkan bukan seorang juru gedor yang biasa menjadi penyelesai peluang.
Sebagai bek, fisiknya sudah terkuras selama 90 menit usai meladeni Rafinha. Apalagi selama injury time, ada begitu banyak aksi yang dia lakukan buat meredam serangan kubu Bekantan Hamuk. Baik secara fisik maupun psikis.
Keadaan fisik yang menurun sudah pasti mengurangi tingkat konsentrasi seorang pemain. Bisa saja kemampuan teknis Motta pada malam itu terpengaruh oleh penurunan kondisi tubuhnya sehingga tendangannya justru melambung ke udara.
Sementara pada kasus Spasojevic, saya punya pertanyaan lain. Dalam praktiknya, pengaturan skor ini hanya mengatur skor atau juga mengatur momen-momen dalam sebuah pertandingan?
Kalau hanya mengatur skor, bukankah lebih mudah menyuruh Spasojevic cetak gol lewat titik penalti daripada harus berdarah-darah berjuang mencari gol pada menit 90+?
Saya tidak menyalahkan pihak yang masih merasa janggal dengan dua peristiwa di atas. Namun alangkah baiknya jika hal-hal tersebut tidak selalu dikaitkan dengan isu pengaturan skor.
Masih ada banyak aspek lain, utamanya teknis dan taktis, yang membuat kejadian-kejadian tersebut lahir pada laga Bali United versus Persipura dan Persija kontra Barito Putera.
Maka dari itu, penting bagi PSSI untuk menyelesaikan isu pengaturan skor ini. Jangan biarkan itu tumbuh subur dan terus memecah belah suporter.
Saya tak bisa menyangkal bahwa sepakbola Indonesia masih lekat dengan adanya mafia. Namun percayalah, apa yang terlihat dari laga-laga dalam kompetisi kita tak melulu tentang mafia. Ada banyak hal yang dapat dijelaskan lewat kacamata teknis dan taktis.