Menyoal Penghinaan Publik terhadap Pesepakbola

Masih ingat tentang kasus penalti Krisna Adi yang sempat menggemparkan sepakbola kita? Atau masih ingatkah dengan kasus unggahan makanan di media sosial pribadi Riyandi beberapa waktu lalu? Dua pesepakbola ini menjadi buah bibir di kalangan penggemar sepakbola nasional.

Keduanya merupakan kasus yang mirip. Sama-sama menghebohkan publik karena dianggap telah melanggar norma di bidang olahraga. Krisna dianggap mencederai sportivitas karena sengaja menggagalkan penalti seperti instruksi yang didapat sebelum pertandingan, sedangkan Riyandi dianggap abai dengan makanan yang seharusnya dikonsumsi atlet.

Seorang pesepakbola digambarkan sebagai sosok yang menjunjung tinggi sportivitas dan selalu menjalani pola hidup sehat, baik soal berolahraga maupun menjaga asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhannya. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa mereka juga bisa melakukan kebiasaan yang mungkin tidak mencerminkan seorang atlet. Entah itu begadang, makan gorengan, meminum obat peningkat kinerja, melakukan tindakan curang, dan lain sebagainya.

Suka atau tidak, pesepakbola atau atlet pada umumnya memiliki citra tersendiri di mata publik. Perilaku-perilaku yang bertentangan dengan citra tersebut kerap memantik amarah publik. Terutama saat kabar mengenai tindak-tanduk sang pesepakbola tersebar luas dengan cepat, baik melalui media massa maupun media sosial.

Khusus media yang disebut belakangan, akhir-akhir ini memang mudah sekali jadi ladang penghakiman tentang perilaku pesepakbola, utamanya di luar lapangan. Satu unggahan saja bisa membuat publik heboh dan bahkan mempermalukan pemain tersebut dengan kata-kata yang tidak pantas.

Sialnya, media massa justru memanfaatkan itu demi mendulang klik dengan memberikan berbagai bumbu penyedap sehingga isu bergulir semakin panas. Misalnya saja judul-judul yang bombastis, gambar atau foto yang memperkeruh suasana dan lain-lain. Publik yang mudah tersulut pun tak ragu untuk menyerang akun media sosial pribadi sang pesepakbola.

Alih-alih mengkritik atau menasihati, ungkapan kita di media sosial justru berupa cercaan. Padahal tujuan awalnya hanya ingin membuat para pesepakbola itu sadar bahwa ia telah melakukan sebuah kesalahan dan berharap ia segera memperbaikinya. Kita sering alpa bahwa itu semua malah mengarah kepada penghinaan publik.

Dalam penelitian berjudul Sport Fans’ Responses on Social Media to Professional Athletes’ Norm Violations, penghinaan publik didefisikan sebagai perilaku di mana seseorang atau kelompok mengungkapkan penghinaan atau ketidaksetujuan terhadap orang lain sebagai hasil dari penilaian yang menyatakan bahwa orang tersebut telah melanggar norma tertentu..

Biasanya, penghinaan publik ini muncul gara-gara seorang pesepakbola mengalami penurunan performa. Namun dalam perkembangannya, penghinaan publik juga mencuat lantaran tingkah laku dari pesepakbola atau atlet di luar arena.

Pernahkah kita membaca komentar seperti ini, “Kamu pantes dapat sanksi nggak boleh main bola lagi seumur hidup!” atau “Ya udah sih, kan udah dilakuin juga dan udah ngaku juga dia salah. Toh dia bilang mau memperbaiki gitu, tutup ajalah kasusnya!”

Kedua komentar tersebut sama-sama menggambarkan tujuan dari penghinaan publik. Komentar pertama bertujuan untuk membuat stigma sehingga pelanggaran norma atau kesalahan yang pernah dilakukan akan menjadi bagian dari identitas si pemain. Sedangkan komentar kedua bertujuan untuk reintegrasi yang menyatakan pemain tersebut pernah melakukan kesalahan, tapi ia bukan termasuk orang yang buruk.

Dari penjelasan tersebut, kita tahu bahwa masing-masing orang menunjukkan respons yang berbeda terhadap pemain-pemain yang telah melanggar norma tertentu. Biasanya respons kita terdiri dari tiga macam. Pertama berupa keraguan. Kedua, menyalahkan faktor eksternal dari pesepakbola itu sendiri. Ketiga, percaya bahwa sang pesepakbola bertanggung jawab atas insiden yang terjadi, tapi menganggap perilakunya tidak signifikan atau bisa juga mengakui bahwa pelanggaran yang dilakukan itu merupakan sesuatu yang penting dan perlu mendapat perhatian lebih untuk memperbaikinya.

Sedikit mengutip kalimat yang menarik dari drama olahraga Mandarin berjudul My Mr. Mermaid, “Mereka fokus pada skandalmu, bukannya kompetisimu.”, meningkatnya status seorang pesepakbola juga dapat meningkatkan perhatian media dan publik terhadap pelanggaran yang ia lakukan, baik itu di dalam maupun di luar lapangan.

Ini juga mengakibatkan pesepakbola semakin rentan mengalami penghinaan publik di media sosial. Di sisi lain, biasanya pemain yang berstatus selebriti akan mendapatkan permakluman yang lebih banyak ketika melakukan kesalahan dibanding dengan pemain non-selebriti.

Kita perlu memahami bagaimana penghinaan publik memiliki dampak tersendiri kepada pesepakbola. Tak hanya itu, para pesepakbola juga harus memahami poin apa yang muncul dari penghinaan publik yang mereka terima. Toh, sebenarnya kita juga selalu memberikan dukungan kepada mereka walau pernah melakukan kesalahan atau melanggar norma tertentu.

Tak jarang kita menemui komentar atau pesan yang menunjukkan empati dan menyemangati pemain agar tidak menyerah ketika mendapatkan sanksi, memberikan rekomendasi tentang apa yang harus dilakukan pemain untuk memperbaiki kesalahannya, atau bahkan secara langsung menawarkan diri untuk membantu.

Pengetahuan tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dapat menekan terjadinya penghinaan publik. Selain itu, klub juga perlu memiliki hubungan yang baik dengan suporter sehingga dapat menjadikan mereka sebagai pendukung yang setia sekaligus kritikus tajam. Hubungan baik antara klub dengan suporter akan memberikan timbal balik yang bermanfaat untuk keduanya.

Komentar

This website uses cookies.