Bicara soal ketampanan, mungkin para penggemar sepakbola sepakat jika Alvaro Morata memiliki paras rupawan yang setara dengan Olivier Giroud atau bahkan duo megabintang, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.
Ketampanan Morata bahkan membuat eks anggota grup vokal JKT48, Jennifer Rachel Anastasya, terpesona. Tak heran bila dirinya acap memberi dukungan kepada pria kelahiran kota Madrid tersebut.
Baru-baru ini, lewat akun media sosial Twitter, Rachel, panggilan akrabnya, menyayangkan kegagalan Morata saat mengeksekusi sepakan penalti yang didapat tim nasional Spanyol kala bersua tim nasional Slovakia (24/6).
Akan tetapi, Rachel yang juga sempat saya idolakan kala menjadi bagian JKT48 tetap memberikan dukungan kepada Morata lewat cuitannya.
Bisa bisanya kamu gagal ☹️
tp gapapa tetap semangat ❤️ @AlvaroMorata— Rachel (@rclnatasyaa) June 23, 2021
Jika ketampanan punya peran krusial dalam urusan mencetak gol, mungkin Morata sudah melesat sebagai pemain dengan jumlah gol segudang. Nahas, ia lebih dikenal sebagai striker yang hobi membuang-buang peluang.
Lantas, mengapa Morata bisa gagal mengeksekusi peluang emas tersebut? Menurut analisis eks bek kanan Manchester United dan timnas Inggris, Gary Neville, Morata memiliki kelemahan dalam hal penyelesaian akhir. Khususnya perihal sentuhan pertamanya terhadap bola.
Sebetulnya, menurut Neville, Morata bukanlah striker yang jelek. Ia dikenal sebagai penyerang dengan mobilitas tinggi dan cukup piawai dalam duel-duel udara. Namun kualitas penyelesaian akhir dari jadi biang kerok performanya yang sering angin-anginan.
Wajar kalau posisi Morata sebagai salah seorang juru gedor utama belum jua sejajar dengan sosok seperti Harry Kane, Robert Lewandowski atau Romelu Lukaku.
Neville menambahkan jika Morata sering merasa tidak tenang justru saat bola ada di kakinya. Ya, ada problem mentalitas dari salah satu penggawa Juventus ini. Padahal, penempatan posisinya saat bermain cukup prima.
Melihat generasi striker Spanyol di masa lalu seperti Fernando Morientes, Raul Gonzalez, Fernando Torres, dan David Villa begitu klinis di depan gawang, Morata bak anomali.
Terasa lebih mencengangkan lagi, ketika penampilan Morata terkesan stagnan, pelatih Luis Enrique tetap memanggilnya ke dalam skuad La Furia Roja yang dibawa bertempur di Piala Eropa 2020.
Berkebalikan dengan Morientes, Raul, Torres sampai Villa, Morata lebih sering mengecewakan fans karena peluangnya mencetak gol justru terbuang percuma. Bahkan dalam situasi yang sangat menguntungkan buatnya.
Berdasarkan statistik FBref, sepanjang babak penyisihan grup, Morata tampil tiga kali dan bikin sepuluh tembakan dengan lima di antaranya tepat sasaran. Expected goals (xG) pemain berusia 28 tahun ini pun menembus angka 2.8 yang berarti kans mencetak golnya tinggi. Sayangnya, cuma sekali ia dapat menggetarkan jala lawan!
Gara-gara penampilan buruknya itu, Morata mendapat ancaman dan hinaan dari publik, terutama lewat media sosial.
“Saya tidak tidur selama sembilan jam setelah laga melawan Polandia. Saya menerima ancaman dan hinaan. Bahkan ada yang berharap jika anak saya segera tiada”, terang Morata seperti dikutip dari Goal.
Apa yang dialaminya barangkali serupa dengan Timo Werner. Sejak direkrut oleh Chelsea pada musim panas 2020 lalu, Werner banyak membuang kesempatan yang ia dapat guna menggelontorkan gol. Banderol mahalnya seolah tak sepadan dengan kewajibannya menjadi juru gedor utama tim.
Kendati demikian, penampilan jeblok Morata tak sepatutnya membuat fans bertindak kejam. Mengancam pemain dan bahkan keluarganya sudah termasuk hal kriminal yang mesti ditindak.
Sudah menjadi rahasia umum bila naik dan turun performa seorang pemain adalah keniscayaan dalam sepakbola. Morata, apesnya, mungkin sedang mengalaminya di fase penyisihan grup Piala Eropa 2020.
Beruntung, Spanyol mampu lolos dari lubang jarum karena sukses mengoleksi lima poin dari hasil satu kemenangan dan dua kali imbang. Mereka finis sebagai runner up Grup E dan berjumpa Kroasia di babak 16 besar.
Beraneka cibiran yang datang, tak menyurutkan kepercayaan Enrique terhadap pemain bernomor punggung 7 ini. Buktinya, saat berduel dengan Vatreni, julukan Kroasia, dini hari tadi (29/6), Penyerang setinggi 190 sentimeter tersebut kembali dimainkan sebagai starter.
Laga melawan Kroasia sendiri berlangsung sangat ketat. Pesta terjadi dengan lahirnya delapan gol pada laga ini. Mujur bagi Spanyol, merekalah yang keluar sebagai pemenang dengan skor 5-3.
Morata tampil hebat dengan terlibat banyak dalam permainan serta merepotkan lini pertahanan lawan. Ia juga mencetak satu gol krusial pada babak perpanjangan waktu.
Sebuah gol yang mengatrol mentalitas La Furia Roja usai anjlok gara-gara gol penyama kedudukan Kroasia pada detik-detik akhir waktu normal.
Alvaro Morata’s game by numbers for #ESP vs. #CRO:
87% passing accuracy
53 touches
9 touches in opp. box
8 (!!!) fouls won (most)
8 ball recoveries
4 shots
2 tackles
1 aerial won
1 chance created
1 goal— Squawka Football (@Squawka) June 28, 2021
Suka tidak suka, kita bisa melihat peran Morata dalam kelolosan Spanyol ke babak perempatfinal Piala Eropa 2020. Maka sudah sepantasnya kalau dirinya tak lagi diremehkan.
Siapa tahu, di balik berbagai kekesalan yang kita rasakan perihal permainannya, Morata adalah kepingan yang dibutuhkan La Furia Roja untuk kembali menahbiskan diri sebagai raja di Eropa.
Seperti yang Rachel tunjukkan, seperti itu pula seharusnya kita bersikap kepada Morata. Jangan cuma memuji saat dirinya ada di penampilan terbaik, tetapi juga mendukung ketika aksi-aksinya sedang merosot.