Tahun 2002, Jerman bersua dengan Brasil dalam partai final Piala Dunia. Di Simpang Lima, ruang publik paling terkenal di pusat kota Semarang, diadakanlah acara nonton bareng (nobar).
Suasananya sangat meriah, karena pada masa itu, lokasi nobar belum sebanyak sekarang. Sederhana saja logikanya, pada masa tersebut harga LCD projector masih sangat mahal sehingga tidak banyak kafe yang mampu membelinya. Padahal, dengan alat itulah sebuah acara nobar bisa diselenggarakan.
Selain karena belum banyaknya lokasi nobar yang tersedia, ramainya Simpang Lima ketika itu barangkali bisa disangkutpautkan juga dengan nama kelompok suporter PSIS Semarang, Panser Biru, yang mirip dengan julukan tim nasional (timnas) Jerman.
Saya berjalan kaki dari kampus tempat saya menuntut ilmu, Universitas Diponegoro (Undip). Ada tiga lokasi kampus Undip di kota Semarang.
Pertama, di kawasan Pleburan yang hanya berjarak 300 meter dari Simpang Lima, kemudian di Rumah Sakit dr. Karyadi dan yang terakhir di kawasan Tembalang yang berjarak lebih dari 10 kilometer dari Simpang Lima. Beruntunglah kami yang kuliah di Pleburan, karena posisi kami sangat dekat dengan pusat kota.
Bersama dosen pembimbing skripsi, yang sekaligus dosen pembimbing akademik saya, Triyono Lukmantoro (yang akrab dipanggil mas TL) dan beberapa mahasiswa yang lain, kami menikmati kesemarakan di Simpang Lima.
Masyarakat Semarang berbondong–bondong membanjiri Simpang Lima laksana air rob dengan beragam moda transportasi. Beberapa di antaranya menaiki mobil dengan bak terbuka, lengkap dengan atribut Jerman atau Brasil. Sambil bernyanyi, mereka mengitari Simpang Lima. Acara kuis yang diadakan sponsor dengan dipandu pembawa acara di atas panggung kalah gemanya dengan keriangan masyarakat kota Semarang.
Ketika pertandingan mulai berlangsung, wajah–wajah terlihat dengan jelas. Kebetulan saya dan mas TL adalah penggemar berat tim nasional Jerman.
Walaupun sebelum berangkat ke Simpang Lima kami sadar bahwa Jerman akan sulit mengalahkan Brasil yang lebih difavoritkan, tapi kami mencoba membenarkan alasan kami untuk tetap menjagokan Jerman dengan asumsi bahwa Jerman adalah tipikal mesin diesel yang selalu terlambat panas.
Asumsi kami salah. Pertandingan akhirnya dimenangi oleh Brasil. Para pendukung Brasil yang berada di Simpang Lima meluapkan kegembiraan mereka dengan beragam selebrasi. Terompet ditiup kencang dan perkusi dipukul dengan keras mengiringi kemenangan Brasil.
Fans Jerman tertunduk dengan wajah kecewa. Sebuah oposisi biner antara kemenangan dan kekalahan, kegembiraan dan kesedihan, terlihat di Simpang Lima. Oposisi biner ini tidak berujung pada saling cela, saling maki apalagi tawuran.
Setelah nobar, penonton berbondong–bondong pulang. Banyak juga yang masih bertahan di Simpang Lima meneruskan menikmati malam dengan beragam kulinernya, terutama teh poci.
Tiga belas tahun kemudian, semifinal Liga Champions menyisakan narasi dari sebuah nobar yang diselenggarakan di Gelanggang Olah Raga (GOR) Otista, Jakarta. Fans Real Madrid dan Juventus yang ikut serta dalam acara nobar tersebut terlibat dalam sebuah aksi tawuran.
Di media sosial, berita tawuran itu segera tersebar dengan cepat. Bahkan di Youtube, tawuran antarkedua kelompok suporter bisa dilihat oleh manusia seluruh jagat. Beberapa media asing mengangkatnya ke dalam laman pemberitaan. Tawuran di sebuah nobar di Indonesia pun “go international”.
Dalam skala pemberitaan yang lebih kecil, selebrasi nobar yang berujung kericuhan juga pernah terjadi di Yogyakarta. Acara nobar El Clasico yang mempersuakan Real Madrid dan Barcelona di GOR Kridosono berujung pada keributan pada tahun 2013.
Micheal Real dalam tulisannya berjudul Sport and Spectacle yang termuat dalam buku Questioning the Media: A Critical Introduction (1990), menyebutkan bahwa apa yang disebut sebagai olahraga telah hadir sebagai mitos dalam kehidupan masyarakat modern. Mitos dalam masyarakat tradisional adalah sesuatu yang diangggap suci, sakral dan dihormati.
Apa yang dinyatakan oleh Michael Real ini menemukan artikulasinya dalam sepak bola. Bagi fans sepak bola, bentuk komunikasi yang dianggap menyinggung identitas klub yang didukungnya akan dianggap sebagai pelecehan atas mitos dan identitas kediriannya. Tatkala nobar yang melibatkan dua kelompok fans dari dua klub yang berbeda, nyanyian dan teriakan menjadi sensitif menyinggung kelompok suporter yang lain.
Beberapa kelompok suporter klub asing memperkuat identitas kefanatikannya dengan chants yang sama seperti yang dikumandangkan di tribun stadion. Melalui media sosial, mereka belajar banyak tentang aktivitas kultural yang terjadi di dalam tribun stadion.
Kelompok lawan pun juga demikian, sehingga walaupun dalam bahasa asing mereka akan saling mengetahui ketika identitas yang mereka banggakan dilecehkan. Ujungnya, mereka akan menawurkan fanatisme melalui aksi lempar botol, kursi dan batu. Tribalisme dari masa lalu kembali menemukan artikulasinya kala nobar rusuh.
Pada tahun 2008, sebuah diskusi tentang suporter sepak bola dihelat di sebuah kafe di daerah Kentungan, Jalan Kaliurang, Yogyakarta dalam rangka penerbitan buku Sepak Bola Tanpa Batas (2008) yang ditulis oleh Anung Handoko.
Pembicaranya Anung Handoko sebagai penulis bersama Bambang Kusumo, dosen sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) dan Daru Supriyono, yang mewakili Slemania, suporter PSS Sleman. Para pembicara banyak menyajikan fenomena menarik dalam dunia suporter sepak bola terutama berkaitan dengan fanatisme.
Di antara yang datang adalah beberapa anak muda yang mengenakan atribut klub Italia, Internazionale. Mereka menyatakan bahwa mereka lebih memilih menonton pertandingan klub asing melalui nobar karena alasan keamanan.
Namun, alasan keamanan ini sepertinya telah gugur setelah kericuhan di GOR Otista dan Kridosono. Sekarang ini, barangkali nobar hanya akan aman apabila hanya melibatkan satu komunitas saja.