Sarung, Bola, dan Kun Faya Kun

Bola dan sarung. Keduanya memang tidak sering bertemu. Di beberapa lomba tujuhbelasan, iya, keduanya bisa bertemu; lomba sepak bola sarung misalnya, jenis sepak bola yang tentu bakal langsung tidak disukai Luis Suarez, sebab nutmeg andalannya bakalan cuma jadi mitos di ajang ini.

Bola dan sarung bisa juga bertemu di luar lapangan. Di acara nonton bola di cangkruk atau pos kampling. Ditemani kacang, kopi, dan rokok beserta beberapa tetangga. Sarung bisa menetralisir dinginnya malam sambil menunggu azan subuh berkumandang.

Sekalipun lebih lekat sebagai produk budaya, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa sarung—terutama di Nusantara—sudah kadung jadi representasi paling dekat dengan golongan umat Islam. Utamanya golongan para santri. Dan bagi golongan ini, sarung tidak berhenti hanya jadi sekadar busana untuk ibadah, penutup aurat, atau gaya-gayaan semata, sarung ternyata bisa jadi apa pun yang dibutuhkan, termasuk menjadi bola.

Bagaimana caranya? Gampang. Ikatkan saja sarung itu ke simpul mati berulang-ulang sampai tidak bisa diikat lagi. Maka kun faya kun; sarung bermotif kotak-kotak bermerek buah-buahan atau salah satu nama titan di mitologi Yunani itu bisa tiba-tiba saja jadi bola.

Sekalipun tidak cukup bulat, tapi itu sudah cukup mampu membuat belasan sampai puluhan santri langsung jadi kalap. Toh, bukannya bola yang terlalu bulat sempurna seperti Jabulani di Piala Dunia 2010 malah banyak yang mengeluh daripada yang memuji?

Menggunakan bola dari sarung seperti itu, jangan lantas mengira permainan akan berlangsung seperti sepak bola betulan. Daripada disebut sepak bola, situasinya jauh lebih mirip dinamakan tawuran. Tidak ada yang namanya rekan setim, setiap santri yang ingin main bisa langsung masuk ikut tanpa harus minta izin kepada kapten tim.

Kapten tim? Tunggu dulu, boro-boro kapten, tim secara harfiah saja tidak ada. Yang ada adalah individu-individu yang benar-benar berebut bola (baca: sarung) tanpa arah yang jelas karena gawang yang jadi tujuan akhir kadang sampai lupa dibikin terlebih dahulu.

Di tengah kekacauan itu, jelas tidak ada peluit wasit. Pelanggaran tidak berlaku. Jika ada “pemain” yang cedera, ia cukup berjalan pincang ke pinggir sendirian. Peliut tanda berakhirnya pertandingan ini ada tiga pilihan; adzan menandakan waktu salat, bel mengaji, atau sabetan rotan ustadz pengurus pesantren.

Sekalipun seringkali hukuman bagi “pemain sepak bola dadakan” ini tidak main-main—kadang bisa sampai digundul—tapi bukan berarti sepak bola benar-benar dilarang di pesantren. Yang terjadi dengan kasus di atas adalah sepak bola yang dimainkan di waktu dan di tempat yang salah yang jelas tidak diizinkan.

Sepak bola di pesantren justru sejatinya malah dikelola dengan cukup baik. Sebab hal ini merupakan salah satu cara agar para santri bisa lepas dari kejenuhan rutinitasnya yang luar biasa padat. Lagi pula, ada banyak varian untuk membuat semacam turnamen sepak bola atau kompetisi para santri untuk satu pesantren saja.

Misalnya turnamen sepak bola berdasarkan asal wilayah santri. Artinya setiap klub merupakan sekelompok santri yang berasal dari kampung halaman yang sama. Perlu diketahui juga, untuk sebuah pesantren yang besar (yang memiliki santri dari ratusan sampai ribuan), para santri biasanya memiliki komunitas berdasarkan kampung halaman.

BACA JUGA:  Kejujuran dan Persaudaraan dalam Sepak Bola Jerman

Untuk contoh saja di pesantren saya dahulu ada Ikatan Santri Asal Salatiga disingkat IKSAS, Forum Komunikasi Santri Asal Klaten dan Yogyakarta disingkat FORKASTA, dan lain sebagainya. Maka tinggal ditambah saja kata “FC” untuk Football Club atau “PS”  untuk Persatuan Sepak Bola, maka klub tersebut sudah tinggal berkompetisi dengan anggotanya yang—tentu saja—berjumlah cukup banyak.

Selain berdasarkan asal kampung si santri, para pengurus pesantren dengan OSIS kadang membuat kompetisi antarkamar atau asrama pula. Kompetisi model begini dibagi sesuai dengan usia penghuni kamar. Ada kompetisi antarkamar untuk SMA sederajat dan kompetisi untuk SMP sederajat.

Karena format turnamen ini didasarkan tahun ajaran, maka nama-nama klub yang terdaftar merupakan wajah baru dari tiap angkatan ke angkatan. Dan karena yang memegang kendali adalah anak-anak usia belasan, maka wajar jika nama klubnya akan aneh-aneh atau cenderung memaksa. Misalnya; Real Umar bin Khattab, Imam Syafi’i United, atau yang benar-benar orisinil seperti; Kontos Wedul FC.

Dan di saat pertandingan dimulai. Di momen inilah kemudian sarung memiliki tempatnya yang paling sakral; sebagai bendera kebesaran para suporter klub masing-masing. Kun faya kun, jadilah bendera! Eh, jadi bendera beneran itu sarung.

Dengan hanya mengikatkan pada potongan bambu atau kayu, maka berkibarlah bendera-bendera kotak-kotak tersebut. Persetan dengan warna dan motif, bendera tersebut benar-benar memberi warna pada sepak bola pesantren yang penuh dengan kesederhanaan. Walau harus diakui, hal semacam itu terlihat sedikit norak memang.

Zirah sarung dan Andriy Shevchenko

Suka bermain sepak bola memang tidak lantas secara otomatis menyukai tontonan sepak bola, begitu pula sebaliknya. Masalahnya, ternyata tidak sedikit santri yang menyukai keduanya. Dan hal semacam itu jauh lebih rumit situasinya.

Menonton sepak bola di pesantren, tidaklah semudah menonton sepak bola di rumah. Perlu ada kiat-kiat khusus dan tidak bisa sembarangan.

Kalau ketahuan menonton di luar jadwal yang diperbolehkan, maka siap-siap saja untuk mengucapkan sayonara kepada rambut kesayangan. Maklum, dulu di periode 2000-an, jadwal pertandingan sepak bola (terutama yang menggelar big match) kebanyakan ditayangkan pada jam lewat dini hari yang mustahil bagi santri untuk bisa menontonnya.

Di pesantren bukannya tidak dikenal teknologi televisi. Televisi ada, hanya sayang televisi biasanya diperbolehkan beroperasi di hari libur. Artinya televisi diperbolehkan menyala sejak Kamis malam sampai Jumat sore.

Mungkin tidak masalah jika dulu ada siaran “Liga Malam Jumat” Piala UEFA. Masalahnya di tahun-tahun tersebut, turnamen kasta kedua di Eropa ini belum ada stasiun televisi Indonesia yang mau (baca: cukup rela merugi) menyiarkannya.

Atas situasi yang begitu mendesak, satu-satunya jalan agar bisa tetap melampiaskan sakaw candu tontonan sepak bola ini, cabut dari pondok pesantren dengan berat hati jadi satu-satunya solusi. Cabut dari dinding pesantren dan kabur untuk menuju ke pos ronda yang menyediakan layanan televisi.

BACA JUGA:  Lima Jurnalis Sepak Bola yang Karyanya Perlu Anda Baca

Jika diizinkan membandingkan dengan situasi para anak-anak muda saat ini, perburuan mencari pos ronda yang ada televisinya dulu seperti perburuan para fans yang rela mencari kafe dengan fasilitas siaran televisi berlangganan saat ini.

Hanya, tentu saja ada perbedaan yang cukup penting. Jika pencari kafe modus pesan es teh karena ingin nonton bola gratis selalu memiliki pertimbangan; lebih dekat dari kos lebih baik, maka tidak dengan para santri begundal tukang cabut seperti ini.

Prinsipnya justru terbalik; lebih jauh dari pondok lebih baik. Lebih baik karena lebih aman. Aman dari siapa? Tentu saja dari ustadz pengurus pesantren yang kadang cukup kurang kerjaan untuk melakukan razia.

Padahal tingkat kesulitan keluar dari dinding pesantren saja sudah naudzubillah sulitnya. Kamu tidak hanya perlu membekali diri dengan jago bersembunyi, tapi juga jago memanjat, dan—ini yang terpenting—jago lari. Kemampuan ini penting, karena di tahap pertama, kamu harus mampu memanjat turun pohon yang paling dekat dengan tembok pembatas pesantren.

Karena cukup sulit melakukannya dengan sandal, peci, dan  sarung. Maka kamu perlu menggunakan celana pendek. Sarung kamu ikat layaknya tas dan masukkan sandal, peci, dan kalau perlu beberapa cemilan. Alhamdulillah, alat satu ini (sarung) memang multifungsi dan menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Kehebatan sarung tidak hanya berhenti di sana. Sarung juga bisa berguna jika di luar dugaan, razia “Satpol-PP berkopiah” melebarkan area tugasnya. Nah, di saat inilah sarung punya fungsi sebagai baju zirah pelindung. Tentu hal ini bisa berjalan dengan kerja sama para warga yang memiliki rasa empati cukup tinggi hingga mau menyembunyikan santri-santri ini.

Tetap cuek memerhatikan layar televisi dan membungkus seluruh tubuh dengan sarung. Insya Allah, kun faya kun, kamu tidak akan ketahuan karena warga yang ikut nonton akan bilang ke ustadz dengan kalimat indah; “Ora ono bocahmu Kang nang kene.” (Tidak ada santrimu Kang di sini).

Di sisi lain, saya benar-benar tidak peduli sama sekali dengan keberadaan “Satpol-PP Berkopiah” itu. Karena malam itu, perhatian saya hanya fokus pada Andriy Shevchenko yang sedang berhadapan dengan Gianluigi Buffon di kesempatan adu penalti terakhir.

Malam itu, saya bahkan rela jika harus ketahuan dan harus mengucapkan sayonara kepada rambut kesayangan. Karena kebahagiaan di Old Trafford malam itu sudah menyebar jauh sampai ke pelosok desa kecil di Solo. Membuat saya jadi tidak begitu peduli dengan apa yang akan terjadi.

Ajaibnya, di pagi harinya saya bisa tetap sekolah tanpa beban takzir (hukuman) di kepala. Artinya, AC Milan juara dan saya benar-benar tidak ketahuan.

 Fabi-ayyi-alla-irobbikuma-tukaddziban? “Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?”

 

Komentar
Lahir di Jogja tapi besar dan belajar cinta sepak bola dari Pelita Solo dan Persijatim Solo FC. Tukang modifikasi dan renovasi kalimat di Indie Book Corner (IBC). Masih bermimpi jadi atlet kayang pertama yang berlaga di UFC World Champion. Biasa nggambleh di @dafidab