Sekurangnya dua dekade terakhir, Lionel Messi menghibur para penggemar sepakbola dengan aksi-aksi mengagumkannya di atas lapangan.
Kedua tungkainya dapat bergerak lincah sembari menggiring bola, dan gerak tubuhnya seperti penari yang menampilkan atraksi futuristis nan indah.
Walau status pesepakbola terbaik terus menjadi perdebatan, tetapi Messi, diakui atau tidak, merupakan salah satu anugerah terbesar Tuhan di dunia sepakbola.
Bagaimana tidak, sedari belia, ia begitu piawai menyihir mata dengan penampilan ciamiknya.
Messi acap menembus batasan-batasan yang selama ini tertanam di benak penggila sepakbola.
Mulai dari jumlah gol dalam semusim, jumlah gol dalam satu tahun kalender, sampai efektivitas dalam memanfaatkan peluang.
Messi, dengan segenap kemampuannya, melesat tinggi dan kemudian dijadikan standar pesepakbola kelas wahid.
Akan tetapi, di tengah segala pencapaian individu maupun kolektifnya, ada satu hal lain yang sudah menjadi rahasia umum tentangnya.
Ya, semasa kecil dahulu, Messi mengalami defisiensi hormon pertumbuhan. Itu merupakan sejenis penyakit yang mengganggu pertumbuhan Messi.
Seperti yang kita ketahui, tinggi badan La Pulga, julukannya, ‘cuma’ 170 sentimeter. Bagi kebanyakan masyarakat Argentina, tinggi badan Messi ada di bawah rata-rata.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh NCD Risk Factor Collaboration, tinggi badan masyarakat Argentina ada pada rentang berikut ini 175 sentimeter untuk laki-laki dan 161 sentimeter untuk perempuan.
Menurut National Organization of Rare Disease (NORD), Growth Hormone Deficiency adalah penyakit langka yang disebabkan kegagalan sekresi growth hormone oleh kelenjar kecil bernama kelenjar pituitari. Dengan kata lain, kelenjar pituitari gagal memproduksi hormon pertumbuhan.
Kelenjar yang terletak tepat di bawah otak tersebut memiliki dua sisi yang menghasilkan hormon berbeda.
Pada sisi posterior (belakang), kelenjar tersebut menghasilkan anti-diuretic hormone (ADH) dan hormon oksitosin.
Sedangkan sisi anterior (depan) menghasilkan growth hormone, tyroid-stimulating hormone (TSH), luteinizing hormone (LH), follicle-stimulating hormone, dan hormon prolaktin.
Kegagalan kelenjar pituitari menghasilkan hormon pertumbuhan dapat disebabkan bawaan sejak lahir akibat gen yang tidak sempurna, trauma, infeksi, atau radiasi.
Namun sampai saat ini penyebab pasti defisiensi hormon pertumbuhan tidak dapat dipastikan alias bersifat idiopatik.
Penyakit yang diderita 1 dari 4000 anak tersebut menyebabkan retardasi pertumbuhan, perawakan pendek, dan keterlambatan pematangan tulang tangan dan kaki.
Penyakit tersebut sering muncul pada anak sehingga mereka yang terjangkiti memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dari anak-anak lain yang seusianya.
Selain itu, dapat pula muncul gejala seperti kadar gula yang rendah pada masa kritis awal kehidupan (1000 hari), keterlambatan pertumbuhan gigi, dan pembentukan tulang tengkorak. Namun gejala yang paling mudah diamati adalah problem tinggi badan.
Penyakit defisiensi hormon pertumbuhan bukannya tidak dapat diobati. Hormone Health Network mengatakan pemberian hormon pertumbuhan buatan dinilai mampu menaikkan tinggi badan hingga 10 sentimeter dalam satu tahun.
Hormon pertumbuhan diberikan segera setelah anak terdiagnosis dengan cara penyuntikan subkutan atau di bawah kulit dan perlu pemantauan dalam rentang 3 sampai 6 bulan.
Walau demikian, pengobatan ini membutuhkan biaya yang tinggi dan tidak bisa dijangkau semua kalangan.
Kendala itulah yang menimpa Messi kecil. Namun Dewi Fortuna datang menghampirinya melalui Barcelona. Pada usia 13 tahun, bakat Messi diendus pemandu bakat klub asal Catalan tersebut.
Proses kepindahan Messi berjalan tidak mudah, salah satunya dikarenakan Messi harus menjalani program pengobatan masalah hormon pertumbuhan itu.
Kedua orang tuanya kesulitan biaya, duit yang dikeluarkan untuk pengobatan tersebut mencapai seribu dolar AS per bulan, terlebih pada saat itu Argentina sedang dilanda krisis ekonomi.
Beruntung, Carles Rexach bersikeras untuk membawa Messi ke Eropa buat menempa kemampuannya sekaligus membiayai pengobatannya.
Di La Masia, La Pulga beradaptasi secara cepat sehingga mampu tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya bahkan melampaui kemampuan anak-anak seusianya dalam menyepak bola.
Kita lantas bertanya-tanya, seandainya saat itu Barcelona tidak mengendus bakat luar biasa dari Messi kecil dan tak mau menanggung biaya pengobatannya seperti yang dilakukan klub-klub profesional Argentina lantaran perekonomian Negeri Tango yang memburuk, barangkali kita takkan pernah menyaksikan aksi seorang pemain yang kini menjadi idola banyak orang.
Ya, kita takkan melihat manusia setengah alien di jagad sepakbola yang dengan kepala atau kakinya selalu mampu menampilkan sihir di atas rumput hijau dan melahirkan puja serta puji.
Suka atau tidak terhadap sosoknya, tetapi para penggemar sepakbola masa kini sejatinya begitu beruntung karena dapat menyaksikan Messi lintang pukang dengan begitu artistiknya di atas lapangan.