Mourinho di Antara Titel dan Status Pelatih Spesialis Gagal

Kejayaan dari seseorang ataupun entitas di kancah sepakbola diyakini selalu memiliki masa tersendiri. Tak ada yang sukses selamanya karena dinamika yang terjadi. Hal serupa kini tampaknya sedang merapat kepada pelatih asal Portugal yang menukangi Tottenham Hotspur, Jose Mourinho.

Mulai mencuat pada awal 2000-an silam, kiprah Mourinho memang eksepsional. Klub raksasa Portugal, Porto, dibawanya menjadi kampiun Piala UEFA (kini UEFA Europa League) dan UEFA Champions League dalam dua musim beruntun. Prestasi mereka di kancah domestik pun tak main-main.

Setelahnya, karier lelaki kelahiran Setubal itu berlanjut di Chelsea, Inter Milan, Real Madrid, kembali lagi ke Chelsea, sampai Manchester United.

Asyiknya lagi, selalu ada trofi yang sanggup ia persembahkan untuk kesebelasan-kesebelasan top tersebut.

Berkat capaian itu pula, Mourinho digolongkan sebagai pelatih kelas dunia. Berdiri sejajar dengan sosok-sosok semisal Sir Alex Ferguson, Juup Heynckes, Arrigo Sacchi, hingga mendiang Rinus Michels.

Akan tetapi, berbeda dengan nama-nama di atas, Mourinho juga identik dengan kontroversi.

Entah berapa banyak masalah yang pernah muncul ke permukaan akibat tindak tanduk atau ucapan pria berusia 58 tahun ini.

Medio November 2019 kemarin, Mourinho menerima pinangan Spurs yang baru saja mendepak Mauricio Pochettino. Di London Utara, ia menandatangani kontrak selama empat musim.

Nahas, bareng rival bebuyutan Arsenal ini, Mourinho malah tampak semakin medioker. Musim 2019/2020 kemarin The Lilywhites cuma nangkring di posisi enam klasemen akhir Premier League.

Harry Kane dan kawan-kawan juga rontok di babak kelima Piala FA serta fase 16 besar UEFA Champions League.

Harapan untuk meraih sesuatu yang lebih baik tentu terhampar di musim 2020/2021. Namun bukan Spurs namanya kalau tidak spursy.

Mourinho tengah berjuang membawa tim asuhannya itu buat mencapai zona Eropa. Jika di awal musim harapan sempat menyeruak guna berebut tiket ke UEFA Champions League, kini Spurs mesti siap jika mereka cuma lolos ke UEFA Europa League.

BACA JUGA:  Anfield dan Aura Magisnya yang Lenyap bagi Liverpool

Kans melaju ke kejuaraan antarklub Eropa nomor wahid memang masih terbuka, tetapi penampilan inkonsisten yang diperlihatkan kubu London Putih akhir-akhir ini bisa membuyarkan itu semua.

Rival-rival seperti Leicester City, West Ham United, Chelsea, Liverpool, Everton, dan bahkan Arsenal siap bertarung mati-matian demi menggapai targetnya masing-masing.

Kalau pencapaian di Premier League tak terlalu apik. Mourinho masih punya harapan menuju Eropa via jalur Piala Liga.

Kebetulan, The Lilywhites akan bertanding di final melawan Manchester City pada 25 April 2021 mendatang.

Bila menang, mereka dipastikan melaju ke babak playoff UEFA Europa Conference League (UECL). Ajang ini sendiri merupakan ‘mainan baru’ asosiasi sepakbola Eropa, UEFA.

Sedikit menilik format UECL, kompetisi ini dimulai dari babak kualifikasi pertama yang diikuti oleh klub-klub dari negara berkoefisien rendah di Eropa (peringkat 30-55) seperti Estonia, Gibraltar, dan San Marino.

Pada babak kualifikasi kedua, tim-tim dari negara dengan koefisien lebih tinggi (peringkat 16-29) seperti Kroasia, Swedia, dan Yunani mulai berpartisipasi.

Kemudian, kejuaraan dilanjutkan di babak kualifikasi ketiga yang juga diikuti tim-tim dari negara dengan koefisien tinggi (peringkat 7-12) semisal Belanda, Belgia, dan Rusia.

Setelah itu, barulah masuk ke fase playoff dan pemenang Piala Liga dari Inggris, akan turun di sini. Mereka akan saling sikut guna memperebutkan tiket ke babak fase grup.

Dari fase grup itu nanti, ada delapan kesebelasan yang berhak melaju ke babak penyisihan grup UEFA Europa League.

Bisa dikatakan, format kompetisi ini persis dengan ajang Piala Intertoto yang dihapus pada 2008 kemarin.

Tak peduli seberapa medioker Spurs sebagai klub, rasanya akan sedikit aneh bagi kita untuk menyaksikan pemain-pemain seperti Kane, Hugo Lloris, dan Son Heung-min kudu bergelut di ajang ini.

BACA JUGA:  Ilusi Sepak Bola Indonesia

Setali tiga uang, Mourinho juga bakal disorot kalau timnya lolos ke UEFA Europa League lewat jalan ini. Jangan kaget andai nanti kapabilitasnya kian dipertanyakan.

Terlebih, akhir-akhir ini hasil jeblok yang didapat The Lilywhites acap diikuti komentar-komentar Mourinho sendiri yang memojokkan para pemainnya.

Menjuarai Piala Liga jelas menyenangkan untuk Spurs karena lemari trofi mereka akan terisi lagi setelah terakhir meraih titel pada 2008 silam.

Namun bila itu tidak diikuti dengan performa ciamik dengan finis setidaknya di enam besar Premier League, Spurs besutan Mourinho kudu memeras keringat lebih banyak dibanding klub-klub Inggris lainnya menyongsong musim mendatang.

Manajemen Spurs juga bisa mempertimbangkan lagi masa depan sang pelatih andai The Lilywhites gagal memenangkan Piala Liga dan tak menembus enam besar Premier League gara-gara penampilan jeblok.

Bukan tidak mungkin ia bakal didepak. Apalagi belakangan ini dirinya sering menimbulkan konflik dengan skuad lantaran komentar pedas tiada akhir kepada para pemain.

Kalau sudah begini, apakah Mourinho tetap dianggap The Special One seperti klaimnya dahulu? Atau malah termakan omongannya sendiri dengan menjadi pelatih spesialis gagal?

Komentar
Penggemar Manchester United dan Bayern Munchen yang hobinya menulis dan membaca ini bisa ditemui di akun Twitter @mtorieqa.