Manchester United Menatap Masa Depan

Kemunculan Liga Primer Inggris ditandai oleh runtuhnya kejayaan klub asal Merseyside, Liverpool, yang sebelumnya begitu dominan menjadi penguasa Liga Inggris pada era 1970-an sampai 1980-an. Sebagai pengganti, melejitnya Manchester United di bawah tuntunan Sir Alex Ferguson.

Tak tanggung-tanggung, United merengkuh tiga belas gelar Liga Primer Inggris sekaligus dan menahbiskan diri sebagai tim dengan koleksi titel liga terbanyak yaitu dua puluh biji. Jumlah tersebut lebih banyak dua piala ketimbang milik Liverpool.

Selain menjadi klub tersukses di ajang Liga Primer Inggris, The Red Devils juga satu-satunya kesebelasan asal Negeri Ratu Elizabeth yang berhasil merasakan Treble Winners. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada musim 1998/1999 silam kala mengawinkan titel Liga Primer Inggris, Piala FA dan Liga Champions.

Sebetulnya, Liverpool juga pernah meraih tiga gelar sekaligus yakni di musim 2000/2001 dengan memboyong Piala FA, Piala Liga, dan Piala UEFA (kini Liga Europa). Namun ketiadaan gelar liga membuat torehan The Reds kala itu belum dianggap Treble yang sesungguhnya karena capaian tersebut selalu menghitung prestasi di liga sebagai acuan.

Tragisnya, selepas periode emas bersama Ferguson, laju United terseok-seok. Benar jika mereka masih sanggup mencomot masing-masing sebiji gelar Piala FA, Piala Liga, dan Liga Europa selepas era pelatih legendaris tersebut. Namun secara keseluruhan, performa The Red Devils amat semenjana.

David Moyes, Louis van Gaal sampai Jose Mourinho bukanlah sosok tanpa kualitas saat didapuk sebagai pelatih anyar. Namun kinerja mereka tak betul-betul memuaskan. Hingga akhirnya, manajemen United memutuskan untuk mengangkat bekas pemain mereka yang ikut berkontribusi atas gelar Treble Winners, Ole Gunnar Solskjaer, sebagai nakhoda baru (awalnya berstatus caretaker sampai dilantik sebagai pelatih secara resmi).

Kembalinya sosok berjuluk The Baby Face Assassin ke Stadion Old Trafford, awalnya memberikan hawa segar sekaligus harapan baru. Namun hal itu tak sekonyong-konyong mengubah nasib United. Hingga kini, Paul Pogba dan kawan-kawan masih inkonsisten serta kesulitan menembus empat besar.

BACA JUGA:  Nagelsmann dan Pertanyaan yang Mengiringinya

Jam terbang Solskjaer sebagai juru taktik belum kelewat banyak. Cukup wajar jika dirinya masih terus berusaha mencari bentuk dan skema terbaik bagi anak asuhnya. Apalagi dirinya ditinggal oleh salah satu penggawa andalan, Pogba, yang tengah mengalami cedera pergelangan kaki dan punya masalah kebugaran.

Selama merumput di bawah bimbingan Solskjaer, Pogba jadi figur sentral di lini tengah. Perannya begitu esensial, baik saat menyerang atau bertahan. Hal serupa tak begitu terlihat saat Mourinho masih menjabat sebagai peramu strategi karena kedua belah pihak justru acap bersitegang.

Terlepas dari kebijakan transfer kubu manajemen, bersama Solskjaer pula, The Red Devils lebih berani memainkan penggawa muda. Nama-nama seperti Mason Greenwood, Daniel James, Scott McTominay, dan Brandon Williams, makin sering muncul di starting line up.

Sementara sosok-sosok kenyang pengalaman, yang kebetulan tak sesuai dengan skema kegemaran pelatih berpaspor Norwegia itu layaknya Phil Jones, Juan Mata, dan Nemanja Matic, lebih banyak menghabiskan waktu untuk menghangatkan bangku cadangan.

Kondisi macam itu sebenarnya bikin United ‘kehilangan’ sosok pemimpin sejati di lapangan. Kepergian pemain senior dan berpengaruh seperti Zlatan Ibrahimovic dan Antonio Valencia juga meninggalkan lubang menganga di ruang ganti. Sedangkan Ashley Young yang didapuk sebagai kapten, nyatanya bukan figur penuh karisma. Andai tak segera angkat kaki, Pogba terlihat pantas dijadikan pemimpin baru United.

Walau begitu, apa yang dilakukan Solskjaer ini tergolong visioner. Seolah-olah, ia ingin mempersiapkan kerangka masa depan United. Keberadaan beberapa pemain muda, baik yang diboyong dari klub lain maupun jebolan akademi, memang sepatutnya dimatangkan untuk jadi fondasi tim di masa yang akan datang.

Tak peduli bahwa saat ini, mereka harus tertatih-tatih untuk tumbuh dan berkembang. Dari kesebelasan yang sering dibanjiri pujian, kini jadi pesakitan yang tak berhenti mendapat cacian. Siapa tahu, di masa depan, United bisa kembali bersaing dengan para rival guna memperebutkan titel juara di pelbagai ajang.

BACA JUGA:  Tammy Abraham dan Mantra Penghapus Kutukan

Stadion Old Trafford makin tak angker bagi para tamu yang datang berkunjung. Bahkan tim-tim kelas bawah semisal Aston Villa, Crystal Palace, dan Everton, sanggup mencuri angka di sana. Situasi tersebut dianggap tidak ideal oleh banyak kalangan.

Mesti diakui, bahkan oleh pendukung United sendiri apabila tim kesayangan mereka sedang memasuki fase baru. Jangan lagi ungkit-ungkit kejayaan masa lalu. Hal itu tetap jadi sejarah yang memesona, tapi tak lagi relevan untuk kondisi bobrok The Red Devils sekarang.

United makin terbiasa jadi penghuni papan tengah seraya menyaksikan dua rival bebuyutannya, Liverpool dan Manchester City memanen gelar demi gelar, baik di kancah domestik maupun regional. Kenyataan itu bak menabur garam pada luka yang ada di tubuh United.

Terluka dan sakit, mungkin seperti itulah gambaran yang tepat bagi kondisi United saat ini. Pun dengan suporter mereka. Namun siapa yang bisa menerka masa depan. Siapa tahu, apa yang tengah ditanam Solskjaer, dapat dipetik hasilnya beberapa tahun kemudian guna mengembalikan United ke tempat yang semestinya.

Ibarat sebuah pohon, ada banyak hal yang wajib kita lakukan agar pohon tersebut bisa tumbuh, berkembang hingga berbuah. Perlu kesabaran dan ketelatenan yang tinggi demi menyaksikan itu. Hal itulah yang mungkin, kudu dijalani manajemen dan fans United saat ini.

 

Komentar
Seorang penggemar Manchester United. Menyukai seni dan sangat peduli dengan isu terkait lingkungan. Penulis bisa disapa lewat akun twitter @ipanMalika