Salah satu jenis buku yang paling laku di industri perbukuan Indonesia adalah buku-buku berlabel motivasi. Buku semacam ini biasanya menyajikan narasi seorang tokoh yang sukses di usia muda melawan ketidakmungkinan atau kemustahilan. Narasi diakhiri dengan pencapaian kesuksesan tokoh tersebut. Kesuksesan tersebut biasanya ditandai dengan tokoh tersebut berhasil mencapai posisi tertentu dalam profesinya, berhasil meraih kekayaan, atau beragam parameter kesuksesan lain dalam dunia modern.
Narasi dengan model ini dianggap mampu mengajak atau menginspirasi pembaca untuk mendapatkan kesuksesan yang sama. Narasi semacam ini kemudian direproduksi dalam berbagai bentuk media. Mulai dari film, seminar, dan akun-akun media sosial.
Dalam dunia sepak bola, narasi semacam ini menemukan wujudnya dalam sosok Lionel Messi Ia meraih banyak kesuksesan di usia muda. Beragam gelar untuk klub dan individu juga telah ia raih. Kisahnya semakin epik karena ia datang dari Argentina ke Spanyol di usia yang sangat muda. Ia juga dianggap tidak memiliki postur yang sempurna untuk bermain sepak bola. Messi pun mampu membawa keluarganya keluar dari kemiskinan karena kesuksesannya sebagai pesepak bola.
Narasi serupa juga hadir dalam rival utama Messi, Cristiano Ronaldo. Ia juga sukses di usia muda dan mampu membawa keluarganya keluar dari jalur kemiskinan menuju kekayaan. Model narasi semacam inilah yang hadir dalam berbagai pemberitaan di media-media sepak bola, khusunya media sepak bola arus utama.
Tentu tidak ada yang salah dari narasi semacam itu. Akan tetapi, sepak bola bukan melulu kisah tentang kemenangan atau kesuksesan. Sepak bola juga ruang untuk berkisah tentang kekalahan atau kekecewaan. Di balik sukses Jerman menjuarai Piala Dunia 2014 misalnya, terdapat beragam tragedi dalam sepak bola Jerman. Mulai dari Sebastien Deisler yang pensiun dini karena cedera panjang dan mengalami depresi sampai peristiwa bunuh diri yang dilakukan mantan kiper Jerman, Robert Enke.
Atau kisah tentang Arnau Riera, mantan kapten Messi dan rekan Andres Iniesta di akademi La Masia. Sebagai mantan anggota dan kapten La Masia, Riera dianggap masa depan sepak bola Barcelona. Sayang, karirnya hancur lebur karena bermain di klub papan bawah dan terus menerus didera cedera. Pada saat yang bersamaan, mantan klubnya, Barcelona sedang mengalami masa kejayaan. Ia akhirnya pensiun di usia 31 tahun. Sebuah kisah bahwa sepak bola Eropa tidak melulu menjanjikan kesuksesan dan popularitas.
Kisah lain yang juga menarik untuk dituturkan adalah Diego Milito. Pemain yang di masa mudanya tidak populer sama sekali. Ia mengembara dari satu klub semenjana ke klub semenjana lainnya. Sampai pada akhirnya, di usia 30-an, usia yang dianggap habis untuk seorang penyerang, ia meraih gelar UEFA Champions League, Serie-A, dan Coppa Italia bersama Internazionale. Kisah yang mengingatkan publik bahwa sukses pun bisa diraih pada usia berapa pun.
Kisah-kisah semacam inilah sebenarnya yang perlu juga dituturkan oleh media-media olahraga. Kisah semacam ini akan membuka wajah sepak bola yang sebenarnya, yang tidak hanya memberi panggung bagi mereka yang sukses, tapi juga mereka yang gagal. Sebab dalam hidup, tidak semua orang mengalami kesuksesan. Dengan cara ini, sepak bola akan menjadi refleksi kehidupan bagi semua orang. Dengan cara ini pula, media-media sepak bola tidak melulu bergerak sebagai institusi bisnis, tapi juga institusi sosial.