Ode Carpe Diem Steven Gerrard

Jika sepakbola tidak hanya soal mencetak gol dan meraih kemenangan, barangkali konsistensi dan kontribusi bagi klub bisa dipertimbangkan sebagai salah satu syarat pencapaian tertinggi seorang pesepak bola.

Alasannya sederhana, sepakbola adalah permainan tim. Seorang pemain bergantung pada performa pemain yang lain. Satu kesalahan individu bisa berakibat fatal untuk tim.

Di sisi lain, pemain begitu mudah datang dan pergi. Pelatih, yang bisa jadi akan mengubah strategi permainan dan siap menguji mental setiap pemain pun sama saja.

Namun, seberapa banyak pemain yang mampu bertahan saat dirinya telah bermain sebaik mungkin, tetapi pada akhirnya ia tak mendapatkan apa yang ia mimpikan seperti saat ia pertama kali datang ke klub tersebut?

Bayangkan jika setiap pemain adalah Steven Gerrard. Seorang pemain yang telah bermain lebih dari 700 pertandingan bersama klubnya.

Ia telah melewati lima kali pergantian pelatih, dari era Gérard Houllier (1998-2004), Rafael Benitez (2004-2010), Roy Hodgson (2010-2011), Kenny Dalglish (2011-2012), dan Brendan Rodgers (2012-2015). Ia telah mencetak 186 gol dan mempersembahkan 10 gelar juara.

Selama 17 tahun kariernya bersama Liverpool, tak pernah sekalipun ia mencicipi juara Liga Primer Inggris. Ketika peluang terbaik itu datang pada musim 2013/2014, ia justru dicaci dan dicemooh hanya karena terpeleset dalam sebuah pertandingan melawan Chelsea, yang mengakibatkan Liverpool gagal meraih kemenangan.

Kondisi seperti itu sangat mungkin menjadikan beban dan membuat frustrasi pemain lain. Hengkang ke klub yang lebih prestisius, ikut kompetisi bergengsi, dan menjanjikan gaji lebih tinggi akan jadi pilihan yang sulit untuk ditolak.

Gerrard adalah seorang pemain yang disegani oleh rekan setimnya maupun oleh para legenda The Reds. Ia adalah gelandang yang selalu diberi kepercayaan pelatih untuk menjadi kapten Liverpool selama 11 tahun sejak tahun 2003.

Di atas kertas, Gerrard adalah jenis pemain yang bisa bermain konsisten meski dilatih oleh pelatih yang berbeda. Jenis pemain yang seluruh jiwa raganya berwarna bahkan sejak ia datang kali pertama ke Anfield.

Ialah pesepak bola biasa yang selalu ingin membantu dan memberi kontribusi kepada rekan setimnya untuk meningkatkan kualitas mental dan permainannya. Tidak neko-neko dan terlalu banyak diliput media. Bukan jenis pesepak bola yang flamboyan, layaknya David Beckham atau Cristiano Ronaldo.

BACA JUGA:  Api Kebencian terhadap The Sun

Carpe diem

Quintus Horatius Flaccus (Horace), penulis puisi pada zaman kaisar Agustus (65-68 SM), pernah menulis sebuah ode yang di dalamnya menyematkan kalimat dalam bahasa Latin yang berbunyi carpe diem, quam minimum credula postero, yang artinya ‘petiklah hari ini dan percayalah sesedikit mungkin akan hari esok’.

Dalam puisi itu, Horace mengartikan frasa carpe diem sebagai keadaan saat manusia sedang mengalami masa menikmati, memaksimalkan, menjalani, dan menggunakan (enjoy, seize, use, make use of) seluruh kemampuannya untuk berbuat.

Kerja keras Gerrard untuk Liverpool adalah bentuk laku carpe diem. Ia akan terus berusaha menampilkan performa terbaik saat bertanding. Hari ini adalah hari ini, bukan esok. Ia terus bertindak nyata dalam hidupnya, untuk mengupayakan hasil yang terbaik.

Saat di atas lapangan, ia lebih memilih belajar dari kegagalan ketimbang mengingat perayaan kemenangan. Tak terkecuali dalam peristiwa penting yang begitu dibanggakan, yaitu juara Liga Champions 2005 di Istanbul.

Dalam biografinya, My Story, ia pernah berharap setelah pensiun, pada saatnya nanti, ada satu fase dalam hidupnya yang membuat ia bisa merasa sangat bahagia.

“Anda mungkin akan melihat saya dalam sebuah even di Istanbul pada 40 tahun yang akan datang, pada saat tragedi tersebut telah berusia 50 tahun. Saya akan merasa tua dan bahagia di usia 75 tahun,” katanya dalam buku My Story.

Menaruh rasa hormat kepada seorang pemain yang selama belasan tahun hanya membela satu klub dan melakukan yang terbaik baik di dalam maupun di luar lapangan rasanya tak berlebihan ketimbang memberi rasa hormat kepada pemain yang berpindah-pindah klub dengan prestasi yang naik turun.

Ada tanggung jawab moral yang lain ketika seorang pemain diberi kepercayaan tinggi untuk membela satu klub. Termasuk kepada klub, suporter, pelatih, maupun rekan-rekan satu tim yang ingin belajar darinya.

Kepindahannya ke LA Galaxy setelah hengkang dari Liverpool di usia 36 tahun barangkali adalah keputusan yang tepat. Di usia tersebut, tak baik memaksakan diri untuk bermain di sebuah klub yang sedang melakukan regenerasi.

Ada saatnya memberi kesempatan kepada pemain-pemain yang lain untuk mengaktualisasikan dirinya bermain di sebuah klub prestisius dengan sambutan suporter yang luar biasa saat bermain di kandang.

BACA JUGA:  Kesetiaan Willem Jan Pluim pada PSM Makassar

Ia kembali ke Liverpool setelah kontrak bersama LA Galaxy habis pada bulan November 2016. Setahun lebih bersama bersama LA Galaxy, ia menjalani 34 pertandingan dan menyumbang lima gol.

Luis Suarez, kawan baik Gerrard saat keduanya masih sama-sama bermain di Liverpool, menulis testimoni ketika Gerrard memutuskan untuk pensiun pada 24 November 2016.

“Seiring berjalannya waktu, Steven menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang pemimpin. Dia seorang yang apa adanya dan pemain ambisius di lapangan. Dia selalu menunjukkan dukungan yang luar biasa sambil terus membantu saya mengeluarkan yang terbaik yang saya punya.”

Gerrard telah berusaha mengejar mimpi-mimpinya dan berusaha keluar dari zona nyaman dengan mencoba bermain di salah satu klub terbaik Amerika Serikat.

Sebagai seorang yang tumbuh besar di Whiston, Merseyside dan membela klub sekotanya, ia sama sekali tak meninggalkan kesan yang buruk. Ia telah melakukan hal yang belum tentu bisa dilakukan oleh para pesepak bola lain: menghabiskan sebagian besar kariernya sebagai seorang pesepak bola profesional di wilayah tempat ia dibesarkan.

Hari Rabu, 1 Februari 2017, Gerrard kembali ke akademi pemain muda Liverpool yang terletak di kota Kirkby. Akademi yang sama saat pertama kali ia mengawali kariernya. Ia akan menjadi staf pelatih pemain muda Liverpool di bawah arahan Direktur Akademi, Alex Inglethrope.

Dengan segudang pengalaman yang pernah ia raih di level tertinggi, rasanya tak terlalu sulit menanamkan pengetahuan mendalam atas kunci dan etos kerja sebagai pemain Liverpool selama bertahun-tahun.

Pemain-pemain muda berbakat Liverpool seperti Curtis Jones, Rhian Brewster, Yan Dhanda, Adam Phillips, hingga yang sudah pernah bermain bersama skuat senior seperti Trent-Alexander Arnold dan Ovie Ejaria sudah selayaknya belajar banyak dari Gerrard. Termasuk mengenalkan filosofi carpe diem seperti yang pernah ia lakukan sebagai pesepak bola.

Mari kita tunggu hasilnya, apa yang bisa dilakukan seorang Gerrard sebagai mentor adik-adiknya sesama satu akademi? Akankah Gerrard akan menjadi salah satu pelatih asal Inggris yang sukses— di tengah krisis pelatih asli Inggris— suatu hari nanti?

Hanya waktu yang bisa menjawab.

Komentar
Blogger, pengembang web, dan penjaga gawang di fandom.id. Fans Liverpool. #YNWA