OGC Nice: Alasan Untuk Menonton Ligue 1 Musim 2016/2017

Apa motivasi Anda untuk meluangkan waktu sekejap menonton Ligue 1? Menonton tim kaya-raya Paris-Saint Germain (PSG) berpacu melawan diri sendiri untuk menjuarai liga? Mengamati Marseille yang tak lagi menarik karena Marcelo “El Loco” Bielsa sudah tak lagi di sana? Atau, menonton anak-anak muda AS Monaco yang tengah menghentak di bawah asuhan Leonardo Jardim?

Kalau Anda membutuhkan sedikit panduan kenapa Ligue 1 musim ini “kemungkinan” akan menarik, jawabnya ada di tim pesisir Prancis yang tengah naik daun awal musim ini, OGC Nice.

Bukan hanya karena nama klub tersebut (Nice) yang kalau diartikan bahasa Indonesia adalah menarik, namun fakta dan statistik di lapangan menunjukkan bahwa grafik permainan OGC Nice musim ini sangat menyenangkan untuk diamati, dan bila perlu, kalau Anda berkenan, perlu dan layak ditonton.

Kepergian Claude Puel ke Southampton awal musim ini, ditambah hengkangnya beberapa pilar inti di musim lalu seperti Valere Germain dan Hatem Ben Arfa, sempat membuat kejutan yang diberikan Nice musim lalu dengan finis di zona Eropa akan sulit terulang musim ini.

Tapi sepuluh pertandingan awal di Ligue 1 musim ini memberi bukti yang cukup bahwa klub yang dijalankan dengan cara yang tepat, akan mampu berada di tempat di mana mereka layak berada.

Nice bermain luar biasa kompak, taktis, dan memiliki kedalaman skuat yang cukup baik hingga membuat mereka sejauh ini memimpin nyaman di puncak klasemen Ligue 1 dengan keunggulan empat poin dari AS Monaco di peringkat kedua.

Berikut beberapa hal yang mungkin perlu pembaca tahu agar berminat untuk sekadar meluangkan waktu menonton OGC Nice musim ini, dan sekadar trivia, Anda akan membaca banyak kata perihal Mario Balotelli di artikel ini.

Mario Balotelli

Sudah dua artikel di Fandom yang mengulas sinar terang Mario Balotelli musim ini bersama Nice. Pertanyaannya? Seberapa baguskah performa Super Mario di tim yang bermarkas di Allianz Riviera ini?

Jawabnya bisa beragam bergantung bagaimana perspektif Anda melihat performa Balotelli, tapi sumbangsih lima gol dari empat partai bersama Nice di liga adalah bukti kecil bahwa mantan wonderkid Italia ini mulai menemukan kembali cara kerja otak warasnya sebagai pemain sepak bola profesional yang berbakat besar.

Balo, panggilan akrab penyerang kelahiran Palermo ini, adalah satu dari sekian alasan kenapa Anda harus menonton OGC Nice musim ini. Di bawah asuhan Lucien Favre (pelatih underrated yang nanti akan saya bahas di bawah), Balo menemukan kembali gairah mencetak gol karena ia bermain di areal yang memang sangat ia sukai.

Berada di kotak penalti lawan dan memiliki ruang tembak yang cukup luas untuk mencetak gol. Dan satu hal surealis lagi, Balo musim ini memiliki catatan distance covered yang lebih bagus dibanding selama ia di AC Milan atau Liverpool, yang artinya, ia mau berlari lebih banyak untuk membuka ruang dibanding musim-musim sebelumnya.

Satu pertanda lagi bahwa akhirnya, otak waras pria keturunan Ghana ini mulai berfungsi sebagaimana mestinya.

Dan walaupun ia tak bombastis layaknya Zlatan Ibrahimovic, pun tak populer macam Lionel Messi, Anda pasti setuju bahwa siapa pun dan dimanapun Anda, melihat Mario Balotelli bermain dan mencetak gol, lalu menengok selebrasi golnya yang memangku tangan di depan dada dan bermuka datar itu, seketika, beban hidup terasa ringan dan kita sadar, we have a happy life for seeing Balotelli scored a goal.

Lucien Favre

Pelatih berkebangsaan Swiss dan pernah menukangi Borussia Moenchengladbach ini adalah alasan kedua, setelah Mario Balotelli, kenapa tim pesisir Prancis ini layak untuk ditonton lagi dan lagi.

Dalam hemat saya, ia adalah salah satu pelatih jenius dengan kapabilitas taktik yang luar biasa dan manajemen pemain yang apik. Siapa pun yang mampu membuat seorang Mario Balotelli Barwuah berlari membuka ruang, mengejar bola dan mencetak banyak gol, adalah pelatih hebat.

Satu hal yang membuat ia tak banyak dilirik dan dipertimbangkan tim besar hanya satu, minim trofi. Itulah kenapa sepak bola modern yang bergelimang gelar adalah hal fana.

Dan mengabaikan seorang Lucien Favre hingga akhirnya ia berlabuh di sebuah tim papan tengah di Ligue 1 adalah hal yang cukup surealis, sebenarnya. Favre butuh panggung yang lebih besar dan megah, mengingat, ia punya kapabilitas untuk itu. Tapi kiprahnya bersama Nice musim ini bisa menjadi batu loncatan yang cukup untuk karier ke depannya, andaikata, Nice dibawa juara musim ini.

Lalu, apa dampak kedatangan Favre bagi Nice?

Jawabnya, mudah. Fleksibilitas dan kekayaan taktik. Manajer ini adalah orang jenius, dan mengubah pola pakem Nice yang akrab dengan 4-3-3 di era Claude Puel menjadi 3-5-2 atau 5-3-1-1 di bawah asuhan Favre adalah tindakan jitu yang tepat guna dan bisa dieksekusi dengan baik oleh para pemainnya, termasuk oleh, siapalagi kalau bukan Mario Balotelli.

Berubahnya gaya main Nice yang possession-based di era Puel menjadi counterattacking-team di era Favre adalah keputusan manis. Menyadari bahwa Ben Arfa telah lenyap menuju Paris, dan ia hanya memiliki Wylan Ciprien dan Alassane Plea yang mampu bermain di sayap dengan baik, keputusannya beralih menggunakan 3-5-2 adalah cara logis untuk mengubah cara bermain Nice menjadi lebih cepat, taktis, dan mematikan.

Sebagai data, mereka tim tersubur kedua di liga setelah Monaco dengan catatan 20 gol, mencetak delapan kemenangan, meraih dua kali hasil imbang, dan belum sama sekali kalah. Itu masih ditambah fakta bahwa mereka sudah meladeni AS Monaco dan Olympique Marseille. Menarik nantinya melongok kiprah Nice kala bersua sang taipan Ligue 1, Paris-Saint Germain.

Kebijakan transfer yang brilian

Salah satu alasan kenapa Leicester City menghentak dunia dan menjuarai Liga Inggris musim lalu adalah bursa transfer yang ciamik. Mendatangkan N’Golo Kante untuk mengontrol dan menguasai lini tengah, serta membeli Shinji Okazaki yang berkolaborasi dengan brilian bersama Jamie Vardy dan Riyad Mahrez.

Musim ini, Nice melakukan kebijakan serupa. Hengkangnya Germain dan Ben Arfa, ditutup dengan gemilang oleh kehadiran Wylan Ciprien dari RC Lens, dan untuk menutup kepergian Germain sebagai suplai gol, Nice sukses besar dengan mendatangkan Raja Komedi dari Palermo, Mario Balotelli, dengan harga gratis dari Liverpool.

Itu masih belum menghitung kebijakan brilian lainnya semisal kedatangan bek kribo dari Wolfsburg, Dante, yang berkolaborasi dengan apik bersama Paul Baysse dan bek muda, Malang Sarr. Atau menutup lubang kreativitas yang ditinggalkan Ben Arfa dengan mendatangkan eks pemain Montpellier, Younes Belhanda untuk menjadi pengatur serangan di skema milik Favre.

Kebijakan transfer yang ciamik ini sekaligus membantu jajaran pelatih untuk memiliki kedalaman skuat yang cukup guna mengarungi musim yang panjang, mengingat Nice juga berkompetisi di Liga Europa musim ini. Dan biasanya, kedalaman skuat yang bagus adalah awal dari hal-hal menarik lainnya di depan, who knows, eh?

Banyak pemain muda akademi yang mekar

Ada sekian pemain muda di skuat asuhan Favre musim ini, semisal Wylan Ciprien dan Jean Michel Seri, namun dari sekian nama berikut, ada tiga pemain muda jebolan akademi yang tampil gemilang bersama tim utama musim ini.

Ketiganya adalah, kiper muda 21 tahun, Yoan Cardinale. Bek tengah 17 tahun, Malang Sarr. Dan talenta muda terbaik Nice saat ini, Vincent Koziello yang sinar terangnya sudah berpendar sejak musim lalu dan sudah dimasukkan Fandom ke dalam daftar wonderkid dari Ligue 1 musim 2015/2016.

Prancis menjadi lumbung pemain muda yang menarik dengan munculnya talenta berbakat dari liga ini yang menyuplai pemain-pemain bintangnya ke beberapa liga top Eropa. Anthony Martial, Kingsley Coman, Samuel Umtiti, Kurt Zouma sampai yang terbaru, Ousmane Dembele, semua adalah produk akademi tim-tim dari Ligue 1. Menjadi wajar kenapa mekarnya tiga pemain muda Nice tersebut adalah hal yang baik bagi Nice dan bagi Ligue 1 itu sendiri.

Cardinale sudah menjadi kiper utama sejak musim lalu dan selalu bermain di sepuluh pertandingan awal Nice di liga dan baru kebobolan tujuh gol, catatan yang sama dengan Paris-Saint Germain, kalau Anda ingin komparasi yang pas.

Koziello sendiri sudah sejak musim lalu bermain gemilang dan masuknya dia ke dalam daftar buruan Arsene Wenger adalah bukti sahih kalau pemain ini punya potensi yang apik. Kalian tahu jargon Arsene knows, bukan?

Nama terakhir, Malang Sarr, naik kasta ke tim utama di usia 17 tahun bukan karena badai cedera atau krisis pemain belakang, melainkan karena pemain ini memiliki kapasitas dan kapabilitas yang apik.

Mekarnya Sarr dan kedatangan Dante yang membuat Favre kemudian menemukan racikan yahud ala 3-5-2 yang diyakinin menjadi ramuan mujarab untuk mengerek peringkat Nice hingga memuncaki Ligue 1 sementara ini setelah sepuluh pekan.

Ligue 1 adalah satu dari segelintir liga sepak bola yang sebenarnya tidak terlalu menarik diikuti karena dominasi PSG adalah hal yang memuakkan. Tapi melihat Nice dan komposisi pemain di skuatnya yang overall cost-nya hanya sekitar 40 juta euro (dibanding PSG yang menembus angka 400 juta euro) mampu memuncaki klasemen sampai sejauh ini, tentu alasan yang cukup untuk menonton liga ini sembari berharap dongeng kota kecil bernama Leicester mampu diikuti kota pesisir Prancis ini di Ligue 1.

Dan ketika semua kata-kata di artikel ini tak mampu membuat Anda berpaling untuk menonton Ligue 1, coba Anda ingat-ingat lagi satu nama yang akan mampu mempersuasi ego Anda untuk menyetel televisi dan menonton Ligue 1. Dan nama itu, tak lain dan tak bukan, the one and only, Mario “the living legend” Balotelli.

 

Komentar

This website uses cookies.