Hikayat Seorang Regista

Sejak pertama kali dimainkan, semua pemuja pergelutan lapangan hijau memahami bahwa sebuah tim sepakbola terdiri dari penjaga gawang, lini bertahan, tengah, dan depan.

Pemain depan biasanya merupakan sosok yang paling dielu-elukan karena kemampuan mereka dalam mencetak gol. Di sisi lain, penjaga gawang dan pemain belakang biasanya mendapat applause dari penyelematan dan kesigapan mereka dalam menjaga gawangnya.

Kemudian, hadirlah penghubung antara dua lini tersebut. Kita mengenalnya sebagai pemain tengah atau acap disebut dengan gelandang.

“Pemain tengah (menyerang atau bertahan) ialah pemain yang dapat menjaga sirkulasi bola, memproses informasi dari kedua lini dengan cepat, dan memiliki visual 360 derajat di lapangan agar timnya dapat menunjukkan performa yang optimal,” ujar A.M Williams.

Sebagaimana yang disebutkan Williams dan koleganya dalam Visual Search Strategies in Experienced and Inexperienced Soccer Players tersebut, sebagian orang awam pun memahami bahwa gelandang biasanya hanya didefinisikan kedalam dua jenis saja.

Pertama, gelandang bertahan, yang bertugas sebagai perusak serangan lawan biasanya ditempatkan di depan bek. Kedua, gelandang serang, yang dituntut untuk membantu lini depan.

Namun pada perkembangannya, kita menyadari bahwa lini tengah tidak dapat dibagi kedalam dua klasifikasi umum semata. Kita mengenal Michael Laudrup, Zinedine Zidane, hingga Fransesco Totti yang bisa diidentikkan dengan terminologi playmaker.

Kemudian muncul pula beberapa nama gelandang enerjik, seperti Lothar Matthaus, Lee Bowyer, Frank Lampard, hingga Radja Nainggolan yang kemudian diklasifikasikan sebagai box-to-box midfielder.

Di sisi lain terdapat sekumpulan gelandang seperti Andrea Pirlo, Xabi Alonso, Michael Carrick hingga Jorginho. Kelompok terakhir itu mempunyai kemampuan sebagai dirigen yang mengatur irama permainan tim secara keseluruhan.

Mereka yang biasanya disebut sebagai deep-lying playmaker atau yang dikenal juga dengan sebutan regista. Kata itu sendiri berasal dari bahasa Italia yang berarti director. Secara harfiah dapat dialihbahasakan sebagai pengatur. Bisa juga dianggap bak sutradara dalam sebuah film.

BACA JUGA:  Kala Fiorentina dan Batistuta Mencuri Hati Kita

Oleh sebab itu, menurut Gabriel McKay, regista didefinisikan sebagai pemain tengah yang mengarahkan permainan, mengontrol permainan, dan menjewantahkan semua skrip pelatih di dalam pertandingan.

Terminologi tersebut muncul pertama kali saat pelatih timnas Italia Vittorio Pozzo memainkan seorang Luisito Monti sebagai gelandang bertahan dalam formasi 2-3-2-3 pada Piala Dunia 1934. Tujuannya adalah sebagai jembatan antara Giuseppe Meazza dan Monziglio saat itu.

Keputusan itu bukan hanya sukses membawa Italia meraih gelar Piala Dunia pertamanya, melainkan menjadi awal lahirnya pemain-pemain lain dengan peran serupa dalam dunia sepakbola.

Seorang regista beroperasi di depan lini pertahanan. Biasanya, ia akan ditemani oleh satu gelandang bertahan lain dalam skema double pivot seperti Pirlo yang ditemani Gennaro Gattuso atau Arturo Vidal. Namun, bisa juga ia sendirian sebagai single pivot jika sekaligus mampu mengemban peran sebagai penghenti serangan, layaknya dan Carrick.

Bermain sendiri atau bersama gelandang lain, peran utamanya tetaplah sama, yakni mendikte permainan. Ia adalah director yang menetukan arah serangan timnya menggunakan visi mumpuni dalam membaca permainan dan dilengkapi teknik mengumpan yang ciamik.

Meminjam teori Bill George tentang VUCA (vision, understanding, courage and adaptability) yang menjadi syarat bagi pemimpin perusahaan dalam dunia bisnis, teori tersebut tampaknya bisa juga menjadi syarat utama bagi seorang regista.

Dengan memiliki empat hal tersbut, sang pengatur tak terlalu perlu memerlukan kecepatan yang mumpuni ataupun kekuatan fisik yang kuat seperti pemain lainnya.

Buktinya saja tubuh Pirlo yang tidak seperapa besar tak juga menutupi kemampuan mantan gelandang AC Milan itu. Ia pun bisa sangat berbahaya jika diberikan ruang dan waktu untuk secara penuh menguasai bola. Hal tersebut dibuktikan saat dirinya membawa Italia melenggang ke final Euro 2012.

BACA JUGA:  Usia yang Sebatas Angka bagi Buffon

Jika kita menengok kembali skuad yang dimiliki oleh Italia saat itu, hampir semua pengamat sepakbola sepakat bahwa langkah Gli Azzuri tidak akan jauh. Namun, prediksi tersebut mentah dikarenakan tangguhnya sihir seorang Andrea Pirlo di tengah lapangan.

Sayangnya, sihir Pirlo takluk ditangan trio Sergio Busquets, Xavi Hernandez, dan Alonso di partai final, yang membuat Italia gagal meraih gelar juara.

Contoh lain dari pentingnya peran seorang regista dapat pula dilihat dari transfer yang dilakukan Maurizio Sarri ke Chelsea. Ia mengajukan syarat untuk mendatangkan seorang Jorginho dari Napoli jika Chelsea ingin menggunakan jasanya sebagai pelatih.

Permintaan tersebut terasa tidak berlebihan karena Sarri tahu bahwa otak dari strategi Sarri’s Ball yang dimainkannya di Napoli ada pada pria kelahiran Brazil tersebut. Meski tidak terlalu sukses juga bersama Chelsea, tetapi mereka sempat merengkuh trofi Europa League.

Begitulah hikayat singkat mengenai seorang deep-lying playmaker. Layaknya bintang jatuh, pemain bertipe regista tak selalu lahir pada setiap musimnya. Mereka adalah pemain tengah yang punya nilai berbeda. Pengatur serangan yang justru beroperasi dari batas jantung pertahanan.

Komentar
Abdi negara yang suka nonton sepakbola tanpa huru-hara. Akun twitter @abietsaputra