Paradoks Pesepak Bola dalam Diri Daniel Agger

Saat terpuruk, kau pasti akan merasa kehilangan. Ditinggalkan oleh apa yang paling kau cinta, harapan di depan mata, kebanggaan yang selalu kau puja. Hilang.

Kau hanya bisa menerima kenyataan bahwa tidak ada yang tersisa kecuali keyakinan. Dan bagi Liverpool, keinginan Fernando Torres untuk menyeberang ke klub yang lebih menjanjikan sudah lebih dari cukup untuk membuat pipi mereka sembab karena air mata.

Sang Pangeran Anfield hengkang ke Chelsea. Tim yang sering dihina sebagai klub instan dengan serentet rivalitas yang dimula sejak awal era Roman Abramovich dan terutama, Jose Mourinho. Sang pangeran pergi, dan sialnya, dikenang sebagai Judas oleh kopites.

Bagi sebagian kopites, dosa Torres sudah dianggap setara dengan dosa Michael Owen yang memilih minggat ke Old Trafford. Luka membekas, dan kata-kata sang pangeran tak menyisakan apa-apa kecuali kebencian yang mendalam. Benci, bahwa apa yang dibanggakan telah hilang.

Namun, satu hal yang harus disadari: hidup harus berlanjut. Dan lucunya, dalam kehilangan, kau juga akan menemukan sesuatu yang berharga. Menemukan mereka yang peduli. Mereka yang, takkan habis kau pikir, mengapa tak pergi saja seperti yang lain. Mengapa mereka kemudian memilih berjuang bersamamu.

Suatu hal yang akan membuatmu berterima kasih seumur hidupmu. Karena saking besarnya pertolongan itu, hanya terima kasih yang bisa kau berikan.

Maka, di tahun 2011 itu, di tengah sisa-sisa kemuraman setelah enyahnya rezim Tom Hicks dan Geroge Gillett, serta yang termasyhur Roy Hodgson, harapan itu masih ada. Fenway Sports Group menyelamatkan Liverpool dari kemungkinan dinyatakan bangkrut dengan membayar hutang yang hampir 200 juta poundsterling.

Kenny Dalglish kembali dan menyelamatkan Merseyside Merah dengan suntikan moral yang luar biasa. Steven Gerrard bangkit lagi mengambil ban kaptennya, teriakan Jamie Carragher terdengar lantang dan gagah di lapangan. Pun kedatangan pemain sekelas Luis Suarez menambah kebahagiaan itu.

Mereka, ditemani teman-teman setia yang masih bertahan, semua bahu-membahu membangkitkan Liverpool kebali.

Satu dari sekian teman-teman setia itu bernama Daniel Muthe Agger. Ia adalah paradoks dari sepak bola modern yang terlalu sering mengangkat asas profesionalisme. Agger adalah pemain berkelas, yang lucunya memiliki sikap keras kepala seperti Gerrard.

Saat Torres memilih pindah meski sudah dimohon untuk bertahan, sosok Agger berdiri sebagai anti-tesis bahwa gelar bukan segalanya. Bahwa masih ada yang memegang teguh adagium “klub akan selalu berada di atas pemain”. Seolah ada bagiannya untuk turut susah di saat klub ini “susah”.

Sama seperti Gerrard yang menolak Real Madrid, hingga kini tak terpikir apa yang dibenak Agger ketika ia menolak untuk membela Barcelona di jendela transfer tahun 2011.

Tak ternalar apa yang dipilihnya ini. Barcelona jelas datang untuk menyelamatkan kariernya, dan sekaligus menjanjikanya gelimang trofi. Mahar 13 juta poundsterling tentu hitungan yang besar untuk klub hampir degradasi pada masa itu. Tawaran ini ia tolak. Ia memilih untuk bertahan.

Ia kemudian mencela apa yang dilakukan oleh Torres. Dalam laga penuh air mata yang diakhiri dengan orgasme luar biasa, pertemuan di Stamford Bridge antara Chelsea dan Liverpool pada Februari 2011 menyajikan Agger sebagai protagonis.

Bermula dari salaman Torres dan Gerrard yang membuat semua orang percaya bahwa ini adalah hari sedih lainnya bagi Liverpool, lalu Agger membangun plot-twist yang sangat menarik.

BACA JUGA:  Akuisisi Newcastle United, Akankah Terwujud?

Ia menyikut Torres dengan sangat keras. Striker asal Spanyol tersebut rubuh terbaring. Laga tersebut berkahir 0-1 untuk kemenangan Liverpool. Bahasa tubuh yang diinterpretasikan kopites dari aksi Agger adalah sang pengkhianat pantas mendapatkannya dan Liverpool sangat beruntung memiliki Agger.

Setelah laga, ia berbicara tentang apa yang ia lakukan. Berikut kutipan dari The Guardian. “Sangat tak bisa diterima bahwa seseorang bermain untuk rival Liverpool. Sebagai seorang Denmark, ini adalah cara menghargai klubmu. Aku jelas bangga untuk mengenakan kostum Liverpool dan takkan terpikir untuk ke klub lain di Inggris. Aku takkan pergi ke Manchester United, Everton, misalnya. Ini adalah caraku menghargai klub.”

Pindah ke Barcelona jelas bukan seperti pindah ke Chelsea. Pindah ke Barcelona takkan membuat penggemar naik tensi seperti pindah ke United atau Everton yang digambarkan Agger.

Meski akan ada air mata, seperti kepergian Michael Owen ke Real Madrid pada 2004, atau Luis Suarez ke Barcelona pada 2014, semua pihak akan maklum pada akhirnya. Kepindahannya pada tahun 2011, jika itu terjadi, akan membuka mata dunia tentang seberapa hebatnya Daniel Agger.

Ia bisa memuaskan hasratnya untuk bermain dengan klub yang diakui sebagai yang terbaik. Ia sangat bisa berkeliling kota Barcelona yang indah itu dan ditemani Javier Mascherano yang lebih dulu merasakan atmosfer Nou Camp.

Pula, ia bisa memegang Si Kuping Besar di Wembley tahun 2011 yang ia gagal dapatkan di Athena 2007. Dan hanya orang gila saja yang berani menolaknya.

Maka, simaklah apa yang dikatakan Agger saat ia mengetahui bahwa Barcelona sangat ingin mendapatkannya pada tahun 2011, sebagaimana yang dikutip dari The Guardian pada tahun 2013.

“Secara umum, kamu kamu berpikir bahwa itu (ketertarikan Barcelona) adalah hal yang positif. Ketika sebuah klub seperti Barcelona memikirkan hal tersebut, itu menyuntikkan semangat baru. Aku takkan menyangkal (tentang seberapa bahagianya), namun itu bukan berarti bahwa itu akan terjadi.”

Lalu Agger menambahkan, “Liverpool akan menjadi klub yang selalu berhasil memberi segalanya dalam karierku. Ketika ada waktunya untukku pergi, aku ingin tetap memiliki perasaan yang sama seperti saat ini (saat aku membela klub ini).”

Hal ini menegaskan bahwa Agger merupakan paradoks sepak bola modern. Di mana seorang pemain akan bertindak egois demi dirinya sendiri. Lucunya, Agger seperti seorang gadis, yang percaya bahwa suatu hari nanti, ia akan bertemu pangeran berkuda yang akan menutup hidupnya dengan bahagia. Baginya, Liverpool seperti itu.

Kejatuhan bersama Brendan Rodgers

Atas cintanya, klub kemudian memberikan penghormatan istimewa terhadap Agger. Pada musim 2013/2014, ia didaulat menjadi wakil dari kepemimpinan Steven Gerrard di lapangan.

Itu adalah musim, di mana sekali lagi, di era Liga Primer Inggris, Liverpool hampir meraih juara. Sialnya, itu adalah musim di mana ia menjadi pilihan keempat setelah Martin Skrtel, Mamadou Sakho, dan Kolo Toure.

Itu adalah musim kedua Brendan Rodgers bersama The Reds. Filosofi death-by-football yang termasyhur, secara ajaib, sukses luar biasa pada musim itu. Namun, dalam keajaiban itu, Agger seperti menjadi sesembahan dalam ritual Rodgers membawa para kopites berani bermimpi lagi.

BACA JUGA:  Menantang Mediokritas Bersama Calvert-Lewin

Brendan Rodgers tak senang atas kesalahan Agger yang dipandang tak termaafkan saat melawan Southampton pada September 2013. Agger mengenang kisah itu bersama The Guardian pada 2016.

“Setelah laga itu, dia tak pernah berbicara kepadaku. Semua menjadi buruk. Aku mengakui bahwa itu kesalahanku. Aku meminta maaf tapi kata fisioterapis klub, tak perlu sampai meminta maaf hingga lima puluh kali.”

“Toure dan Martin Skrtel mungkin lebih baik dariku. Dan itu tak mengapa selama Liverpool memenangkan pertandingan. Namun, setelah pemilihanku sebagai wakil kapten baru dan langsung menjadi pilihan keempat, aku terus terbebani apakah aku tak cukup baik untuk klub ini.”

Pula, hubungannya dengan Rodgers menjadi kian pelik ketika ia mengkritisi gaya kepemimpinan sang manajer saat melawan Swansea City pada 23 Februari 2014. Ia mengatakan bahwa Rodgers kecewa karena tim membiarkan Wilfried Bony leluasa mendapatkan ruang.

Semua orang diam saat Rodgers marah kecuali dirinya. Ia berkata, “Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu di saat kami hanya melakukan apa yang kau perintahkan setiap minggu?”

Rodgers menatap tajam ke arah Agger. Kemudian, Rodgers memberi jawaban tanpa terasa sebuah wibawa seorang manajer dalam jawabannya tersebut. Rodgers menjawab: terserah!

Tak lama kemudian, di sebuah pertandingan, Agger ditarik ke luar. Sebuah tanda yang sangat jelas: ia harus pergi. Dan ia benar-benar pergi, namun tak ke Barcelona. Tidak pula menuju ke klub besar yang seharusnya pantas mendapatkannya.

Agger memilih kembali ke rumah, menuju Brondby yang menjadi cinta pertamanya dalam sepak bola. Klub yang membuat Liverpool terpikat dan memboyongnya pada tahun 2006. Ia mengakhiri catatan bermain dengan Liverpool di angka 232. Menikmati lara dan bahagia.

Mulai dari pasukan luar-biasa musim 2008/2009, dengan nama-nama luar biasa seperti Xabi Alonso, Javier Mascherano, Fabio Aurelio, Steven Gerrard dan romantismenya dengan Fernando Torres.

Hingga “jatuh” dengan skuat Liverpool paling surealis yang berisi Milan Jovanovic, Joe Cole, Jay Spearing, Christian Poulsen, dan Paul Konchesky. Lalu bangkit lagi pada tahun 2014 bersama duet Luis Suarez dan Daniel Sturridge yang menjadi mimpi buruk para kiper dan bek lawan.

Angka itu tak sekadar angka. Catatan 232 adalah jumlah rasa syukur yang meluncur dari mulut para kopites karena Tuhan telah menitipkan Agger dalam berbagai situasi untuk klub ini.

Ia akhirnya pulang. Dan ketika merasa fisiknya tak cukup kuat lagi, ia pensiun di Brondby. Tentu masih tersisa pertanyaan dan perandaian, apa yang sesungguhnya dipikirkan oleh Daniel Agger saat ia memilih bertahan.

Namun, begitulah perasaan. Makin kau coba pikirkan, takkan mampu kau temukan alasan yang cukup wajar bagi nalar.

Dan sudah seperti itulah orang-orang dengan jalan pikiran seperti Agger. Yang tak akan habis kau pikir mengapa mereka setia saat ada pilihan yang lebih baik. Bagi aktor lapangan hijau seperti Agger, dunia ini isinya hanya dua, yaitu antara pesepak bola dan klubnya. Hal indah yang hanya pantas dihidupi dengan saling mencinta.

 

Komentar