Parma: Narasi Kejayaan dan Titik Nadir

Melakoni debut di Serie A pada musim 1990/1991, tak ada ekspektasi lebih yang menggelayuti pikiran tifosi Parma. Sanggup bertahan di kasta tertinggi persepakbolaan Italia saja rasanya amat membahagiakan. Pasalnya, kala itu Serie A tengah menikmati periode keemasan dengan kompetisi yang sengit dari para kandidat juara plus dijubeli bintang sepakbola kenamaan seperti Roberto Baggio, Juergen Klinsmann, Diego Maradona, dan Marco van Basten.

Akan tetapi, Parma yang ketika itu diasuh Nevio Scala memiliki rencana lain bagi pendukungnya. Alih-alih tampil semenjana, tim yang dimotori Luigi Apolloni, Thomas Brolin, Lorenzo Minotti, dan Claudio Taffarel justru tampil eksepsional. Terlebih, saat itu Parma mendapat sokongan keluarga Tanzi via Parmalat, perusahaan makanan yang menjadi pemegang saham mayoritas I Gialloblu.

Mereka sanggup mengakhiri musim dengan duduk di posisi enam klasemen akhir. Bak mendapat durian runtuh, capaian itu mengirim I Gialloblu ke ajang Piala UEFA musim selanjutnya. Hal ini terjadi lantaran AC Milan yang berstatus runner up liga tengah dihukum larangan tampil di kejuaraan regional selama semusim.

Musim 1991/1992 dijalani Parma dengan lebih gemilang. Walau posisi mereka di klasemen akhir Serie A merosot ke peringkat tujuh, Minotti dan kawan-kawan menebusnya dengan raihan Piala Italia usai unggul agregat 2-1 dari Juventus (final kala itu diselenggarakan dua leg). Alhasil, Parma pun berhak mengantongi tiket lolos ke Piala Winners.

Seakan belum mau berhenti menoreh kejutan, Parma kembali memesona publik dengan performa elok mereka pada musim 1992/1993. Tak sekadar nangkring di peringkat tiga Serie A, Stadion Ennio Tardini juga kedatangan titel mayor kedua sepanjang sejarah klub dari kompetisi Piala Winners. Di final, I Gialloblu mengandaskan perlawanan klub Belgia, Royal Antwerp, lewat kedudukan 3-1.

Sayangnya, musim 1993/1994 terasa agak terjal bagi Parma. Di Serie A, mereka finis di urutan kelima. Sementara cita-cita buat mempertahankan gelar Piala Winners terpaksa menguap karena takluk 0-1 dari wakil Inggris, Arsenal, pada laga final. Beruntung, Minotti dan kolega masih sanggup membawa sebiji gelar yaitu Piala Super Eropa sehabis membekap Milan dengan agregat 2-1.

Apa yang ditorehkan Parma dalam beberapa musim terakhir, bikin publik menaruh atensi semakin besar kepada mereka. Fans mereka pun semakin membludak. Di sisi lain, para pemain dengan kualitas wahid tak lagi memandang sebelah mata klub yang dipimpin oleh Giorgio Pedraneschi, pemilik saham minoritas.

Pada bursa transfer musim panas 1994/1995, I Gialloblu merogoh kocek senilai 14 miliar Lira (mata uang Italia sebelum Euro) guna memboyong Dino Baggio dari Juventus. Keputusan ini diambil manajemen karena desakan Scala yang ingin memperkokoh timnya.

BACA JUGA:  Sepakbola Harusnya Membuat Kita Gembira

Dino Baggio - Parma

Di ujung kisah, Scala jadi pihak yang tertawa puas karena Baggio jadi salah satu figur sentral di lini tengah. Presensinya penting dalam perjalanan Parma menyudahi musim di posisi tiga Serie A.

Kegagalan merebut Piala Italia akibat tumbang di tangan I Bianconeri (agregat 0-3 dari dua leg), mampu disubstitusi dengan keberhasilan membawa pulang Piala UEFA ke Stadion Ennio Tardini. Menariknya, lawan yang dihempaskan Parma di final adalah Juventus (melalui agregat 2-1 dari dua leg). Baggio sendiri menjadi pencetak seluruh gol Parma ketika itu, masing-masing satu buah di setiap leg.

Parma menyongsong musim 1995/1996 dengan optimisme tinggi karena hadirnya Fabio Cannavaro yang dibeli dari Napoli. Oleh Scala, Cannavaro langsung dijadikan gacoan anyar di lini belakang.

Cannavaro - Parma

Apesnya, nasib Parma berubah drastis kali ini. Pasalnya, tak ada satu pun titel yang bisa dihadiahkan I Gialloblu untuk Parmagiani, tifosi setianya. Lebih jauh, di pengujung musim itu pula, Parma ditinggalkan Scala dan dua penggawa pentingnya, Antonio Di Chiara dan Minotti.

Calisto Tanzi Turun Tangan

Kepergian Scala tentu berkaitan dengan rasa kecewa yang membuncah di dada Calisto Tanzi, bos Parma yang sesungguhnya. Kegagalan meraih trofi bikin Scala dipaksa ‘menyerahkan’ posisinya kepada Carlo Ancelotti. Calisto sendiri menunjuk sang putra, Stefano, sebagai presiden baru menggantikan Pedraneschi.

Musim 1996/1997 ibarat halaman baru dalam buku cerita Parma. Di musim ini, pos penjaga gawang dipercayakan Ancelotti kepada jebolan akademi mereka, Gianluigi Buffon. Sosok yang satu ini diyakini publik sebagai bintang masa depan Italia.

Gianluigi Buffon

Manajemen juga menambah amunisi tempur dengan mendaratkan Enrico Chiesa, Hernan Crespo, dan Lilian Thuram ke Stadion Ennio Tardini. Bersama Buffon dan Cannavaro, trio tersebut menjadi tulang punggung baru I Gialloblu.

Meski rontok lebih cepat di ajang Piala Italia dan Piala UEFA, Parma tampil beringas dan konsisten di Serie A. Mereka bertarung sampai pekan terakhir dengan Juventus demi memperebutkan titel Scudetto. Sayang seribu sayang, ketangguhan I Bianconeri yang ditangani Marcello Lippi memaksa Parma harus puas finis sebagai runner up dengan ketertinggalan dua poin saja.

Petualangan Parma di musim 1997/1998 lagi-lagi penuh warna. Mereka bertengger di posisi enam Serie A dan berhak mentas di Piala UEFA musim depan. Walau begitu, I Gialloblu rontok pada ajang Piala Italia serta fase grup Liga Champions. Musim ini juga menjadi akhir perjalanan Ancelotti di Stadion Ennio Tardini.

BACA JUGA:  Asmara Semusim Alan Pardew dan Newcastle United

Nama Alberto Malesani, eks nakhoda Fiorentina, dicomot Tanzi sebagai allenatore baru di musim 1998/1999. Keputusan ini berbuah manis sebab Malesani sanggup mengantar Parma memenangkan dua gelar sekaligus yaitu Piala Italia (unggul dari La Viola), dan Piala UEFA (menumbangkan raksasa Prancis, Olympique Marseille).

Konsistensi Parma dalam merebut trofi bikin mereka ditahbiskan sebagai salah satu anggota Il Sette Magnifico. Namun masalah yang mendera Parmalat, mengantar Parma ke titik nadir. Keberhasilan menjuarai Piala Italia 2001/2002 saat ditukangi Pietro Carmignani jadi penutup narasi kejayaan I Gialloblu.

Utang segunung yang dimiliki Parmalat berimbas pada eksistensi Parma. Dari kesebelasan tangguh, perlahan-lahan jadi klub semenjana yang rajin melepas pemain terbaiknya seraya bergelut di papan bawah sampai terdegradasi ke Serie B.

Kepemilikan Parma juga berpindah ke Tommaso Ghirardi usai tiga musim dipegang pihak administrator. Nahasnya, di era Ghirardi, masalah finansial terus mendera I Gialloblu. Hal ini juga yang menginisiasi dirinya untuk melego Parma ke investor anyar.

Tragis, berulangkali berganti investor tak bisa menyelamatkan Parma dari kebangkrutan gara-gara tak mampu melunasi utang dan kepayahan membayar gaji para pemain serta ofisial. Per 2015, Parma pun dinyatakan pailit oleh pihak administrator dan diturunkan ke Serie D, kompetisi level amatir di Italia.

Namun keajaiban yang dipertontonkan Parma kembali muncul setelah itu. Mereka sukses menapak level demi level kompetisi sepakbola Negeri Spaghetti untuk kembali berkiprah di Serie A sejak musim 2018/2019.

Tak ingin mengulang kisah pahit di masa lalu, pengelolaan Parma saat ini dipegang tiga pihak. Saham terbesar 60% dipegang konsorsium asli Italia (terdiri dari gabungan sejumlah pebisnis asli Parma), lalu 30% milik Jiang Lizhang (pebisnis asal Cina), dan 10% adalah kepunyaan suporter yang tergabung dalam perusahaan publik, Partecipazioni Calcistiche.

[Best_Wordpress_Gallery id=”38″ gal_title=”Parma Legends”]

NB: Seluruh ilustrasi yang ada di artikel ini dikerjakan oleh para ilustrator yang tergabung dalam Indonesian Football Artist / IFA (idfootballartist). Fandom.id mendapat kesempatan untuk menayangkan karya-karya terbaik IFA. Daftar ilustrator yang terlibat untuk ilustrasi edisi #MengingatSejarah Parma ini: Baggio (yussyahril88), Buffon (kingarnanda), Cannavaro (KHRISNUSANTARA), Chiesa (SokiART_), Crespo (pradipta_ale), Thuram (bungkusboran), dan Veron (Anjarakhikhusni).

Komentar