Peralihan Kepemilikan Milan dan Reaksi Para Ultras

Suara biola mengalun pelan saat Giancarlo Lombardi membaca koran pada pagi hari tanggal 2 Mei lalu. Seruputan kopi yang dihidangkan terasa lebih pahit dibandingkan hari-hari sebelumnya saat ia membaca headline koran pagi itu. Tertera di surat kabar, Silvio Berlusconi sudah bertemu dengan investor Thailand, Bee Taechaubol, untuk membicarakan pembelian AC Milan. Lombardi yang merupakan pemimpin Curva Sud Milano itu langsung menelepon para letnannya untuk mengadakan rapat darurat. Mereka membicarakan apa yang harus dilakukan oleh kelompok suporter garis keras Milan ini dalam menanggapi perkara peralihan kepemilikan.

Paragraf di atas hanya sekadar khayalan saya saat mengetahui AC Milan bakal dilego ke investor Thailand. Kira-kira seperti apa reaksi para ultras saat mengetahui “orang luar”, atau mereka yang bukan bagian dari La Familia, mengambilalih kepemilikan klub kesayangan mereka. Rencana AC Milan ini memang bukan barang baru setelah Raptor Group dari Boston, Amerika Serikat, mengakuisisi AS Roma dan Erick Thohir dari indonesia membeli Internazionale. Namun, langkah Roma dan Internazionale, serta rencana Milan ini boleh dibilang merupakan babak baru dalam sepak bola Italia. Bahwa orang non-Italia banyak yang bersedia untuk masuk dan memiliki klub adalah hal baru di negeri semenanjung tersebut.

Semakin menarik rasanya menanti reaksi Curva Sud Milano jika menilik catatan bahwa Lombardi pernah berusaha menyerang Wakil Presiden AC Milan, Adriano Galliani, pada sebuah kesempatan. Curva Sud juga pernah memasang spanduk meledek Internazionale yang saham mayoritasnya dimiliki oleh Thohir. Spanduk tersebut bertuliskan kata-kata “Siete così merde che Jakarta è diventata igienica!” yang kurang lebih artinya meledek Thohir dan kota Jakarta.

Reaksi Ultras Curva Sud ini memang patut dinantikan. Apalagi, sudah bukan rahasia lagi kalau klub-klub di Italia banyak dikelilingi oleh para mafia. Kalau kita boleh menganggap budaya klub di Italia mirip dengan budaya mafia, maka seharusnya kepemilikan oleh orang Asia atau orang non-Italia lainnya adalah sebuah pelanggaran terhadap prinsip mafia. Untuk bisa menjadi anggota keluarga mafia yang tersumpah (made guy), maka seseorang haruslah warga keturunan Italia asli (ayah dan ibunya Italia), bekerja penuh waktu untuk mafia, bisa menjaga rahasia (omerta), dan bahkan konon ada syarat lain, yaitu pernah melakukan pembunuhan terhadap musuh keluarga. Syarat-syarat itulah yang tidak ada di dalam diri para investor asing ini.

Dalam sebuah karya populer yang menunjukkan kehidupan keluarga mafia, The Godfather, memang ditunjukkan bagaimana sosok Tom Hagen, pria keturunan Irlandia, bisa menjadi anggota keluarga Corleone. Hagen yang ditemukan Santino Corleone di pinggir jalan dalam keadaan papa tersebut diangkat menjadi anak oleh Don Vito Corleone. Ia pun tumbuh besar di keluarga mafia Long Island tersebut sebagai saudara angkat Santino, Frederico, Michael, dan Constanzia hingga akhirnya menjadi consigliere (penasihat) sekaligus pengacara Don Vito Corleone.

Namun, meski Hagen sudah berjasa besar bagi Don Vito Corleone, ketika sang putra bungsu, Michael, mengambilalih tampuk kepemimpinan keluarga, Hagen pun tidak dipakai lagi oleh keluarga Corleone. Posisi Hagen kemudian digantikan oleh sang ayah, Vito Corleone. Tiadanya darah Italia dalam tubuh Hagen tampaknya menjadi pertimbangan terbesar Michael Corleone untuk mendepaknya dari pos consigliere tersebut.

Kembali ke Milan, usai rumor pembelian klub keluar, kondisi Rossoneri tampaknya justru akan semakin rumit. Pasalnya, situs berita Bloomberg pun kemudian menuliskan bahwa ada kemungkinan Milan akan melepas sahamnya lewat Initial Public Offering (IPO) di bursa saham. Ada kemungkinan, mereka akan melepas saham di pasar Asia, Amerika Serikat atau Italia. Ini berarti, saham Milan akan bisa dimiliki oleh siapapun tanpa memandang syarat-syarat internal layaknya kelompok mafia. Namun di sisi lain, langkah pembelian oleh investor strategis seperti orang Thailand ataupun IPO akan menyelamatkan Milan yang sedang dirundung masalah keuangan.

Jika semua rencana kapitalisasi Milan ini berhasil, maka menjadi babak baru dalam sepak bola Italia akan semakin terasa. Efek buruk jangka pendeknya, bisa jadi, ultras klub-klub Italia lain akan meledek Milan kalau klub ini bukan milik orang Milan lagi, melainkan milik orang Asia atau ras lainnya. Pertanyaannya, apakah para ultras Milan akan menjilat ludah mereka sendiri usai meledek tetangga mereka? Mungkin tidak, karena dalam beberapa pekan terakhir, di tribun San Siro sudah banyak bertebaran spanduk-spanduk bertuliskan kata-kata seperti “Save AC Milan”, “Game Over”, dan “Insert Coin”. Menilik situasinya, naif rasanya jika para ultras Milan masih berusaha mempertahankan “tradisi” tersebut.

 

Komentar

This website uses cookies.