Beberapa hari lalu, para pesepakbola, pelatih, klub, dan juga fans mendapatkan kabar bahagia akan diadakannya laga uji coba tim nasional Indonesia yang sekaligus menjadi pemanasan menuju turnamen Piala Menpora.
Namun entah kenapa ketika membaca kabar tersebut, saya justru tersenyum kecut. Salah satu alasan terbesarnya tentu saja lawan yang bakal dihadapi bukanlah kesebelasan profesional melainkan tim sepakbola yang berisikan selebriti.
Konon, tim ini dipilih karena diharapkan bisa membantu kampanye Nonton di Rumah Saja ketika Piala Menpora dihelat.
Kesebelasan yang berisikan para selebriti tersebut tentunya sudah dikenal publik dan memiliki banyak penggemar, baik di media sosial maupun dunia nyata. Sayangnya, alasan ini masih belum bisa menghilangkan pertanyaan, “Mengapa bukan pemain dari klub-klub Liga 1 saja yang dijadikan model kampanye?”
Kita tahu bahwa para pesepakbola juga memiliki banyak penggemar, baik itu di media maupun di dunia nyata. Hal itu sudah sangat terlihat ketika kita menonton pertandingan di stadion secara langsung maupun dari tayangan televisi.
Ketika bus tim datang saja, penggemar dan suporter sudah berkerumun menyambut, mengelu-elukan nama-nama pemain sembari bernyanyi menunjukkan dukungan. Lalu lihat saja di media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram yang sudah banyak digunakan oleh para pesepakbola nasional.
Mereka tak enggan untuk berbagi informasi dan kabar terbaru, mulai dari aktivitas bersama tim hingga kegiatan pribadi. Kadang mereka juga bersedia membalas pesan dari para penggemarnya. Begitu saja, sudah dapat meningkatkan jumlah pengikut mereka.
Perilaku para pesepakbola yang mengunggah berbagai macam foto, video, hingga menceritakan tentang persepsi mereka itu, secara tidak langsung telah membuka pintu bagi penggemar untuk ikut memasuki lingkungan mereka.
Penggemar akan merasa bahwa mereka dihargai dan memperbesar keinginan untuk mendukung idolanya dengan berbagai cara.
Menurut teori pengaruh sosial, seseorang akan berperilaku seperti orang yang mereka amati termasuk ketika mereka berada dalam kelompok. Hal ini menjelaskan bagaimana penggemar, khususnya para suporter, mudah mengikuti apa yang ditampilkan oleh para pesepakbola idolanya.
Mereka percaya bahwa yang diunggah oleh pesepakbola tersebut merupakan sesuatu yang baik sehingga mereka akan berusaha menyesuakan diri mengikuti perilaku tersebut.
Berkaca dari teori pengaruh sosial, sedikitnya kita memahami bahwa pesepakbola dan selebriti sama-sama memiliki pengaruh yang cukup besar kepada penggemar mereka.
Keadaan inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk membantu kampanye kesehatan. Apalagi pandemi Covid-19 masih berlangsung di Indonesia.
Tetapi tunggu dulu…
Kita juga harus memperhatikan kesesuaian antara target produk atau layanan dengan model yang akan menjadi pendukung kampanye.
Lebih mudahnya begini, kita biasanya akan lebih tertarik membeli produk kecantikan ketika model yang menggunakan terlihat menarik, bukan? Atau misalnya mengikuti program fitness karena modelnya merupakan atlet yang memiliki tubuh sehat dan proporsional.
Hasil kampanye yang lebih baik akan didapatkan ketika model kampanye sesuai dengan produk atau layanan yang dikampanyekan.
Seperti yang dijelaskan dalam penelitian berjudul Promoting Sport and Physical Activity Participation: The Impact of Endorser Expertise and Recognisability, yang membandingan empat kelompok berisikan model kampanye untuk melihat sejauh mana penggemar mau berpartisipasi dalam kampanye tentang olahraga dan aktivitas fisik.
Empat kelompok model itu terdiri dari atlet, selebriti non-atlet, ahli olahraga yang tidak terlalu dikenal publik (pelatih, sarjana olahraga, dll), serta non-ahli yang tidak dikenal publik untuk mengkampanyekan kegiatan olahraga dan fisik.
Hasilnya, niat untuk berpartisipasi, munculnya sikap positif, serta rasa kepercayaan paling tinggi didapat dari kelompok atlet.
Pesepakbola merupakan atlet dan mereka dipandang sebagai orang-orang yang sehat serta bugar. Aktivitas mereka juga berhubungan dengan kesehatan, seperti berolahraga, mengurangi makanan dan minuman berlemak maupun berkadar gula tinggi. Mereka akan dipertimbangkan sebagai sosok yang lebih kredibel dan meyakinkan dibanding selebriti.
Ingat, kita masih punya pesepakbola senior seperti Hamka Hamzah, Irfan Bachdim, sampai Ruben Sanadi yang begitu dihormati dan disegani karena pengalaman dan penampilannya di sepakbola Indonesia.
Begitu juga di kalangan pesepakbola muda, ada Arif Satria, Bagus Kahfi, Egy Maulana Virki, Hanif Sjahbandi, hingga Nadeo Argawinata yang punya begitu banyak penggemar. Mereka dapat melakukan kampanye Nonton di Rumah Saja melalui pendekatan pada suporter klubnya masing-masing.
Kita juga tentu masih ingat kalau tahun lalu para pesepakbola Indonesia bersama APPI (Asosiasi Pemain Profesional Indonesia) melakukan penggalangan donasi dan lelang kostum untuk membantu tenaga medis dalam menyediakan alat-alat kesehatan.
Tak lupa, mereka juga berkampanye untuk menjaga kesehatan dengan mengurangi kegiatan di luar rumah dan memberikan tips menjaga kebugaran tubuh dengan latihan mandiri di rumah.
Artinya, pesepakbola memiliki pengaruh yang luar biasa bagi kehidupan khalayak, terutama mereka yang menggemari sepakbola.
Selebriti memang memiliki penggemar yang cukup banyak, baik itu dari kalangan pencinta sepakbola maupun bukan. Namun seharusnya PSSI dan Kemenpora lebih memperhatikan pihak yang jadi target kampanye Nonton di Rumah Saja yang merupakan para penggemar sepakbola.
Jadi, sudah selayaknya model yang dipilih untuk kampanye ini juga berasal dari kalangan pesepakbola, kan?