Indonesia mesti diakui sebagai salah satu tempat di mana sepakbola dipuja. Masyarakat dunia pun mengerti betul bagaimana fanatisme suporter sepakbola di sini kendati negaranya jarang sekali menjadi kampiun dalam turnamen mayor.
Bicara tentang fanatisme, tentu mendatangkan banyak opini. Namun seringkali, fanatisme disudutkan dan disalahkan dalam berbagai hal, utamanya terhadap perilaku suporter sepakbola di tanah air.
Chung dkk (dalam Jannah, 2014) mendefinisikan bahwa fanatisme merupakan pengabdian seseorang yang luar biasa untuk sebuah objek. Di mana pengabdian itu terdiri dari gairah, keintiman, dan dedikasi yang luar biasa.
Akan tetapi, publik memiliki anggapan bahwas fanatisme merupakan suatu sikap yang kurang baik. Bahkan fanatisme dinilai sebagai salah satu sifat yang acap menghadirkan sesuatu yang buruk atau negatif.
Sebagai contoh, konflik antarsuporter pasti langsung mengarah pada sikap fanatik mereka terhadap tim kesayangan.
Padahal konflik tersebut bisa saja muncul lantaran permasalahan pribadi yang kemudian melebar hingga level komunitas sebab timbul rasa solidaritas dari teman sepermainan.
Kondisi demikian bikin publik merasa bahwa suporter tak memiliki kontribusi positif bagi perkembangan sepakbola di tanah air. Padahal, ada nilai-nilai positif yang sanggup ditunjukkan suporter sepakbola di negeri ini.
Munculnya persepsi itu sendiri karena kebiasaan publik membandingkan suporter sepakbola Indonesia dengan suporter sepakbola di luar negeri, khususnya Eropa.
Dalam pandangan publik, penggemar sepakbola di Benua Biru memiliki tingkat pemahaman yang lebih tinggi terkait rasa cinta terhadap klub.
Misalnya saja, minimnya tawuran antarsuporter yang terjadi di sana. Lalu kesadaran untuk membeli tiket pertandingan dan aksi-aksi positif seperti membersihkan sampah di tribun selepas menyaksikan laga jadi pemicunya.
Akan tetapi, pandangan tersebut juga bisa disangkal karena di era 1980-an sampai 1990-an, Hooliganisme (perilaku tak terpuji suporter sepakbola seperti merusak fasilitas umum dan melakukan intimidasi) tumbuh subur.
Gara-gara kebiasaan itu pula, meletus Tragedi Heysel di final Piala Champions (sekarang Liga Champions) tahun 1985 yang mempertemukan tim Italia, Juventus, dan wakil Inggris, Liverpool.
Suporter dari kedua kubu terlibat bentrok dan mengakibatkan jatuhnya korban yang jumlahnya banyak. Beruntung laga itu sendiri tetap dapat dilaksanakan dan akhirnya dimenangkan I Bianconeri dengan skor 1-0.
Pada dasarnya, konflik antarsuporter tidak selalu mengacu pada fanatisme. Pasalnya, aksi negatif suporter di suatu pertandingan juga bisa muncul akibat hal-hal tak terduga.
Misalnya saja kepemimpinan wasit yang dianggap kurang adil atau perilaku pemain lawan yang kasar serta culas.
Perkembangan teknologi pada akhirnya ikut membantu mengedukasi suporter agar tindak-tanduk mereka tak berlebihan.
Alhasil, fanatisme yang ada pada diri mereka pun bersifat positif yakni mendukung tim kesayangan dengan sepenuh jiwa tanpa melakukan aksi-aksi negatif yang dapat memicu perselisihan.
Mengelola rasa fanatisme, pada dasarnya tidak mudah karena ada faktor-faktor eksternal yang memiliki pengaruh kuat, contohnya saja teman.
Namun hal tersebut dapat ditekan dengan faktor internal yang membuat diri sendiri memiliki pemahaman tepat tentang mendukung kesebelasan idola.
Sederhananya, dibutuhkan pemikiran yang jernih dan rasional perihal mendukung tim favorit.
Baik secara langsung di stadion, melalui layar kaca televisi atau jejaring sosial. Apa tidak bosan selalu dicap sebagai pembuat onar oleh khalayak?
Bukankah fanatisme tersebut bisa diekspresikan dengan cara yang lebih elegan?
Membuat karya musik tentang klub kesayangan atau membentuk sebuah tim medis khusus bagi kalangan suporter?
Mengubah citra suporter di Indonesia memang bukan perkara gampang. Dibutuhkan kemauan keras untuk melakukan itu.
Mengedukasi diri sendiri dan rekan-rekan yang memiliki perasaan serupa terhadap klub tertentu jadi sebuah keharusan.
Hal-hal itulah yang dapat mendorong perkembangan positif suporter di mata publik.
Dengan begitu, saat suporter sepakbola menyemut di jalanan guna mendukung timnya yang akan bertanding atau suporter tamu datang ke sebuah kota demi mendukung tim favoritnya, publik tak lagi merasa takut atau benci.
Mengacu pada penyelenggaraan turnamen Piala Menpora 2021 yang kabarnya akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Maka sudah seharusnya para suporter terlibat aktif dalam kampanye Nonton Saja di Rumah.
Pasalnya, turnamen ini akan diselenggarakan di masa pandemi sehingga ketidakhadiran mereka di stadion atau keengganan untuk mengadakan nonton bareng yang menyebabkan kerumunan bisa berkontribusi pada rendahnya penyebaran virus Covid-19 di kalangan suporter.