Karena satu dan lain hal, saya merasa berhutang rasa yang cukup banyak kepada Rafael Benitez. Pada masa ketika remaja dan godaan menjadi anak punk begitu merajalela, saya “diselamatkan” Liverpool-nya Benitez untuk diajak begitu menggemari sepak bola dengan cara yang membabi-buta.
Kalau kemudian saya tak menjadi seorang Kopites, itu lain cerita. Tapi periode Benitez di Inggris bersama Liverpool adalah salah satu titik awal untuk menyukai Liga Inggris dan segala isinya.
Dulu sekali, saya belum mengikuti Arsenal. Saya tidak menikmati fase Invincibles Arsene Wenger. Saya tidak berani mendaku diri sebagai suporter Arsenal pada masa bergelimang gelar dan penuh rekor itu.
Liverpool di Istanbul 2005 adalah cerita lain kenapa Benitez adalah pelatih yang tidak bisa dibilang kurang baik. Benitez adalah pelatih yang memiliki bek sayap sekelas Djimi Traore dan Steve Finnan. Dari 16 pemain yang dibawa ke Istanbul saat itu, terselip pula nama Djibril Cisse yang lebih sering patah kaki ketimbang mencetak lusinan gol. Juga ada Igor Biscan. Lalu Josemi, bek sayap cadangan abadi bagi Finnan.
Untuk melengkapi skuat antah berantah Liverpool saat itu, tersebutlah nama Antonio Nunez. Jangankan saya pribadi, para Kopites pun pasti harus ketik di mesin pencari untuk tahu siapa Antonio Nunez, kan?
Dan bayangkan, dengan skuat semenjana itu, Rafa—sapaan akrab Rafael Benitez—mampu menjuarai Liga Champions dengan cara yang di luar nalar dan (mungkin) membuat Syafawi Ahmad Qadzafi berlinang air mata serta susah tidur usai final Istanbul itu.
Kalau kemudian pada awal musim ini Rafa datang untuk menggantikan Carlo Ancelotti yang dianggap gagal oleh Real Madrid, tentu itu tak sepenuhnya salah. Sejarah sudah pernah mencatat bahwa Rafa pernah mempermalukan Don Carlo di Istanbul saat itu.
Deretan pemain kelas atas bernama Paolo Maldini, Cafu, Jaap Stam, Alessandro Nesta, Andrea Pirlo, Andriy Shevchenko, Kaka hingga Hernan Crespo harus kalah oleh Djimi Traore dkk, bung!
Jangan lupakan juga nama-nama tenar lainnya semisal Clarence Seedorf dan Manuel Rui Costa. Rafa, dengan segala keraguan dari suporter, tentu harus diakui punya segala mentalitas, taktik dan pengalaman yang cukup untuk menangani Real Madrid musim ini menggantikan Carlo Ancelotti.
Tapi tampaknya cerita berbeda disajikan jelang awal Januari saat Rafa harus dilengserkan menyusul hasil imbang dengan Valencia dan digantikan Zinedine Zidane. Bukan kebetulan dan mengejutkan pula kenapa kemudian Rafa dilengserkan.
Pasca-kekalahan memalukan di kandang dari Barcelona, publik begitu mengkritik pendekatan taktikal Rafa yang dianggap gagal dan aneh. Mencadangkan Toni Kroos. Diabaikan oleh para pemainnya. Hingga isu pertengkaran dengan si megabintang, sang megalomaniak sejati, Cristiano Ronaldo.
Kolom di twentyminutesread.com pun sebenarnya perlu dibaca dan diresapi kenapa kemudian Rafa begitu diabaikan pemainnya di Real Madrid musim ini. Skuat Madrid berisi para megalomaniak dengan ego yang setinggi langit. Para bintang berbanderol dan bergaji mahal itu tentunya perlu pendekatan personal yang baik. Perlu manajemen psikis yang mumpuni.
Rafa, tentu bukan sosok seperti itu. Rafa—mengutip esai di twentyminutesread—adalah orang yang tidak pandai berbasa-basi. Rafa bukan tipikal pelatih yang meluangkan waktu untuk sekadar tanya kabar pemainnya atau untuk tahu bagaimana kelanjutan status jomblo Cristiano Ronaldo sejak putus dari Irina Shayk. Rafa hanya tertarik pada sepak bola, tidak kurang, tidak lebih.
Dari sisi ini, jelas Rafa kalah oleh Ancelotti. Carletto adalah sosok pembimbing. Dekat dengan pemain. Laiknya Jose Mourinho dan Arsene Wenger, pendekatan emosional ke pemain dikedepankan oleh Don Carlo.
Kalau dengan segala penjelasan tadi, Rafael Benitez begitu diremehkan, memang wajar. Tapi untuk dibilang pelatih gagal, rekam jejak Rafa sendiri tidak mendukung opini itu.
Rafa adalah satu-satunya pelatih yang sukses menjuarai Piala UEFA, Liga Champions Eropa dan Piala Dunia Antarklub. Dengan tiga klub berbeda-beda pula. Menurut Wikipedia sih seperti itu faktanya. Saya sih yes sama data dari Wikipedia.
Bahkan ketika Piala UEFA berganti nama menjadi Europa League, Rafa masih sanggup memenanginya bersama Chelsea pada tahun 2013. Kalau Rafa diejek sebagai spesialis turnamen, Anda pastinya tuna sejarah betul. Pria asli Madrid yang perutnya cukup tambun ini pernah menjuarai La Liga bersama Valencia.
Ada satu hal menarik dari Rafa yang begitu melekat di ingatan saya, yaitu kala mengenalkan konsep double pivot di Liga Inggris saat memainkan Xabi Alonso dan Javier Mascherano di belakang Steven Gerrard.
Untuk dibilang penemu sistem pivot, tentu tak cukup sahih ya. Namun untuk dianggap sebagai sosok revolusioner di balik maraknya fenomena penggunaan double pivot di Liga Inggris, Rafa jelas perlu diberi kredit yang layak.
Dengan beberapa hal tersebut, keraguan Madridista tentang kapasitas Rafa dan kemampuan manajerialnya tentu bisa dipertanyakan. Yang menjadi semakin dipertanyakan adalah kenapa Rafael Benitez kemudian dipecat dan digantikan oleh Zinedine Zidane yang notabene jauh tidak punya pengalaman apa pun dalam melatih tim senior.
Tentu tak mengapa berharap Zidane bisa sebombastis Pep Guardiola kala naik dari Barcelona B untuk menjadi pelatih tim senior. Lagipula, dua-duanya sama-sama botak dan (mungkin) sama-sama jenius sebagai pelatih.
Diangkatnya status Zidane bisa diapresiasi positif untuk melihat setidaknya ada legenda klub yang dilibatkan dalam keberlangsungan klub untuk jangka waktu yang cukup lama.
Kalau kemudian Zinedine Zidane dihujat dan ditendang keluar seandainya musim ini berakhir tanpa gelar, seharusnya kita tak perlu benar-benar heboh dan kaget nantinya. Ini Real Madrid, bung! Klub hebat dengan sejarah besar di mana seorang legenda diberi konferensi pers dan beberapa helai tisu saat dilepas keluar untuk pindah ke klub lain.
Selamat bekerja, Zizou. Jangan lupa piknik, ya.