Kegagalan Liverpool untuk mempertahankan Georginio Wijnaldum pada musim panas lalu mungkin saja menghadirkan rasa penyesalan.
Bukan sembarang penyesalan karena sebanding dengan kegagalan mereka menjadi kampiun Premier League 2018/2019 karena tertinggal sebiji poin dari Manchester City.
Pasalnya, setelah Wijnaldum minggat ke Paris Saint-Germain dengan status bebas transfer pada bulan Juli lalu, lini tengah Liverpool urung menemukan keseimbangannya kembali seperti dahulu.
Presensi lelaki asal Belanda ini dalam menyisir sisi tengah lapangan belum ada gantinya.
Wijnaldum memang definisi permainan yang diusung oleh Jurgen Klopp itu sendiri. Pekerja keras, mengutamakan kolektivitas, dan mampu mempertahankan bola.
Segala syarat itu diperlukan untuk memastikan lini tengah The Reds tetap berenergi demi menunaikan sepakbola heavy metal ala Klopp.
Wijnaldum mungkin tidak punya kaki lentik Thiago Alcantara, kekuatan fisik Fabinho, atau kepemimpinan Jordan Henderson.
Akan tetapi, absensinya terbukti memberikan masalah besar bagi Liverpool, yang dengan percaya diri tak mencari pengganti untuk eks pemain Newcastle United tersebut.
Sejatinya keputusan yang diambil oleh manajemen The Reds memang masuk akal. Kepulangan Harvey Elliot setelah tampil gemilang selama menjalani masa pinjaman di Blackburn Rovers, pulihnya Henderson, hingga Alex Oxlade-Chamberlain yang diprediksi makin bugar, menjadi penunda urgensi Klopp untuk memboyong pemain tengah anyar.
Ditambah lagi, kedatangan Ibrahima Konate yang berposisi sebagai bek sentral bakal makin menangguhkan posisi Fabinho sebagai jangkar paten bagi juara Eropa enam kali tersebut.
Sebelumnya, pemain berusia 28 tahun itu harus beberapa kali dimutasi ke lini belakang saat Virgil van Dijk, Joel Matip, dan Joe Gomez harus bergantian menepi pada musim lalu akibat cedera.
Di awal musim, Klopp bahkan sudah berangan-angan akan susunan trio gelandang pilihannya untuk mengarungi musim baru tanpa Wijnaldum.
Komposisi yang dikehendaki oleh Klopp adalah Fabinho sebagai jangkar, Henderson menjalankan tugas sebagai gelandang box-to-box, dan Thiago yang diberi tanggung jawab sebagai tulang punggung kreativitas tim.
Kembalinya Fabinho akan merilis kemampuan terbaik Henderson yang gemar menjelajah dan Thiago diprediksi sudah beradaptasi penuh dengan sepakbola Inggris.
Pada dua bulan awal kompetisi berjalan, semua tampak berjalan sempurna bagi Liverpool.
Kembalinya bek-bek tengah senior membuat Mohamed Salah dan rekannya di sektor depan kembali menunjukkan kegarangannya yang hilang sepanjang musim lalu.
Kini, Liverpool bisa bermain dengan garis pertahanan lebih tinggi dan bermain lebih agresif.
Liverpool juga masih mengantongi catatan tak terkalahkan dari 15 laga yang dilakoni di semua kompetisi sepanjang musim ini.
Tak hanya itu, tim asuhan Klopp juga berhasil menjebol gawang lawan sebanyak 45 kali. Artinya, mereka punya rataan mencetak tiga gol di setiap pertandingan!
Berkat hal tersebut, banyak pihak yang meyakini jika The Reds telah kembali ke level semula dan akan merengkuh kejayaannya kembali di Inggris maupun Eropa.
Akan tetapi, Dewi Fortuna seperti masih enggan untuk menyambangi Anfield. Jika musim lalu mereka didera krisis lini belakang, kini badai cedera ganti menerpa lini tengah Liverpool.
Cederanya Naby Keita pada laga kontra Brighton yang berlangsung pada hari Sabtu (30/10) lalu menambah panjang daftar pemain tengah Liverpool yang tak bisa berlaga.
Mulanya, Elliot yang mengisi daftar tersebut tatkala gelandang kelahiran tahun 2003 itu mengalami dislokasi engkel pada September 2021 dan diperkirakan baru bisa kembali jelang akhir musim.
Selanjutnya, rekan-rekan setimnya pun menyusul satu per satu. Thiago, Fabinho, Keita, dan James Milner, berturut-turut harus menepi guna menjalani perawatan.
Praktis, Klopp hanya memiliki tiga opsi tersisa untuk mengisi sektor tengah yakni Henderson, Oxlade-Chamberlain, dan Curtis Jones.
Masalahnya, trio di atas tidak menunjukkan soliditas yang diharapkan manakala Liverpool menjamu Brighton & Hove Albion pada akhir pekan lalu.
Unggul 2-0 di 40 menit pertama, The Reds harus merasakan pil pahit ketika The Seagulls mampu menyamakan kedudukan di paruh kedua.
Ditarik keluarnya Keita akibat cedera hamstring pafa menit ke-19 membuat gelandang asal Guinea-Bissau itu digantikan oleh Oxlade-Chamberlain.
Pada awalnya, pergantian tersebut memang tampak menjanjikan. Buktinya, Oxlade-Chamberlain sukses memberikan asis pada Sadio Mane yang mencetak gol kedua Liverpool.
Namun menjelang akhir babak pertama, alumni akademi Southampton tersebut tampak kesulitan untuk mengikuti ritme permainan yang diterapkan oleh Klopp.
Pelatih Brighton, Graham Potter, melihat celah itu dan mengonsentrasikan serangan ke sisi kanan pertahanan Liverpool lewat kecepatan bek kiri mereka, Marc Cucurella.
Oxlade-Chamberlain yang bermain sebagai gelandang sentral kanan Liverpool cukup kerepotan menghadapi Cucurella.
Imbasnya, di babak kedua, Klopp mengubah formasi yang tadinya 4-3-3 menjadi 4-4-2 dan menempatkan mantan pemain Arsenal itu di pos sayap kiri demi menghindarkanjya dari tanggung jawab melakukan pressing.
Konsekuensinya bisa ditebak. Poros ganda Henderson dan Jones tak bisa bertahan sebaik Fabinho maupun Keita. Tim tamu akhirnya mampu mencetak gol penyeimbang di menit ke-65.
Publik The Kop sepertinya harus banyak berdoa menghadapi periode krusial hingga tahun baru mendatang supaya Liverpool bisa menanggulangi potensi krisis dengan baik. Paling tidak, sambil menunggu jendela transfer musim dingin resmi dibuka.
Kabar baiknya, Thiago dan Fabinho diprediksi tak akan absen panjang. Mereka berdua bahkan sudah berlatih penuh jelang laga melawan Atletico Madrid.
Solusinya, Klopp bisa menginstruksikan Matip yang di awal karirnya berposisi sebagai gelandang bertahan untuk mengisi lubang yang ditinggalkan Fabinho.
Selain itu, Trent Alexander-Arnold juga punya pengalaman bermain sebagai gelandang tengah ketika berdinas untuk Tim Nasional Inggris dalam laga kualifikasi Piala Dunia menghadapi Andorra pada September lalu. Hanya saja, ia terlihat kurang nyaman ketika menjalani peran tersebut.
Walau kejeniusan Klopp dirasa masih mampu menambal krisis yang terjadi, tetap saja kepergian Wijnaldum pantas disesali.
Kegagalan The Reds mendaratkan pengganti sepadan untuknya berpotensi menjauhkan mereka dari kemahsyuran seperti yang mereka alami di musim lalu.