Quo Vadis Against Modern Football?

Sepak bola dan bisnis seakan menjadi dua hal yang tak terpisahkan dewasa ini. Suntikan modal dari investor asing asal Timur Tengah dan Rusia, iklan logo perusahaan di kaos tim, serta penjualan hak nama stadion kepada korporasi multi-nasional menjadi hal yang lumrah terjadi di liga-liga papan atas Eropa, terutama Liga Primer Inggris dan Liga Primera Spanyol.

Gelimangan dana yang berjumlah ratusan juta dolar tersebut merupakan indikasi bahwa sepak bola telah menjadi sebuah indsutri bisnis yang menguntungkan bagi segenap pelakunya. Tak heran kini banyak kalangan yang melabeli dunia sepak bola dengan istilah sportainment. Olahraga yang telah dikemas sedemikian rupa agar menjadi tontonan yang menghibur, menarik, dan dapat menghipnotis jutaan penonton setia untuk terus mengikuti perkembangan dan menjadikannya sebagai bagian dari kebutuhan. Sehingga pada akhirnya, para penonton yang telah “terhipnotis” tersebut bersedia untuk menghabiskan sebagian kapital yang dimiliki untuk membeli cindera mata klub, replika kostum, pernak pernik, maupun berlangganan saluran TV tertentu demi mendukung tim pujaan yang berjarak ribuan mil dari tanah air tercintanya. Sepak bola dianggap telah bertransformasi sebagai sebuah komoditas, agen dari modernisasi, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kapitalisme dan globalisasi.

Namun, seperti yang dikatakan oleh politisi AS, Robert Kennedy, sebuah perubahan tidak akan pernah lepas dari sebuah pro-kontra. Perubahan akan selalu menghasilkan musuh. Perputaran uang yang semakin meningkat di satu sisi menguntungkan sepak bola dari sisi komersial, infrastruktur, dan kualitas dari tayangan. Namun, di sisi lain aspek bisnis dianggap telah mendominasi sendi-sendi penyelenggaraan kompetisi sepak bola hingga menghilangkan “esensi” dari permainan itu sendiri.

Di sinilah muncul pertanyaan di benak penulis. Apakah sebenarnya esensi dari permainan sepak bola itu sendiri? Bukankah tidak lebih dari tata cara bermain yang sportif dan fair play seperti yang selalu didengungkan FIFA di setiap pertandingan? Atau adanya suporter yang datang ke stadion untuk bersorak sorai mendukung tim kesayangan? Bukankah elemen-elemen tersebut masih ada di era sepak bola yang dianggap telah didestruksi oleh cengkraman modernisasi?

Jika kita menilik manifesto dari gerakan Against Modern Football (AMF) yang sedang menggelora di daratan Eropa, harga tiket yang melambung tinggi merupakan isu utama yang diprotes secara keras, terorganisir, dan besar-besaran oleh para suporter. Isu-isu lain yang diangkat, dalam skala yang jauh lebih minor, ialah pembatasan gaji para pemain primadona, peningkatan keamanan tribun berdiri suporter, serta aksi dekriminalisasi fans.

BACA JUGA:  Indonesia Ajukan Diri Jadi Tuan Rumah Piala Asia 2023

Daniel Sandison, co-editor dari fanzine Stand Against Modern Football saat diwawancarai Sevenstreet (link terlampir di akhir artikel) menyatakan bahwa banyak orang merasa kecewa dan tidak puas terhadap harga tiket pertandingan, dan sepak bola, dalam banyak cara, diambil dari jangkauan para suporter fanatik yang membuat sepak bola meraih popularitas seperti sekarang. Sementara itu, suporter klub-klub sepak bola di Inggris melupakan rivalitas mereka sejenak dan membentuk suatu aliansi untuk menyuarakan pembatasan harga tiket pertandingan.

Salah satunya ialah gerakan yang dinamakan Twenty’s Plenty for Away Ticket yang menuntut pembatasan maksimal harga tiket tandang sebesar 20 Poundsterling. Federasi Suporter Sepak Bola Inggris (FSF) yang mempelopori gerakan tersebut menyatakan kepada London Street Evening bahwa gerakan tersebut ialah simbol yang menegaskan para pendukung tidak bisa selamanya “diperas”. Dengan pemasukan sebesar 5,5 miliar poundsterling dari penjualan hak tayang kepada media lokal saja, klub seharusnya mampu memotong 600 poundsterling dari tiket musiman setiap fans. Dengan meningkatnya sisi finansial klub, loyalitas fans harus mulai dihargai dengan harga tiket pertandingan yang terjangkau.

Segala macam aspirasi yang disuarakan oleh AMF atau gerakan-gerakan suporter serupa tidaklah salah. Sepak bola memang game of the people, dan sudah seharusnya setiap orang memiliki akses untuk menikmati atmosfir dan keindahan dari pertandingan sepak bola secara langsung di stadion. Walaupun belum tertulis di Deklarasi Universal HAM PBB, namun begitulah peraturan tak tertulis yang tampaknya diamini oleh penggemar sepak bola di dunia. Hal tersebut lah yang mendasari protes yang dilakukan oleh suporter sepak bola Indonesia saat pertandingan diputuskan tidak boleh dihadiri suporter karena ketidakmampuan aparat keamanan untuk menjamin kondusivitas para penonton, terutama di laga-laga yang terkenal panas dan sarat rivalitas macam Persija vs Persib atau Persebaya vs Arema.

Meminjam istilah Jock Stein, pelatih Celtic dan Skotlandia legendaris, football is nothing without fans. Tanpa suporter yang datang ke stadion, menyuguhkan nyanyian-nyanyian dukungan, sindiran dan ejekan ke tim lawan, serta koreografi yang atraktif, sepak bola akan terasa hambar dan kehilangan gairahnya. Namun pada akhirnya, suporter sepak bola haruslah realistis terhadap fenomena globalisasi dan hukum ekonomi sederhana, supply and demand.

Globalisasi membawa promosi pertandingan sepak bola secara mondial dan meningkatkan aksesibilitas transportasi, akomodasi, dan fasilitas penonton internasional untuk datang ke stadion. Bagi sebagian besar penggemar sepak bola, pergi menonton pertandingan klub pujaan secara langsung wajib hukumnya apabila mampu, bagaikan ritus ibadah haji yang dilaksanakan oleh umat Islam. Singkatnya, semakin banyak orang yang ingin dan bisa datang ke stadion manapun yang diinginkan. Tidak heran apabila pada tahun 2012 silam, Guardian melansir data bahwa sebanyak 1.3 juta orang asing, atau 4% dari jumlah total orang asing yang ke Inggris, pergi menonton pertandingan olahraga secara langsung, dimana 900.000 orang di antaranya menonton pertandingan sepak bola profesional di stadion.

BACA JUGA:  Yang “Kiri” dan yang Seksi: Anti Kapitalisme Sepak Bola di Ladang Kapital

Sehingga, AMF agaknya hanyalah sebatas simbolisme dari umpatan dan luapan emosi para suporter fanatik yang termarjinalkan secara ekonomi. Suporter yang kehilangan privilege untuk membeli tiket musiman ataupun matchday karena lebih banyak orang berduit dari seluruh dunia yang ingin datang ke stadion. AMF bukanlah sebuah gerakan perlawanan ideologis yang ingin mewujudkan suatu sistem sepak bola dengan tatanan tertentu. AMF bukanlah pergerakan yang memprotes adanya kesenjangan antara tim papan atas dan papan menengah ke bawah dalam pembagian uang hak siar, kesenjangan uang kompensasi tim yang terdegradasi dan uang hadiah tim yang meraih tiket promosi, ataupun ketegasan dari UEFA dalam memberikan sanksi bagi pelanggar Financial Fair Play.

Sungguh disayangkan, sebuah pergerakan yang mengatasnamakan suporter sepak bola sejati hanya mengangkat isu-isu egoistis tanpa konsistensi untuk meneriakkan ketidakadilan sistem yang mungkin hanya berpengaruh pada tim-tim medioker. Bukan tim-tim papan atas berfinansial mapan, yang sangat ingin mereka tonton secara langsung di stadion.

Sumber informasi tambahan:

[1] Sevenstreets, The Ugly Game: Making a stand against modern football, David Lloyd, 31 Oktober 2012, http://www.sevenstreets.com/the-ugly-game/.

[2] The Guardian, Football fans boost UK tourism, James Meikle, 22 Oktober 2012, http://www.theguardian.com/travel/2012/oct/22/football-fans-uk-tourism-figures.

Artikel ini pernah dimuat di Fandomagz edisi 8.

Komentar