Saya tidak yakin berapa IQ seorang Johan Cryuff, tapi saya curiga bahwa IQ pemain yang tidak pernah mendapatkan gelar internasional sebagai pemain sepanjang hidupnya ini tidak beda jauh dengan seorang Albert Einstein. Utamanya ketika bicara mengenai persoalan ruang dan waktu.
Persoalan ruang dan waktu adalah salah satu diskusi yang menarik. Bukan hanya karena pembahasan ini membuat Anda kelihatan keren ketika membahasnya, namun juga karena semua persoalan di dunia ini adalah mengenai dua hal itu. Apalagi jika kita membicarakan sepak bola.
FourFourTwo pernah membuat daftar klub terbaik yang pernah ada di muka bumi. Dan di urutan ketiga ada Real Madrid era duet Alfredo De Stefano-Ferenc Puskas dengan torehan lima gelar Piala Champions berturut-turut, di posisi kedua ada AC Milan dengan trio Belanda yang diracik tangan dingin Arrigo Sacchi, dan yang pertama —yah, Anda bisa tebak— adalah Ajax Amsterdam era Rinus Michels yang ada Cryuff sebagai tiang “saka guru” di sana.
Lalu di mana FC Barcelona era Josep Guardiola yang pernah dengan kejam memporak-porandakan Eropa? Sayang sekali, klub dengan satu alien itu hanya menempati peringkat keempat.
Jika harus berargumen mengenai posisi anak asuhan Michels di posisi pertama, maka jelas bahwa di sanalah untuk kali pertama sepak bola dipahami sebagai sebuah permainan dengan pendekatan ruang dan waktu. Tenang saja, saya tidak akan menyodorkan Anda beragam teori fisika yang njlimet untuk memahaminya.
Tiga dari empat klub terbaik yang pernah ada di muka bumi tersebut adalah klub yang menggunakan pendekatan serupa dalam skema permainannya. Jika kemudian Madrid era Stefano-Puskas masuk empat besar, sejatinya hanya karena mereka adalah embrio “Los Galacticos” yang sebenarnya.
Embrio di mana sebuah klub tidak lagi peduli kewarganegaraan pemainnya hanya demi mengumpulkan pemain-pemain super dalam satu tim. Jika Anda masih ragu dengan klaim saya, coba saja cek, bahwa Madrid era itu pernah mengirimkan proposal resmi ke Santos untuk merekrut Pele. Entah sial atau beruntung bagi penggemar sepak bola era itu, Pele secara tegas menolaknya.
Oke, kembali ke persoalan.
Ajax era Rinus Michels adalah sebuah tim yang menggunakan pendekatan ilmiah paling rumit jika dipikirkan sekaligus paling sederhana jika diterapkan. Pemahaman ruang dan waktu semacam ini memang mudah jika sepak bola adalah permainan individu. Masalahnya sepak bola adalah permainan tim, artinya skema ini baru berjalan jika tim Anda sanggup bergerak seperti satu tubuh.
Harus ada otoritas tunggal jika Anda menggerakkan sebuah anggota tubuh. Anda butuh satu otak untuk menggerakkan dua tangan, dan jika Anda punya dua otak, maka menggerakkan jari saja akan sangat sulit karena adanya lebih dari satu kehendak.
Itulah kenapa banyak yang sepakat bahwa “Total Football” bukanlah sumbangan pribadi Michels. Michels memang yang meletakkan batu pertama fondasi, tapi adalah Cruyff yang menjadi arsitek sekaligus penghuni kuil bernama “Total Football” tersebut.
Cruyff mungkin tidak pernah belajar fisika atau geometri untuk memahaminya, namun di lapangan, semua ruang dan waktu berhasil ia kuasai. Memang benar, Pele atau Maradona adalah pemain hebat karena mampu mengubah jalannya pertandingan seorang diri.
Tapi Cruyff berada di sisi yang berbeda. Ia bisa mengubah jalannya pertandingan seorang diri —dan ini yang penting— bersama-sama mengikutsertakan peran seluruh rekan-rekannya di lapangan.
Jika Pele dan Maradona menggunakan otak beserta ototnya untuk memperdayai pemain lawan, maka Cruyff menggunakan otaknya untuk memperdayai tim lawan dengan otot seluruh pemain di timnya.
Sang Pengendali Waktu
Sepak bola adalah ruang. Ada bola, ada lapangan, ada dua gawang, dan ada garis batas. Namun ketika ada manusia yang masuk ke sana, maka sepak bola yang tadinya hanya sebatas ruang mendadak memiliki perspektif waktu. Sebab relativitas waktu baru bisa terjadi jika ada subjek yang mengalami atau merasakannya. Subjek yang dalam kasus ini adalah pemain sepak bola.
Seluruh jagat raya ini adalah sebuah perspektif ruang yang majemuk. Berjalin berkelindan dan begitu sulit dipahami.
Saya akan ambil contoh agar hal ini tidak terlalu sulit dipahami.
Bintang yang kita lihat di malam hari, sebenarnya adalah bintang-bintang yang kita lihat bermiliar-miliar tahun cahaya sebelumnya. Kita melihat cahaya pada tahun miliaran ke belakang dan yang sampai ke mata kita adalah cahayanya di masa lalu. Bisa jadi saat kita melihat bintang tersebut, bintang yang kita lihat di waktu yang sama sudah jadi supernova atau meredup mati pelan-pelan.
Kenapa itu bisa terjadi?
Sebab jarak yang begitu jauh antara Bumi dengan bintang yang kita lihat sangat jauh. Begitu jauh, sampai satuan jarak untuk ukuran ruang jagat raya adalah berapa lama cahaya mampu menempuhnya. Dan karena cahaya membutuhkan waktu untuk mencapai Bumi maka ketika cahaya itu sampai ke mata kita, bintang yang kita lihat hanyalah merupakan bentuk refleksi dari bintang yang sebenarnya.
Contoh lain yang lebih mudah adalah cahaya matahari, bintang terdekat dari Bumi, yang mengenai kita saja membutuhkan waktu rata-rata 8 menit 20 detik. Maka itu artinya cahaya yang kita terima adalah cahaya matahari pada masa lalu, di masa 8 menit 20 detik yang lalu.
Itulah mengapa dalam sepak bola, kita mengenal istilah “visi bermain”. Kemampuan di mana seorang pemain sanggup merancang fondasi awal sebuah serangan. Pandangan jauh ke masa depan. Pandangan lintas dimensi. Rencana jangka panjang untuk membuka ruang kosong tim lawan dan mengeksploitasinya.
Visi bermain adalah soal memprediksi permainan. Memprediksi ruang di lapangan sepak bola sekaligus subjek-subjek di dalamnya. Meramalkan titik-titik pertemuan ruang (lapangan) dan waktu (pemain) yang menguntungkan.
Ini sesuatu yang rumit, karena apa yang dilihat oleh pemain di lapangan sepak bola semuanya adalah masa lalu. Jarak antarpemain ke pemain sedikitnya menciptakan bias waktu untuk bisa sampai ke mata pemain yang sedang membawa bola.
Ada perbedaan waktu sepersekian detik antara kenyataan dengan apa yang terlihat oleh mata. Tentu saja selisihnya tidak sebanyak waktu cahaya matahari sampai ke bumi. Namun faktanya, selisih perbedaannya jelas ada.
Andrea Pirlo mungkin adalah salah satu contoh terdekat yang bisa menerjemahkan mengenai kemampuan lintas dimensi seorang pemain. Permainan yang kelihatan sederhana, tapi kesederhanaan itu sebenarnya merupakan tingkat tertinggi sepak bola. Bagaimana Pirlo mampu memprediksi titik pertemuan bola kirimannya dari jarak sekian puluh meter untuk ditempatkan ke kaki atau kepala Filippo Inzaghi saat keduanya masih memperkuat AC Milan.
Pertimbangan jarak dan waktu berkelindan dengan kecepatan laju bola serta percepatan lari Inzaghi harus dalam komposisi yang sempurna untuk melahirkan sebuah asis. Padahal ketika Pirlo melihat Inzaghi ada di posisi yang jauh, ia sedang melihat “Inzaghi di masa lalu” dan seketika itu ia harus mampu melakukan perhitungan matang untuk melihat di titik sebelah mana posisi “Inzaghi di masa depan”.
Dalam konstruksi yang lebih besar, Cruyff mampu membumikan kemampuan lintas dimensi miliknya untuk digunakan sebesar-besar keuntungan timnya.
Jika Anda sempat menyaksikan bagaimana partai pembuka Belanda di Piala Dunia 1974 saat bersua dengan Uruguay, Anda akan mengerti bahwa pemahaman ruang dan waktu tidak hanya dipahami Cruyff seorang diri. Tapi juga seluruh tim. Atau kalau mau sedikit radikal, seluruh “anggota tubuh” Cruyff sedang bermain di pertandingan tersebut.
“Jika Anda mendapatkan bola Anda harus membuat lapangan sebesar mungkin, dan jika Anda kehilangan bola, Anda harus membuat lapangan jadi sekecil mungkin,” adalah sabda Cruyff soal “Total Football” yang sering kali dikutip di mana-mana.
Dalam praktiknya, kalau kita jeli, sejatinya sabda Cruyff tidak hanya berhenti di persoalan ruang, tapi juga waktu. Seperti premis saya tadi, bahwa begitu ada subjek (pemain) di lapangan maka saat itu juga perspektif waktu juga punya andil besar.
Begitu ruang Anda terbatas, maka di saat yang bersamaan waktu Anda akan terbatas pula. Begitu para pemain Belanda kehilangan bola dan mereka melakukan pressing begitu ketat, pemain-pemain Uruguay tidak hanya kehilangan ruang, namun juga waktu.
Waktu untuk memikirkan visi permainan ke tahap selanjutnya. Bahkan waktu yang tidak cukup banyak untuk mengandalkan refleks kaki melakukan dribble menghindari terjangan lawan.
Di sisi lain, saat Cruyff dkk memainkan bola, mereka tidak hanya memperluas ruang, tapi juga memperpanjang waktu. Dengan memperpanjang waktu, tim Cruyff bisa mengatur nafas. Merancang visi bermain tahap demi tahap. Pada akhirnya, perpindahan posisi dan peran pemain dalam “Total Football” menjadi mungkin karena banyaknya waktu yang tersedia.
“There is only one ball, so you need to have it,” katanya. Jika bola bisa dikendalikan maka tidak hanya lapangan permainan yang bisa dikendalikan, tapi juga perspektif waktu di lapangan.
Dan di sanalah kemudian “Total Football” merepresentasikan pemanfaatan relativitas ruang dan waktu dalam sepak bola dengan paripurna.
Sayangnya, “sang pengendali waktu” ini hanya mampu mengendalikan waktu di dalam lapangan sepak bola. Di luar lapangan, Cruyff adalah manusia biasa. Ia tak punya kuasa sama sekali mengendalikan waktu.
Tujuh hari silam (24/3), kabar kematiannya mengguncang dunia sepak bola. Secara pribadi, saya tidak pernah benar-benar menyukai Cruyff, bagi saya Franz Beckenbauer jauh lebih hebat jika kita bicara raihan gelar. Baik sebagai pemain, pelatih, maupun sebagai seorang kakek tua berumur (nyatanya Beckenbauer lebih panjang usianya).
Tapi, tidak ada yang tidak bisa bersedih ketika mendengar Cruyff, sosok yang mengubah sepak bola dengan ego besarnya untuk menjadi tontonan yang menghibur telah menghembuskan napas terakhirnya.
Dan sekalipun tubuhnya tidak bisa menghentikan kematian, Cruyff telah menunjukkan bahwa warisan dan nama besarnya tidak bisa dihentikan—bahkan oleh waktu.