Hannover, Paris, dan Kenapa Terorisme Lebih Kejam dari Pembunuhan?

Pertandingan persahabatan antara Jerman dan Belanda yang seharusnya digelar Selasa (17/11) malam atau Rabu (18/11) 02:45 WIB dibatalkan setelah ada ancaman pengeboman.

Otoritas keamanan Hannover menemukan perangkat peledak yang dimaksudkan untuk meledakkan seluruh isi stadion HDI Arena, lokasi pertandingan yang juga merupakan markas klub Hannover 96. Serta satu lagi alat peledak di sebuah stasiun kereta api.

Temuan inilah yang kemudian membuat rencana laga persahabatan dua negara bertetangga ini dibatalkan. Seluruh penonton dievakuasi, berikut para pemain.

“Kami menyikapi laporan intelijen ini dengan serius. Itulah alasan kami melakukan protokol ini,” ujar Volker Kluwe, Kepala Kepolisian Hannover, seperti yang dilansir dari CNN.

Aksi ini jelas merupakan ancaman yang nyata. Selain para pemain dan puluhan ribu penonton, laga juga dihadiri oleh Kanselir Jerman, Angela Merkel beserta tiga pejabat teras pemerintahan Jerman. Bahkan beberapa saat sebelum bom ditemukan, Merkel sempat mendatangi ruang ganti pemain Jerman.

Kehadiran para pejabat tinggi tidak hanya untuk mendukung timnas Jerman, melainkan juga sebuah pernyataan sikap internasional bahwa Jerman tidak takut dengan aksi pengecut seperti yang terjadi di Paris, Prancis beberapa hari yang lalu.

Kejadian ini sontak membuat dunia sepak bola begitu terpukul. Membaca dari aksi yang terjadi di Paris lalu, di saat laga Prancis-Jerman berlangsung, maka sudah jelas bahwa aksi teror ini kini tidak lagi diarahkan hanya untuk Prancis, tapi jelas diarahkan untuk sepak bola.

Untuk olah raga yang memang pada kenyataannya memiliki pengaruh global baik dari segi ekonomi, politik, maupun, hubungan bilateral antarnegara.

Dan dua kejadian ini, di Hannover dan Paris, benar-benar melukai jutaan penggemar sepak bola di setiap sudut planet ini. Apalagi laga antara Belgia melawan Spanyol di stadion Roi Baudouin, Brussel, Belgia, pun dibatalkan menyusul ada ancaman teror.

BACA JUGA:  Tabula Rasa Sepak Bola Indonesia

Kenapa terorisme lebih kejam dari pembunuhan?

Terorisme dengan pembunuhan memang sekilas similar, tapi sejatinya ada perbedaan yang benar-benar serius terkait motif dan level kejahatannya. Keduanya seperti paket yang tidak terpisahkan namun di beberapa titik ada perbedaannya.

Perbedaan inilah yang kemudian membuat aksi teror jauh lebih kejam, baik dari segi dampak secara langsung maupun tidak langsung. Kenapa saya sebut lebih kejam? Sebab aksi teror seperti yang dilakukan para begundal di Paris, Prancis beberapa hari yang lalu bukanlah tindakan yang diniatkan untuk “benar-benar” membunuh para korban.

Aksi semacam ini sejatinya adalah upaya mengirim “pesan”. Jika kemudian para korban harus merenggang nyawa dalam aksi tersebut, maka hal itu bukanlah tujuan utama. Korban yang berjatuhan hanya menjadi medium dari tingkat urgensi pesan yang ingin disampaikan.

Artinya, dengan semakin banyaknya korban, maka akan semakin genting pesan ini harus direspons.

Ini jelas berbeda dengan aksi pembunuhan yang memang memiliki tujuan akhir menghilangkan nyawa seseorang. Dalam aksi teror, korban yang mampu selamat dan mampu menceritakan kengeriannya justru jadi alat “penyampai pesan” paling berharga bagi si pelaku teror.

Memori kolektif akan tragedi dan horor selama aksi ini malah sebisa mungkin akan dipelihara agar “pesan” yang hendak disampaikan benar-benar dipahami, untuk kemudian—tentu saja—dituruti.

Beberapa korban selamat dari tragedi di Paris memang mengumbar kengeriannya di media. Dari Isobel Bowdery misalnya, turis dari Afrika Selatan ini sedang menikmati konser di Gedung Bataclan, sampai kemudian muncul pria bersenjata melepaskan tembakan di belakangnya tanpa henti.

“Puluhan orang ditembak di depan mata saya. Darah menggenang di lantai. Pria dewasa menangis sambil memeluk pacar mereka yang tewas di gedung musik tersebut.”

BACA JUGA:  Tragedi Paris Sebagai Ujian Bagi Suporter Sepak Bola

Isobel bisa selamat karena ketika ledakan senapan pertama yang ia dengar membuatnya langsung tiarap—dan pura-pura mati. Karena ia berada cukup dekat dengan pelaku teror, maka rute peluru sang pelaku justru melewati dirinya.

Artinya, moncong senapan yang ditembakkan benar-benar ada di atas kepalanya. Dan kisah-kisah semacam inilah yang kemudian menutupi Paris dengan aura ketakutan dan kengerian yang luar biasa.

Korban yang selamat akan memiliki kisah traumatik yang bisa jadi terus dia kenang. Kisah horor tersebut juga dirasakan oleh orang lain – juga generasi berikutnya. Pertandingan sepak bola menjadi sasaran karena melibatkan sekian banyak orang sehingga efeknya bisa sangat besar.

Dan untuk perilaku biadab di Paris dan kegagalan para teroris di Hannover. Jika dengan bom dan senapan, kalian merasa bakal bisa mengalahkan sepak bola. Maka sepertinya kalian perlu usaha lebih dari itu.

 

Komentar
Lahir di Jogja tapi besar dan belajar cinta sepak bola dari Pelita Solo dan Persijatim Solo FC. Tukang modifikasi dan renovasi kalimat di Indie Book Corner (IBC). Masih bermimpi jadi atlet kayang pertama yang berlaga di UFC World Champion. Biasa nggambleh di @dafidab