Let’s get ready to rumble!
Anda sering mendengar catchphrase (frasa pemikat, red.) tersebut? Pencinta olahraga adu jotos alias tinju sudah pasti hafal di luar kepala. Adalah Michael Buffer, ring announcer asal Amerika Serikat yang selalu mendengungkan kalimat itu jelang dimulainya sebuah laga tinju. Berkat catchphrase itu juga nama Buffer jadi semakin mahsyur.
Buffer mulai naik daun setelah ditunjuk menjadi ring announcer oleh perusahaan promosi tinju milik promotor kenamaan Bob Arum, Top Rank, di setiap partai tinju gelaran mereka di kanal ESPN pada tahun 1983. Setahun berselang Buffer mulai menggunakan frasa pemikat tersebut di setiap laga tinju yang diumumkannya.
Semenjak saat itu kalimat Let’s Get Ready To Rumble sangat melekat pada sosok Buffer. Hak paten atas kalimat tersebut secara resmi didapat oleh Buffer pada 1992 sehingga tak ada lagi orang yang berhak menggunakannya selain Buffer, meskipun ring announcer Indonesia kadang masih saja ada yang ndableg (bandel, red.) perihal ini.
Di dalam pikiran setiap orang pun termaktub bahwa Let’s Get Ready To Rumble adalah Michael Buffer dan Michael Buffer adalah Let’s Get Ready To Rumble. Tentunya ini sebuah prestasi tersendiri buat Buffer.
ABC News pada 2009 melaporkan jika kalimat super singkat, padat dan jelas (hanya lima kata) itu sudah menghasilkan uang lebih dari 400 juta dolar AS bagi Buffer, nominal yang fantastis bukan? Harus diakui jika Buffer sukses menciptakan brand image atau citra merek tentang dirinya melalui kalimat tersebut. Ya, ini adalah hal yang maha penting bahkan di dunia olahraga yang kini sarat hitungan untung-rugi.
***
Tepat 18 Februari, saya mendapati kabar bahwa pemuda Indonesia bernama Rio Haryanto yang beberapa tahun terakhir menyemai mimpi untuk berlaga di ajang balap mobil formula paling prestisius, Formula 1 (F1), telah resmi diikat oleh tim balap F1 asal Inggris, Manor Grand Prix. Berita ini bahkan menjadi trending topic di Twitter.
Ini merupakan sebuah kabar gembira bagi Rio, keluarganya dan rakyat Indonesia karena untuk kali pertama sepanjang sejarah, Indonesia punya pebalap dalam entry list F1.
Bila selama ini kita lebih suka mendukung Fernando Alonso, Lewis Hamilton dan Sebastian Vettel, setidaknya kini khalayak juga akan mendukung Rio yang sebangsa dan setanah air. Rio berhasil menelikung nama-nama seperti Alexander Rossi dan Will Stevens demi memperebutkan satu kursi tersisa. Cah Solo ini pun bakal bertandem dengan pebalap asal Jerman, Pascal Wehrlein, di tim milik Stephen Fitzpatrick pada gelaran F1 musim 2016.
Sayangnya kehadiran Rio juga tidak lepas dari suara-suara sumbang, khususnya mengenai dana APBN yang kabarnya dikucurkan, melalui lobi Kemenpora di DPR, agar Rio bisa mengambil jatah kursi tersisa di tim Manor. Jumlah uang yang dibutuhkan untuk mendapat satu kursi di Manor memang sangat fantastis, sekitar 15 juta euro atau 225 miliar rupiah.
Publik pun terbelah, ada yang pro dan kontra. Kubu yang menyetujui hal ini adalah para nasionalis yang bersikeras bahwa Rio membawa nama bangsa sehingga layak dan harus didukung. Karena jika tidak sekarang maka kapan lagi ada talenta berbakat Indonesia yang kansnya menjejak F1 seperti mudahnya api membakar kertas.
Sedang mereka yang tak sepakat adalah moralis yang merasa bila jumlah uang segemuk itu bisa digunakan untuk hal lain yang sifatnya lebih penting untuk kemaslahatan bangsa Indonesia secara menyeluruh. Misalnya untuk upaya pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.
Lepas dari itu semua Rio memang punya bakat luar biasa. Putra dari eks pebalap nasional Sinyo Haryanto yang mulai menekuni dunia balap sejak usia 6 tahun sudah punya torehan cukup gemilang sedari belia.
Hal tersebut diperkuat oleh usaha kerasnya yang tak kenal lelah demi menggapai impian sejak berlaga di ajang Formula BMW Pasifik pada 2009 silam. Soal prestasi pun lumayan, Rio keluar sebagai juara umum Formula BMW Pasifik di tahun yang sama.
Ketika pindah ke GP3 serta bergabung dengan tim Manor pada 2010 dan 2011 pun Rio berhasil memenangi beberapa seri walau tak menjadi juara dunia. Dirinya juga selalu masuk tujuh besar klasemen akhir di dua musim balap tersebut. Setidaknya Rio telah membuktikan bahwa dirinya punya kualitas sebagai pebalap muda.
Sayangnya ia mengalami penurunan prestasi usai naik kelas ke GP2 dan membela tim Carlin pada tahun 2012. Pun begitu saat Rio hijrah ke Barwa Addax (2013) dan Caterham (2014) di ajang yang sama. Tak ada satu kemenangan pun yang mampu direngkuh pemuda yang kini berusia 23 tahun ini. Posisinya di klasemen akhir selama tiga musim pertama di GP2 itu pun berkutat di spot belasan.
Peruntungannya berubah saat membela tim Campos musim lalu. Bersama tim asal Spanyol tersebut, Rio sanggup menggondol tiga kemenangan sprint race. Perlu diketahui GP2 ada dua kategori race yaitu sprint race dan feature race, yakni di GP Bahrain, GP Austria dan GP Inggris serta finis di peringkat empat klasemen akhir GP2 musim 2015.
Sial untuk Rio, hal tersebut nyatanya belum membuat dirinya punya nilai jual yang cukup untuk mendapat dukungan dana dari para sponsor. Praktis hanya Pertamina, Kiky, dan Kompas yang selama ini terus memberi dukungan kepadanya.
Garuda Indonesia yang notabene maskapai terbesar di Indonesia bahkan sudah lama menarik dukungannya untuk Rio. Hal yang sama juga dilakukan oleh operator seluler Telkomsel. Pun begitu dengan perusahaan-perusahaan kelas kakap lain yang ogah-ogahan mensponsori walau Rio membawa nama Indonesia di dunia internasional. Faktor lesunya kondisi ekonomi jelas memengaruhi hal tersebut.
Di sisi lain, selama beberapa musim berkecimpung di dunia balap Rio juga kesulitan membangun brand image-nya sendiri demi menggaet sponsor, katakanlah yang level nasional dulu. Alhasil ketika Rio memutuskan untuk naik tingkat dari GP2 ke F1, dirinya mesti berusaha mati-matian untuk bisa mendapat dukungan dana.
Padahal F1 adalah salah satu olahraga dengan biaya paling mahal sejagad. Ketika prestasinya dirasa belum cukup mumpuni untuk dilirik, pihak-pihak yang ingin menggolkan Rio ke F1 juga seakan tak punya strategi matang untuk membuat Rio jadi aset yang bisa dijual (baca : disponsori).
***
Soal Rio cukup segitu dulu karena kita mesti bergeser ke belahan bumi yang lain, tepatnya di Italia sana. Pada hari yang sama di mana Rio secara resmi diumumkan sebagai pebalap kedua tim Manor, saya juga membaca kabar bahwa telah terjadi kesepakatan antara klub sepak bola favorit saya, Internazionale Milano, dengan pihak Pirelli untuk memperpanjang durasi kerja sama sebagai sponsor utama di kostum klub hingga 2021 mendatang.
Kerja sama Inter-Pirelli sendiri sudah terjalin sejak tahun 1996 lalu atau sudah berjalan selama dua dekade. Perpanjangan selama lima tahun berarti Inter dan Pirelli akan melanggengkan kisah kasih hingga seperempat abad. Sebuah rekor tersendiri perihal kerja sama di bidang sepak bola.
Naasnya, dalam perpanjangan kali ini Pirelli menurunkan nilai kontrak menjadi sebesar sepuluh juta euro per musim walau tetap mencantumkan klausul mengenai beberapa bonus yang bergantung pada prestasi Inter.
Angka ini berselisih tiga juta euro dari nilai sebelumnya dan tertinggal jauh dari nilai kontrak sponsor para pesaing seperti Juventus dan pabrikan mobil Jeep serta AC Milan dengan maskapai asal Uni Emirat Arab, Fly Emirates.
Menurunnya nilai kontrak yang ditawarkan Pirelli jelas bersinggungan dengan brand image Inter yang menurun dalam beberapa tahun ini. Inter memang salah satu klub tersukses di tanah Italia tapi patut diingat jika dalam lima musim ke belakang, tak ada satu pun gelar yang masuk ke lemari trofi klub.
Status klub besar saja tidak cukup, apalagi penampilan Il Biscione sekarang malah seperti klub medioker. Inter juga sudah lama absen dari panggung bergengsi Liga Champions Eropa yang terakhir dirasakan pada musim 2011/2012 lalu.
Hal tersebut ditambah dengan ketiadaan sosok yang benar-benar bisa “dijual” dari skuat Inter saat ini. Ya, Inter tak memiliki pemain yang masuk dalam kategori superstar sekelas Lionel Messi, Cristiano Ronaldo atau Arjen Robben sekalipun guna memikat para sponsor.
Tak bermain di Eropa pada praktiknya mengurangi kesempatan para sponsor untuk “menjual” diri ke khalayak luas. Pastinya hal tersebut membuat mereka berpikir dua kali untuk tetap melanjutkan kerja sama. Maka bila kini Pirelli mengajukan nilai yang lebih rendah maka itu adalah hal yang sangat wajar.
Dalam dunia bisnis, brand image terasa begitu esensial karena dari situ kita bisa mengukur tingkat keyakinan masyarakat terhadap suatu produk tertentu.
Dalam teorinya, Keller (1993:3) menyebut ada tiga faktor yang mendorong terbentuknya citra merek alias brand image. Tiga hal itu adalah kekuatan asosiasi merek (strengh of brand associaton), keuntungan asosiasi merek (favourability of brand association) dan keunikan asosiasi merek (uniqueness of brand association).
Rio dan Inter memang punya fan yang melimpah tapi bila itu dikaitkan dengan pendanaan alias sponsor, tentunya jadi perkara lain. Ingat, perasaan cinta dan hitungan bisnis ada di koridor yang berlainan.
Dari tiga faktor tersebut, baik Rio maupun Inter ada di posisi tawar yang rendah karena mereka bukan “produk” yang sungguh-sungguh kuat, belum begitu menguntungkan dan belum benar-benar spesial. Sehingga tak perlu heran bila sponsor masih belum memandang keduanya. Alasan tersebut yang kemudian melahirkan beberapa pertanyaan di kepala saya terlepas dari rasa nasionalisme atau kecintaan.
Memangnya ada pebisnis atau pengusaha yang tak menginginkan keuntungan dan mau menanggung kerugian begitu saja? Ini kehidupan nyata Bung, bukan game!
Well, sebagai warga negara Indonesia tentu saja saya bangga dengan pencapaian Rio walau harus diterpa ujian berat terlebih dahulu. Pun begitu dengan Inter yang sejatinya kehilangan pundi-pundi uang secara signifikan dari sponsor tapi setidaknya Pirelli masih mau bekerja sama. It’s better than nothing!
Tugas tak ringan kini menanti keduanya, apalagi kalau bukan meraup prestasi setinggi-tingginya demi membangun citra yang lebih kuat. Untuk Rio, itu akan menaikkan pamornya sehingga lebih dilirik banyak pihak, termasuk tim-tim F1 yang lebih kuat dan sehat di masa depan.
Jangan sampai karier Rio hanya seumur jagung layaknya Alex Yoong dan Narain Karthikeyan dahulu. Kedua pebalap yang berasal dari Malaysia dan India itu dulunya juga memperoleh dukungan penuh dari negaranya tapi melempem dalam hal prestasi di kompetisi jet darat itu.
Setali tiga uang, Inter juga mesti segera berbenah demi meningkatkan nilai jual mereka menjadi tim yang layak untuk disegani dan disponsori. Sebab kerugian-kerugian yang dialami klub dalam lima musim terakhir jumlahnya luar biasa banyak.
Selamat berjuang, Rio!
Forza Inter Per Sempre!