Roda Kehidupan Unai Emery yang Terus Berputar

Selayaknya manusia lainnya, kehidupan Unai Emery sebagai pelatih sepakbola juga penuh dengan liku-liku.

Terkadang ia dipuja karena prestasi timnya luar biasa. Namun di momen lain ia dicerca lantaran klub besutannya terseok-seok.

Adagium, “hidup itu seperti roda, kadang berada di atas, suatu saat justru ada di bawah”, memang benar adanya dalam perkara kehidupan manusia.

Sesukses apapun kita, pasti pernah mencicipi pahitnya kegagalan. Kala merasa amat terpuruk, ada secercah keberhasilan yang menyambut.

Jika Tuhan mengizinkan manusia untuk melupakan satu momen terburuk dalam hidupnya, mungkin Emery akan memilih momen melatih Arsenal sebagai potongan hidup yang ingin dihapus selamanya dari ingatan.

Sebelum merapat ke kubu Meriam London, Emery adalah pelatih dengan curriculum vitae yang mentereng.

Ia membangun kariernya secara perlahan dari kesebelasan-kesebelasan kecil Deportivo Lorca, Almeria, hingga akhirnya mendapat kesempatan menukangi tim yang lebih besar seperti Valencia dan Spartak Moskow.

Penggemar sepakbola lantas kian mengenal sosok Emery kala ia menukangi Sevilla (mulai musim 2013/2014 sampai 2015/2016) dan berhasil mengantar Los Nervionenses menjuarai Liga Europa tiga kali berturut-turut.

Sebuah pencapaian yang diyakini takkan mudah direplikasi oleh pelatih manapun di era modern.

Berkat prestasi itulah, lelaki kelahiran Hondarribia ini dipinang tim kaya raya Prancis, Paris Saint-Germain (PSG), per musim 2016/2017.

Sudah bukan rahasia lagi jika Les Parisiens bernapsu meraih prestasi di kancah Eropa. Dominasi mereka di level domestik kudu dilanjutkan ke tataran yang lebih bergengsi sekelas Liga Champions.

Sayangnya, mimpi itu senantiasa gagal. Pun saat Emery menjadi bos di Stadion Parc des Princes. Kendati demikian, selama dua musim bermukim di kota Paris, masih ada enam titel domestik yang dipersembahkanya.

Namun obsesi PSG terhadap trofi Si Kuping Besar tak lagi bisa dibendung. Kegagalan Emery membawa Les Parisiens merengkuhnya berujung pada surat pemecatan.

Walau begitu, Emery tidak butuh waktu lama buat menemukan pelabuhan barunya. Berbekal rekam jejak mentereng itu, ia cuma menganggur sebulan sampai akhirnya didapuk Arsenal sebagai nakhoda anyar per musim 2018/2019.

Nama besar The Gunners dan proyek yang dicanangkan manajemen dianggap Emery sebagai tantangan yang menarik. Kesempatan mencicipi rimba Liga Primer Inggris pun tak ditampiknya.

Akan tetapi, cerita indah yang dibayangkan publik maupun Emery sendiri, bak jauh panggang dari api.

Momen menangani Arsenal justru lekat dengan kesemenjanaan. Tak ada gelar yang masuk ke lemari trofi Stadion Emirates dan gaya kepelatihan Emery malah sering dikritik.

Dukungan manajemen yang kurang, ekspektasi berlebih dari suporter Arsenal dan kualitas skuad yang ada di level menengah jadi faktor-faktor yang bikin periode melatihnya terasa suram.

Saya pun heran, sebetulnya skuad Arsenal kala itu punya kapasitas untuk tampil hebat. Namun entah mengapa, mereka seperti tak tahu cara memaksimalkan kemampuannya. Alhasil, inkonsistensi performa seringkali tampak dan bikin laju The Gunners tersendat-sendat.

Di sektor belakang, nama David Luiz maupun Shkodran Mustafi bukanlah nama sembarangan. Namun mereka tidak mampu menjalankan peran sebagai komander di lini belakang sebaik Danie Carrico di Sevilla, Thiago Silva di PSG atau kini, Pau Torres di Villarreal.

Emery juga pelatih yang terkenal sangat mengandalkan seorang playmaker dalam skema permainannya.

Peran itu diemban sangat baik oleh Ever Banega di Sevilla, Marco Verratti di PSG, serta Dani Parejo di Villarreal sekarang.

Namun anehnya, saat memiliki Mesut Ozil di skuad Arsenal, Emery justru tak mengoptimalkan kemampuannya. Ia malah bertaruh dengan duo Dani Ceballos dan Granit Xhaka yang kadang sukses, tetapi banyak buntunya.

Di sisi lain, ia begitu keras kepala dengan pilihan strateginya dan enggan menyesuaikan dengan komposisi skuad yang ada. Padahal, potensi untuk jadi lebih baik selalu terbuka.

Keputusan ini juga yang membuat suasana ruang ganti Arsenal menjadi kurang kondusif dan perlahan Emery seperti kehilangan kuasa atas ruang gantinya sendiri.

Pencapaian terbaik pria yang acap diolok-olok media Inggris dan suporter Arsenal sendiri dengan kalimat ‘Good Ebening’ ini adalah lolos ke final Liga Europa 2018/2019.

Harapan The Gunners buat memeluk trofi regional mengembang di dada. Terlebih, Emery kenal betul dengan Medan pertempuran yang satu ini.

Namun performa yang disuguhkan Alexandre Lacazette dan kolega di partai puncak justru mengecewakan. Mereka dibantai oleh rival sekota dan senegara, Chelsea, dengan skor 4-1.

Walau manajemen masih memberinya kesempatan mengemudikan kendaraan tempur Arsenal, tetapi tekanan fans makin menjadi-jadi pada musim 2019/2020.

Beriringan dengan menukiknya penampilan The Gunners, surat pemutusan hubungan kerja (PHK) akhirnya diterima Emery pada November 2019.

Saat itu, banyak meme Emery yang menertawakan kegagalannya bertebaran di media sosial. Mulai dari suntingan foto wajahnya yang diubah menjadi badut, hingga olokan aksen ‘Good Ebening’.

Satu setengah tahun menjadi bahan tertawaan publik Inggris, nyatanya tak membuat Emery sepi peminat.

Pada awal musim 2020/2021, Emery diberi kepercayaan untuk melatih Villarreal. Tim yang pernah diperkuat Juan Roman Riquelme ini sedang berusaha memperbaiki performa dan tak lagi berkutat di papan bawah La Liga Spanyol.

Misi itu diterima Emery. Toh, kisah ini layaknya sebuah perjodohan yang pas sebab sang pelatih juga ingin membenahi citranya yang tercoreng selama membesut Arsenal.

Sampai tulisan ini dibuat, Villarreal mampu ia bawa duduk di posisi lima klasemen sementara La Liga usai menuntaskan 20 jornada.

Emery bahkan sempat mencatatkan rekor saat membawa El Submarino Amarillo tidak terkalahkan dalam 19 laga di semua kompetisi.

Berkaca dari hal tersebut, pantas bila Emery sekarang menikmati masa kepelatihannya di Villarreal dan semakin lupa bahwa ia pernah menangani sebuah klub dengan seragam berwarna merah dan putih asal London Utara.

Komentar

This website uses cookies.