Sebagai masyarakat kelas menengah, yang belum jelas apakah menengah atas atau bawah, menikmati sebotol anggur merah cabernet sauvignon adalah kebahagiaan yang hakiki.
Pada suatu waktu, sekitar dua atau tiga tahun lalu, seorang kerabat dekat, anak borjuis yang gemar menghabiskan uang untuk pergi ke luar negeri, membawakan sebotol anggur merah asli dari Perancis, yang menurutnya, sudah disimpan selama 30 tahun di sebuah kilang anggur di daerah pinggiran dekat kota Bordeaux. Saya tidak peduli ini benar seperti yang ia bilang atau hanya bualannya belaka, tapi a wine is a wine.
Karena naluri sebagai tukang mabuk semasa sekolah menengah begitu menggelora, wine yang harusnya dinikmati dan dicecap dengan gaya borju ala aristokrat Prancis itu saya tenggak dengan segera lewat botolnya langsung. Tidak perlu ada perantara gelas.
Di dalam diri menyakini saat itu, bahwa menikmati sebotol anggur merah yang langka di Indonesia ini, kita seharusnya tidak perlu gelas atau cangkir. Jangan ada jarak antara sebotol wine nikmat dan mulut kita.
Dua kali tegukan saat itu, kalau tidak salah, dan aduhai betul nikmatnya. Saya membuktikan betul, anggur merah yang disimpan lama lalu kemudian disajikan, akan sangat nikmat sampai ke kerongkongan dan memberikan sensasi intim yang buas di kepala.
Saya pernah menikmati sake dan soju, dua minuman keras khas Asia Timur yang lagi-lagi dibawakan seorang kawan, tapi sensasinya tak seintim sebotol anggur merah. Ia begitu intim, mungkin, karena ia wine dan biasanya, karena ia mahal. Tapi bisa jadi, ia begitu intim karena rasanya memang sangat nikmat, mungkin, setara seks.
Wine bukan air perdamaian khas Indonesia. Ia jelas berbeda kelas dengan arak Jawa atau tuak dari Kupang. Tapi mereka memiliki identitas yang sama. Memabukkan, menghipnotis, tak jarang membahagiakan dan sesekali menenangkan.
Di detik saat wine itu tandas hingga tetes terakhirnya di dalam botol, saya merasa seperti gembong mafia Rusia yang sedang berbahagia merayakan kesuksesan transaksi kejahatan transnasional bernilai jutaan dolar sembari menikmati berbotol-botol vodka lengkap dengan es batu dan cerutu Kuba.
***
Cristian Gerard Alfaro Gonzales nama panjangnya. Tahun ini, tepat 30 Agustus nanti, pria Montevideo yang mendaku diri sebagai warga negara Indonesia (WNI) ini resmi berusia 40 tahun. Sebuah usia di mana ia bisa menertawakan Francesco Totti yang seusianya namun sudah betah menghangatkan bangku cadangan di AS Roma.
Di usia yang sama-sama uzur, secara irasional, Gonzales masih menjadi salah satu penyerang terbaik di Indonesia. Bahkan, satu yang paling baik bagi Arema.
Gonzales tentu bukan Totti. Ia tidak bermain di liga top Eropa yang ketat dan kompetitif. Tapi usia, adalah satu titik di mana semuanya terkadang menjadi sebuah justifikasi mutlak.
Kala Gianluigi Buffon melakukan reaksi yang lambat dalam melakukan sebuah penyelamatan di bawah mistar, publik akan menahbiskannya sudah habis dimakan usia. Tapi perdebatan tentang usia akan lenyap tatkala pada usia yang sangat senja, Anda masih bisa memukau dan bercita rasa tinggi seperti anggur merah.
Ada beberapa pemain yang sederhananya begitu memikat justru ketika ia sudah semakin tua. Sebutlah Xabi Alonso dan Andrea Pirlo. Mereka jelas layak mendapat predikat anggur merah sejenis cauvignon atau pinot noir, tapi Gonzales tentu berhak menyandang predikat yang sama dengan dua pemain tersebut mengingat sesekali, ia melakukan keajaiban yang membuai dan memabukkan.
Saya punya contohnya, dan begitu lekat di memori. Dua golnya ke gawang Filipina di Piala AFF 2010 adalah sebuah manifesto akan kehebatan singa tua dari Amerika Latin itu.
Satu golnya, di leg pertama saat itu, memanfaatkan umpan tarik Firman Utina dan melakukan smart header yang menembus jala gawang Neil Etheridge, yang saat itu tercatat sebagai kiper di Fulham.
Tidak cukup sampai di situ, Gonzales mengulangi sulap terbaiknya ketika tendangan melengkung jarak jauhnya dari luar kotak penalti kembali mempecundangi Etheridge di leg kedua dan mengantar Indonesia melaju ke final melawan Malaysia. Indonesia kalah, dan gagal. Tapi Gonzales, meninggalkan karya terbaiknya.
Di satu sisi, terkadang, gol bisa lebih memorable daripada deretan piala atau gelar juara. Gol masterpiece Dennis Bergkamp kala melawan Newcastle United, gol tangan Tuhan Diego Armando Maradona ke gawang Peter Shilton, hingga overhead kick Zlatan Ibrahimovic ke gawang Joe Hart.
Susah mengingat prestasi timnas Indonesia di dekade 2000-an ini, tapi Gonzales dan gol-golnya akan selalu membuai ingatan.
Sulit sebenarnya untuk mendaku diri sebagai pengagum Gonzales, walau ia sempat berseragam Persib Bandung selama dua musim dari 2009-2011.
Tapi di usia senja dan fakta bahwa ia masih mampu membuat kuartet bek Persib Bandung begitu kedodoran dalam final Piala Bhayangkara akhir pekan lalu (3/4), jelas sebuah hal yang surealis.
Gonzales bukan tipe penyerang favorit bagi kebanyakan orang. Ia tidak berlari dengan dribel yahud dan liukan menawan khas Lionel Messi atau Luis Suarez. Tapi, ia cakap melindungi bola dan pandai dalam penempatan ruang.
Mungkin, ia sedikit mirip dengan Filippo Inzaghi, kadang, bola hanya datang ke kepala dan kakinya untuk dicocor dengan tanpa keringat berlebih ke dalam gawang. Dan bagi penyerang, apa pun dan bagaimanapun prosesnya, a goal is a goal.
Kalian bisa berdebat sampai gerhana matahari kembali menyapa Indonesia, tapi penyerang hebat dilihat dari catatan golnya. Gonzales memiliki itu semua. Empat kali menyabet gelar pencetak gol terbanyak di Liga Indonesia. Mengoleksi 173 gol dan masih akan bertambah. Dan di usia 38 tahun, ia masih belum akan berhenti. Ia masih akan memimpin lini serang Arema dalam beberapa tahun mendatang.
Kami mengenalnya sebagai Cristian Gonzales. Kalian bisa memanggilnya dengan nama Islamnya, Mustafa Habibi. Tapi apa pun itu, Gonzales satu yang terbaik di Indonesia.
Bersanding dengan Bambang Pamungkas, Zaenal Arief, Ilham Jayakesuma dan Kurniawan Dwi Yulianto. Ia layak menjadi salah satu yang terbaik di antara yang terbaik.