Senjakala Paulo Dybala

Tanpa bermaksud untuk sok melodramatis, judul di atas hanyalah intisari dari rintihan Juventini di lini masa saya. Objeknya tentu saja Paulo Dybala, pemilik nomor punggung 10 yang musim ini sukar menjauh dari sorotan.

Apesnya, sorotan itu bukan tentang puja dan puji, rasa bangga atau harapan-harapan baik, melainkan penghakiman, hujatan dan doa perpisahan.

Performa pemain di lapangan adalah patokan fans. Kali ini, Dybala tak bisa berkelit sebab grafiknya memang sedang menukik. Sebelumnya, mari cermati konteksnya terlebih dahulu.

Pasca-giornata kesembilan, Juventus masih tertahan di posisi empat dengan jarak enam poin dari AC Milan yang nangkring di puncak klasemen. Perlu diketahui pula bahwa tiga dari tujuh belas poin yang dikoleksi I Bianconeri berasal dari ketidakmampuan Napoli untuk hadir di Stadion Allianz setelah pemain dan staf mereka terjangkit Covid-19.

Jadi, tekanan di pundak Andrea Pirlo sebagai pelatih anyar nyata adanya karena Juventus tetaplah Juventus. Siapapun juru kemudinya, bagaimanapun komposisi skuadnya, I Bianconeri harus selalu berdiri paling depan dalam bursa perebutan gelar juara Serie A.

Benang merah yang menghubungkan itu semua dengan Dybala adalah jika statistik La Joya lesu, maka tren performa tim ikut turun sebab tak mungkin seluruh beban yang ada dipikul Cristiano Ronaldo seorang.

Memang terkesan tidak adil, tetapi begitulah risiko yang ditanggung bintang terdepan tim. Saya mengatakan terdepan, bukan terbesar, ya, karena masih ada sosok Ronaldo.

Dybala menjadi bintang terdepan murni karena faktor usia yang lebih muda, pengabdian di kota Turin yang lebih lama, nomor punggung yang dikenakan, rasa cinta penggemar sampai pengalaman merumput di kasta teratas sepakbola Italia.

Masih hangat rasanya bagaimana ia di bawah Maurizio Sarri mampu melesat sebagai Most Valuable Player (MVP) Serie A musim 2019/2020 kemarin. Ya, gelar itu didapat Dybala belum lama ini dan sempat menimbulkan cekcok fans di media sosial sebab jumlah gol dan asisnya cuma 11 biji serta kurang mentereng di mata laman penyedia jasa statistik WhoScored.

Kini, di musim sunyi tanpa penonton di stadion, Dybala belum jua mencatat namanya di papan skor maupun menambah koleksi asis. Sumbangsihnya mandek pada satu gol di ajang Liga Champions. Jumlah itu kalah dari koleksi Ronaldo, penyerang cadangan Alvaro Morata, dan bahkan anak bau kencur, Dejan Kulusevski.

BACA JUGA:  Gianluigi Buffon Menuju 40 Tahun

Terbaru, pemandangan di laga tandang versus Benevento (29/11) sangat mengecewakan setiap mata yang mengamati. Laga yang berakhir sama kuat 1-1 ini menjadi kulminasi jebloknya performa Dybala. Setidaknya, ada tiga poin utama yang wajib disorot dari pria Argentina tersebut.

Pertama, Dybala melewatkan sebuah kesempatan langka karena ia bermain penuh. Pirlo bergeming dan tetap memainkannya walau tanda-tanda melempemnya Dybala sudah tampak jelas dari 45 menit pertama.

Kalau bicara kompetisi Serie A saja, laga melawan Benevento adalah kesempatan kedua dirinya diberi kesempatan mengakhiri laga di atas lapangan. Laga sebelumnya adalah saat menjamu Hellas Verona (25/10) yang kebetulan berakhir dengan skor 1-1 juga.

Ronaldo yang makin gaek tentu mulai mengalami dekadensi. Wajar bila ia minta diparkir sejenak buat memulihkan energi.

Kesempatan untuk bermain dengan rekan-rekannya di sektor depan yang bugar, mulai dari Federico Bernardeschi, Federico Chiesa, Kulusevski, dan Morata, justru tak menghasilkan apa-apa. Padahal, Dybala bisa mencuri perhatian utama saat Ronaldo absen.

Alih-alih tampil elok, ia justru teralienasi saat masuk kotak penalti. Ia seperti jauh dari rekan-rekannya dan terkesan memaksakan diri melakukan giringan-giringan ciamik ala Lionel Messi guna mengkreasikan peluang yang hasilnya nol besar.

Jadi, siapa sebenarnya pasangan yang bisa satu hati dan satu tujuan dengan Dybala di lini serang Juventus? Kalaupun ada, sanggupkah mereka tampil secara konsisten dan rajin mencetak gol?

Kedua, dan ini jelas terikat dengan yang pertama. Sebagai fans, saya melihat kadar kepercayaan diri yang menurun dari La Joya. Semangat atau motivasi memang abstrak sifat dan bentuknya. Namun dari pengamatan saya, hal tersebut bisa diukur dari cara mengkreasikan atau mengeksekusi peluang karena inti keberadaan Dybala di skuad I Bianconeri adalah untuk mencetak gol.

Saya yakin, Juventini masih ingat dengan jelas bagaimana tiga peluang emas yang didapat Dybala tak satupun yang sukses dikonversi menjadi gol saat bertemu Benevento.

BACA JUGA:  Prakiraan Skenario Taktikal Final Liga Champions 2015

Khusus peluang yang berasal dari backheel Morata, 99 persen saya merasa itu akan masuk lantaran posisinya benar-benar emuk bagi pemain kidal seperti Dybala. Kiper lawan sudah mati langkah, tak ada bek yang berpotensi melakukan blok dan, ah, sudahlah.

Sisa dua peluang lainnya (satu tertepis dan satu tendangan bebas di titik favorit Dybala yang eksekusinya justru terbang tinggi sampai ke planet Mars) menambah rona kekecewaan. Sudah semandul itukah Dybala? Mungkinkah ketajaman Morata akhir-akhir ini menggerogoti habis kepercayaan dirinya yang sudah memasuki musim keenam di Stadion Allianz?

Ketiga, dan ini sedikit beraroma pembelaan. Sebenarnya secara keseluruhan performa Juventus masih jauh dari kata luar biasa. Euforia yang dijanjikan Pirlo terkait bermain dengan antusiasme tinggi dan bola-bola pendek lagi cepat memang kadang muncul, tetapi lebih sering tidak.

Meraup lima hasil imbang dari sembilan laga, di mana ada nama seperti Crotone, Hellas Verona dan Benevento di deretan tersebut bukanlah pertanda yang menjanjikan.

Pirlo masih terus mencari komposisi terbaik, utamanya di lini tengah. Terlepas dari faktor absensi pemain, bongkar pasang ini menyiratkan formulasi terbaik I Bianconeri belum jua ditemukan. Dybala, lagi-lagi menanggung beban ganda yakni mendongkrak performa pribadi ditambah kewajiban menjadi salah satu solusi untuk tim (baru) yang belum kelewat padu.

Meski perjalanan masih begitu panjang dan kans untuk memperbaiki performa tetap ada, saya tak ingin berharap lebih. Dalam laga Liga Champions kontra Dynamo Kiev dini hari tadi (3/12), Dybala bahkan tak diturunkan sama sekali karena Pirlo lebih memilih tandem Morata dan Ronaldo. Duet itu sendiri bikin dua dari tiga gol kemenangan I Bianconeri.

Bayangan Ronaldo senantiasa menghantui, statistik Morata selalu bikin gigit jari saat berkaca melihat diri. Ditambah derasnya kritikan yang terus mengalir, saya benar-benar takut sembari belajar ikhlas merelakan. Ya, kalau musim ini adalah episode terakhir Dybala mengenakan baju hitam-putih, kelak saya takkan kecewa berkepanjangan.

Komentar
Penulis bisa dihubungi melalui akun Twitter @alfansuhandi