Beberapa waktu lalu, lini masa diramaikan oleh video Bayu Gatra yang bermain dalam sebuah pertandingan sepakbola antarkampung (tarkam). Diselimuti hujan deras, Bayu terlihat gusar karena para penonton merangsek ke tengah lapangan.
Menurut pengakuannya, itu adalah pertandingan uji coba antara Predator FC melawan Bedadung FC. Laga itu sendiri digelar di Lapangan Antirogo, Jember, Jawa Timur. Bayu memperkuat tim yang disebut pertama. Sayangnya, kericuhan terjadi menjelang akhir laga saat tim yang diperkuat Bayu tengah unggul 1-0.
Pemain PSM tersebut bukanlah nama pertama yang menjadi sorotan karena beraksi dalam pertandingan tarkam.
Sebelumnya, ada Saddil Ramdani yang juga jadi perbincangan publik karena melakukan hal serupa. Bedanya, Saddil belum sempat bertanding. Ia menuturkan kalau pertandingan tidak jadi dilaksanakan karena satu dan lain hal. Namun video sudah telanjur viral dan menuai beragam respons dari masyarakat, khususnya pencinta sepakbola nasional.
Selain tarkam, ada hal lain yang juga dilakukan para pemain untuk menyiasati ketidakjelasan perihal kompetisi sepakbola Indonesia di tahun ini.
Asri Akbar misalnya, gelandang Persija itu mengandalkan uang tabungannya untuk meyambung hidup. Cerita lain datang dari Bagus Nirwanto. Kapten PSS ini sempat banting setir jadi penjual beras selama pandemi Covid-19. Namun, hal itu hanya dilakukannya dalam waktu singkat.
“Waktu pandemi libur lima bulan pertama, saya sempat jual beras. Usaha jual beras kemarin sebenarnya buat coba-coba saja. Tetapi sekarang sudah tidak lagi,” ungkapnya seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Meski kompetisi berhenti, pemain sejatinya masih mendapat gaji sebesar 25% dari nilai total yang didapatkannya dalam masa normal seperti kesepakatan yang dibuat Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) dengan federasi sepakbola Indonesia (PSSI). Meski jumlahnya kecil, paling tidak para pemain masih mendapatkan hak mereka karena memiliki perjanjian kerja dengan klub.
Akan tetapi, seperti apa praktiknya juga samar. Sudahkah seluruh klub di tanah air memenuhi kewajibannya sesuai regulasi atau justru sebaliknya? Cuma pemain dan pengurus klub saja yang tahu. Toh, bukan rahasia lagi kalau mayoritas klub sepakbola di Indonesia punya masalah dalam hal finansial dan tata kelola.
Mesti diakui, kegiatan para pemain dalam menyambung hidup tersebut adalah dampak dari pemberhentian kompetisi. Selain pandemi Covid-19 yang masih terus mengganggu Indonesia, perizinan dari pihak Kepolisian untuk menggelar pertandingan sepakbola juga tak kunjung turun.
Berkaca ke negara tetangga, Indonesia memang tertinggal jauh. Malaysia tetap menyelesaikan kompetisinya walau dalam format khusus. Pun dengan Thailand yang membereskan kompetisinya lebih cepat dari biasanya. Berkali-kali pihak PSSI mengajukan izin kepada pihak Kepolisian, berkali-kali juga mereka menolak.
Bila pandemi Covid-19 yang dijadikan alasan buat menekan adanya kerumunan massa, maka segalanya jadi bias. Pasalnya, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan organisasi masyarakat (ormas) dan dihadiri banyak orang tetap berjalan.
Begitu pula dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang diselenggarakan di sejumlah wilayah secara serentak. Para pasangan calon seakan tidak menemui hambatan kala mengumpulkan massa di satu tempat tertentu guna melakoni kampanye. Ironisnya, semua pihak mengklaim bahwa aktivitas-aktivitas tersebut sudah mematuhi protokol kesehatan yang ada.
Para pemangku kepentingan tampak adem ayem melihat fenomena tersebut. Mereka baru berkoar setelah warganet ramai-ramai melayangkan kritik di media sosial.
Anehnya, ketika sepakbola nasional masih diliputi kesimpangsiuran, menyeruak kabar bila Ketua Umum PSSI saat ini, M. Iriawan, sedang melakukan gerilya politik buat memperebutkan kursi nomor satu di Jawa Barat pada Pilkada 2023.
Ketidaktegasan para pemangku kepentingan dalam menerapkan kebijakan perihal pandemi harus segera disudahi. Akui saja bila fokus utama sehingga kompetisi berhenti dan tak adanya izin Kepolisian untuk pertandingan sepakbola disebabkan oleh kepentingan politik banyak pihak dalam tajuk Pilkada.
Harus diakui, kalau tidak ada yang lebih penting di negeri ini selain kepentingan politik. Imbauan Presiden Joko Widodo kepada Menteri Pemuda dan Olahraga guna membenahi sepakbola cuma buaian belaka.
Hingga kini, kelanjutan kompetisi senantiasa berkutat pada waktu penyelenggaraan. Ada yang menyebut bahwa bulan Januari atau Februari 2021 bisa dilaksanakan kembali. Namun itu pun belum pasti karena banyak ganjalan yang terus menerpa. Keadaan ini semakin memperlihatkan bahwa sepakbola Indonesia dikelola seperti dagelan semata.
Andai situasi masih sama atau kian memburuk, kompetisi terancam tak dilanjut. Apalagi ajang Piala Dunia U-20 yang seharusnya diputar pada 2021 nanti di Indonesia sudah resmi diundur oleh pihak FIFA ke tahun 2023.
Kondisi itu sepatutnya jadi perhatian serius PSSI dan PT. Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator kompetisi. Jika lanjutan kompetisi musim 2020 gagal dilaksanakan, paling tidak, mereka harus mampu menjamin kalau kompetisi sepakbola nasional untuk musim 2021 dapat diselenggarakan.