Sepp Blatter dan Michel Platini dihukum oleh FIFA tidak boleh beraktivitas dalam sepak bola selama delapan tahun dan didenda masing-masing 50 ribu dollar AS serta 80 ribu dollar AS. Keduanya dinilai bersalah oleh komite etik FIFA terkait dengan aliran dana senilai dua juta dollar AS kepada Platini pada 2011.
Ketika Blatter dihukum, tak banyak yang meragukannya punya banyak dosa bagi sepak bola. Tapi, bagaimana dengan Platini?
Platini adalah seorang pesepak bola yang brilian. Dia memimpin Prancis menjuarai Euro 1984. Kiprahnya bersama Juventus adalah salah satu periode terbaik bagi pendukung Si Nyonya Tua. Dia pun dianugerahi European Footballer of the Year sebanyak tiga kali.
Saat mulai berkiprah di organisasi sepak bola, Platini memperoleh jalan lapang untuk memimpin UEFA. Federasi sepak bola negara-negara Eropa ini dipimpinnya sejak tahun 2007. Setiap ada pemilihan kembali, namanya tak tertandingi.
Kala orang sudah semakin muak dengan kepemimpinan Blatter yang penuh dengan intrik korupsi, namanya muncul sebagai garda terdepan untuk melengserkan sang raja dari Swiss itu. Platini bahkan mengancam akan memboikot Piala Dunia. Apa jadinya Piala Dunia tanpa negara Eropa yang merajai tiga edisi perhelatan sepak bola terakbar itu?
Nyatanya, Platini sama saja dengan Blatter. Dia pesepak bola yang brilian tapi bukan politisi yang jujur. Dia sudah bekerja untuk Blatter sejak 25 Agustus 1999. Keberhasilan Platini melengserkan Lennart Johanson dari tampuk kepemimpinan UEFA tak lepas dari peran Blatter.
Jika saja Platini bisa menggantikan posisi Blatter, itu bukan kemenangan sepak bola melainkan keberhasilan melanggengkan sebuah dinasti yang menggerogoti sepak bola dengan berbagai skandal. Perlu diketahui, Blatter adalah penerus dari Joao Havelange, orang yang berkuasa di FIFA selama 24 tahun dan tak pernah lepas dari dugaan korupsi.
Kondisi yang sama sebenarnya juga terjadi di sepak bola Indonesia. Ketika seluruh suporter menggulingkan Nurdin Halid, apa lantas kita memilih pemimpin dengan benar?
Saya rasa kita melakukan kesalahan jika mengamini pernyataan bahwa Djohar Arifin adalah pemimpin yang baik. Seperti yang kita ketahui bersama, di bawah tampuk kepemimpinannya liga terbagi menjadi dua dan dualisme klub tak terhindarkan bahkan ada beberapa klub yang terbelah menjadi tiga. Dugaan pengaturan skor tetap langgeng jika tak bisa disebut semakin merajalela.
Sederhananya, ada kesalahan dalam pengelolaan sepak bola Indonesia. Efeknya melebar ke mana-mana dan hingga kini tak tertangani. Mulai dari dugaan jual beli pertandingan, gaji pemain yang tak terbayarkan, konflik antarsuporter yang memakan korban jiwa, dan tentunya prestasi timnas yang makin suram meski Tuhan dengan baik hati memberi kita gelar juara Piala AFF U-19.
Lalu, kita disodori La Nyalla Mattaliti (LNM). Hasilnya? PSSI dibekukan bahkan sehari sebelum dirinya terpilih.
Walaupun kemudian mendaku dirinya sebagai ketua umum atau Presiden PSSI pun, LNM tak bisa berbuat apa-apa di sepak bola. Setidaknya itu yang bisa kita lihat. Entah dengan bagaimana pergerakan tak terlihatnya.
Belajar dari apa yang terjadi di FIFA, mulai kini sebaiknya kita tak berpikir bahwa pergantian tampuk kekuasaan akan membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik karena pesepak bola yang brilian pun belum tentu baik ketika memimpin organisasi sepak bola. Juga untuk tidak terjebak pada euforia pemimpin baru.
Karena bisa jadi, sang (calon) pemimpin baru sama busuknya dengan yang lama.