Soal Kompaksi dan Beberapa Contoh dari Pertandingan Akhir Pekan Lalu

Kompaksi. Itu kata kunci dalam tulisan ini. Dalam bahasa Inggris, kompaksi sama dengan compactness. Menurut Tom Payne dalam sebuah tulisannya di Spielverlagerung, definisi sederhana compactness adalah jarak yang terjaga antara dua pemain terjauh, baik secara horizontal maupun vertikal. Makin terjaga (dekat) jarak tersebut, makin mudah sebuah tim mengontrol permainan lawan sekaligus mendikte taktik sendiri pada tim lawan. Sesederhana itu prinsipnya. Bila Anda masih asing dengan kata compactness, untuk sedikit mempermudah pemahaman tentang kompaksi anda bisa menggunakan kata “kepadatan”.

Yang jadi pertanyaan berikut terkait kompaksi bentuk adalah, berapa jarak ideal agar sebuah tim disebut memiliki kompaksi yang baik? Dalam tulisan yang sama, Tom Payne menyebutkan bahwa kompaksi bentuk sudah seharusnya diukur terhadap bagaimana lawan menampilkan formasinya. Kompaksi formasi tim harus diukur terhadap pengambilan posisi masing-masing pemain lawan. Lebar-rapat atau tinggi-rendah blok permainan dan jarak vertikal yang tepat sangat bergantng pada bagaimana lawan mengatur bentuk horizontal dan vertikalnya.

Untuk memperjelas pembahasan soal kompaksi, saya ambil beberapa contoh dari partai-partai matchweek kemarin (Sabtu sampai Senin dini hari, 17-19 Mei 2015).

Lille vs Marseille menit ke-3. Dimitri Payet memilih memberikan umpan langsung pada Andre Pierre Gignac.

Selalu ada sisi lain dari sebuah eksekusi taktik. Saat Anda melepaskan umpan atau tembakan, selalu ada lebih dari satu opsi lain yang tidak Anda ambil. Itulah yang terjadi terhadap garis-garis biru yang terlihat dalam diagram di atas. Garis-garis tersebut merupakan indikasi arah umpan andai saja Dimitri Payet mencoba memilih jalur lain. Garis-garis tersebut merupakan asumsi bila Payet mencoba memindahkan permainan dari sisi kanan ke sisi lain (kiri).

Sekilas, Lille tampak mampu menjaga kompaksi formasi bertahan mereka. Tetapi, kalau dilihat lebih dekat, ada dua permasalahan di sini. Pertama, pada Rio Mavuba yang mengambil posisi terlalu jauh dari Payet. Sejak Payet mengontrol bola dalam kesempatan pertama sampai ia melepaskan umpan, pengambilan posisi Mavuba tidak berubah (tidak ada kontrol ruang berarti pada Payet). Masalah kedua ada pada Sofiane Boufal. Posisi Boufal ke Alaixys Romao juga sedikit jauh. Bila saat itu Payet memberikan umpan pada Romao, sangat mungkin Boufal terlambat menghentikannya karena posisinya yang sedikit terlalu jauh dari Romao.

Berikut diagram lain yang memperlihatkan buruknya kesinambungan pressing blok tinggi Lille pada pemain-pemain Marseille.

Rendahnya kompaksi vertikal pressing Lille

Lille menempatkan presser utama pada pemain Marseille yang menguasai bola. Dalam hal ini, Nolan Roux, Divock Origi, dan Florian Balmont bisa dikatakan sebagai presser utama. Dalam berbagai formasi pressing selalu ada yang namanya cover, yaitu pemain-pemain yang bertugas menjadi backup untuk presser utama, bila pemain yang di-press mampu meloloskan diri. Kebanyakan tugas mereka berjaga di area sekitar pressing dilakukan, berdiri pada area ke mana sekiranya bola atau pemain lawan mungkin bergerak (akibat di-press). Untuk presser-cover, kita bisa liat ada Mavuba, Rony Lopes, dan Roufal. Masalah terjadi ketika Roufal yang meng-cover pergerakan Imbula diintervensi oleh Romao yang bergerak searah dengan arah gerak Imbula. Hal ini menciptakan situasi 2v1 bagi keuntungan Marseille. Pasifnya Lopes dan Mavuba juga makin membuat keadaan tidak makin baik. Rendahnya kompaksi vertikal pressing Lille mampu dimanfaatkan pemain-pemain Marseille untuk meloloskan diri.

Berbicara soal kompaksi, tidak sah rasanya jika tak mengikutsertakan Atletico de Madrid dan Monaco. Tanpa melibatkan dua tim tersebut, pembicaraan kompaksi tidak akan pernah lengkap. Bila Anda mengagumi taktik Simeone, sudah seharusnya Anda melihat bagaimana Monaco bermain. Bagi saya, Monaco merupakan replikasi paling tepat dari bagaimana Atletico (juga Chelsea) memainkan pertahanan rapat (baik horizontal maupun vertikal).

Menit ke-1 Atletico de Madrid vs Barcelona: Atletico de Madrid merupakan contoh yang sangat baik tentang bagaimana menjaga kompaksi vertikal dan horizontal. Pergerakan formasi mereka berorientasi pada pergerakan bola. Hal tersebut menjadi salah satu sebab kenapa formasi bertahan Atletico sangat rapat (narrow). Mereka bergerak secara kolektif dengan berpatokan pada arah gerak bola.

Bentuk pertahanan yang terlihat dalam diagram di atas bisa dikatakan sebagai formasi tanpa striker, 4-4-2-0. Sepuluh pemain turun ke bawah membentuk formasi bertahan yang sangat rapat. kompaksi vertikal (gap antara dua lini) sangat terjaga. Empat bek sejajar di-cover oleh empat gelandang di depannya. Secara horizontal, nyaris tidak ada gap di sana. Dengan bermain narrow seperti ini, secara alami Atletico akan mampu menutup celah horizontal (channel).

Gelandang-gelandang yang berdiri di depan lini belakang memosisikan diri di antara dua bek. Artinya, mereka menjaga celah (channel) antara dua bek yang mungkin bisa dieksploitasi lawan. Tiga pemain Atletico di sisi kiri pertahanan, membentuk formasi pressing 3v3 dan coba mengisolasi Lionel Messi, Neymar, dan Ivan Rakitic, sementara Fernando Torres bertindak sebagai cover di tengah, bersiap membantu bila ada pergerakan dari Andres Iniesta di kanan dalam atau Jordi Alba di sisi kanan luar.

Pada partai lain, di saat yang bersamaan, Real Madrid menghadapi Espanyol. Gol pertama Real Madrid lahir dari kaki Cristiano Ronaldo. Gol ini memperlihatkan bagaimana usaha satu tim meningkatkan kompaksi bentuk sekaligus merusak kompaksi bentuk tim lawan.

Benzema turun ke bawah untuk meningkatkan kompaksi formasi Real Madrid dalam sebuah transisi menyerang

Diagram di atas merupakan asal mula gol Real Madrid ke gawang Espanyol. Proses gol ini sekaligus membuktikan bahwa kompaksi bertahan berada dalam titik terlemah pada saat transisi bertahan – ketika lawan melakukan serangan balik mendadak. Pepe yang berhasil memotong bola segera mengarahkan bola ke area kosong (elips merah muda). Perhatikan jarak antara tiga bek Espanyol dengan lini tengahnya serta empat pemain Real Madrid di sepertiga pertahanan Espanyol (terciptanya 4v3 untuk Real Madrid).

Karim Benzema yang dikenal sebagai false nine handal, sekali lagi menunjukan peran besarnya terhadap keberhasilan serangan Madrid. Seperti biasa, sebagai false nine, Benzema selalu bergerak secara horizontal ke sisi sayap atau bergerak secara vertikal (drop off/turun ke bawah) mengisi area no. 10. Dalam kesempatan ini, ia bergerak ke bawah mengisi area no. 10 untuk menjemput bola. Hal ini menciptakan situasi 4v3 yang menguntungkan Real Madrid dan diakhiri dengan sebuah gol oleh Ronaldo lewat asis Benzema.

Kembali ke Ligue 1, sebuah pertandingan menarik juga terjadi di Monaco. Partai yang mempertemukan Monaco vs Metz ini mempertemukan dua tim yang sama-sama memainkan sepakbola cepat dengan transisi menyerang yang cepat pula. Sama-sama menampilkan formasi 4-2-3-1/4-4-2, keduanya juga memiliki cara main yang identik. Menjaga area tengah saat diserang dan melakukan touchline pressing dengan intensitas tinggi. Hampir sepanjang pertandingan, kedua tim mampu menjaga kompaksi vertikal dan horizontal dalam formasi masing-masing.

Namun, ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari pertandingan ini, terutama hal-hal yang berpotensi menimbulkan dampak negatif bila tidak dikelola dengan tepat. Perhatikan beberapa gambar dan diagram di bawah.

Geoffrey Kondogbia meninggalkan posnya di area no. 6 untuk melakukan pressing di area depan. Kompaksi vertikal jadi masalah dalam situasi ini.

Apa yang dilakukan Kondogbia dan rekan-rekannya yang lain benar-benar berisiko karena ia meninggalkan area krusial dalam sistem permainan Monaco, yakni area tengah. Walaupun dalam kesempatan ini keputusannya tepat, tetapi Monaco tetap perlu memperhatikan keping yang hilang dalam situasi ini, yakni position interchanging atau pertukaran posisi antar pemain. Saat Kondogbia melakukan pressing ke atas, tidak ada pemain Monaco yang mengisi posisinya. Ini berbahaya apabila ternyata Metz (atau lawan-lawan Monaco lainnya) mampu menggagalkan maksud Kondogbia dan menyerang balik Monaco lewat area tengah yang terlanjur kosong.

Lagi-lagi, celah vertikal di pertahanan Monaco. Kompaksi vertikal kembali jadi masalah bagi duo central midfielder Monaco, terutama pada Kondogbia yang punya karakter bermain sebagai gelandang box-to-box.

Monaco yang saya sebut memiliki level kompaksi vertikal dan horizontal sebaik Atletico Madrid ternyata meninggalkan banyak celah dalam pertandingan ini. Lantas di mana letak perbedaannya? Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang alami mengingat Monaco bermain jauh lebih terbuka ketimbang apa yang mereka tampilkan saat menghadapi Juventus, misalnya. Dalam pertandingan ini, Monaco (bersama Marseille) sama-sama berebut peringkat ketiga (jatah Liga Champions). Merupakan sebuah keharusan bagi Monacoo untuk memastikan tiga poin penuh. Terlebih, pertandingan ini dimainkan di kandang sendiri.

Dari banyak indikasi negatif dalam pertahanan Monaco, bukan berarti Monaco bermain buruk. Pada banyak kesempatan, mereka menunjukkan beberapa momen brilian. Ini salah satunya. Sebuah pressing trap di pertahanan Monaco.

Kompaksi vertikal dan horizontal dalam pertahanan Monaco yang juga menolong Toulalan memainkan pressing trap dengan tepat.

Saya lebih suka menyebut situasi ini dengan situasi 7v5 untuk Monaco. Secara alami, baik bentuk maupun jumlah pemain yang ada telah membantu Monaco membentuk kompaksi horizontal dan vertikal yang tepat. Kompaksi vertikal dimanfaatkan secara maksimal oleh Jeremy Toulalan yang berada dalam mode pressing trap. Jika Janis Ikaunieks memilih mengumpan pada Malouda, Toulalan berada dekat dengannya dan sangat mungkin memotong umpan dengan segera. Bila Ikaunieks memilih memberikan umpan pada Cheick Doukore pun, Toulalan (dan juga Kondogbia) berada dalam radius yang tepat untuk memotongnya. Pada akhirnya, bola diberikan pada Doukore, Toulalan bergerak tepat waktu dan memotong umpan Ikaunieks pada Doukore.

Gol pertama Monaco terjadi karena pemain-pemain Metz lengah saat Monaco mendapatkan lemparan ke dalam. Dalam situasi hilang fokus, para pemain belakang Metz membuka celah horizontal yang terlalu besar dan menyebabkan Bernardo Silva mendapatkan ruang untuk berhadapan langsung dengan Vincent Enyeama (kiper Metz).

Gap horizontal (channel) akibat kelengahan sesaat

Kesimpulan

Dengan menjaga kompaksi (vertikal dan horizontal), sebuah tim memiliki banyak keuntungan taktis. Kompaksi berarti menjaga jarak agar tetap dekat dengan berpatokan pada dua pemain terjauh satu dengan yang lain. Kompaksi bisa diciptakan ketika satu atau lebih pemain mendekati satu pemain lain, sehingga jarak di antara mereka menjadi lebih dekat. Cara lain menciptakan kompaksi yang lebih baik adalah dengan menciptakan situasi superioritas jumlah pemain. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meminta pemain dari satu lini masuk ke lini lainnya. Contohnya, penyerang yang turun ke bawah masuk ke lini tengah (false nine), atau gelandang bertahan di area no. 6 yang tuutun menjemput bola ke lini pertahanan.

Tujuan dari semua ini adalah untuk mendapatkan akses penguasaan bola yang lebih baik, sehingga diharapkan, tim akan lebih memiliki kontrol terhadap pertandingan dan lawan. Di sisi lain, dilihat dari sisi bertahan, kompaksi juga dapat meningkatkan soliditas pertahanan. Contohnya dapat dilihat pada diagram pertahanan Monaco di atas. Dalam diagram yang memperlihatkan kompaksi pertahanan Monaco, para pemain bertahan memiliki dua keuntungan, yakni kemudahan membentuk pressing trap dan menutup akses bagi lawan.

 

Post Scriptum:

Untuk memudahkan memahami bahasan tentang kompaksi ini, baca juga dua tulisan Qo’id Naufal tentang kompaksi dan overload.

 

Komentar

This website uses cookies.