Steven Gerrard mengakhiri kariernya sebagai pemain Liverpool pada laga yang berakhir memalukan. Atas kekalahan ini, banyak pihak yang kemudian mempertanyakan kapabilitas Brendan Rodgers sebagai juru taktik The Reds. Namun, ada satu hal yang lepas dari pengamatan. Salah satu faktor dari buruknya penampilan Liverpool justru disebabkan oleh Steven Gerrard sendiri.
Susunan pemain
Brendan Rodgers menggunakan skema 4-3-1-2 dengan Steven Gerrard sebagai pemain no. 10 di belakang dua false nine, Adam Lallana dan Philippe Coutinho. Sementara itu, Raheem Sterling hanya duduk di bangku cadangan. Posisi fullback kanan yang ditempati oleh Emre Can menunjukkan adanya krisis pemain di posisi ini. Performa Glen Johnson – yang beberapa tahun belakangan menjadi andalan – kini angin-anginan. Mamadou Sakho kembali mengisi starting lineup setelah mengalami cedera.
Mark Hughes kembali menggunakan skema andalannya, 4-1-4-1/4-2-3-1. Skema yang digunakan Hughes ini cukup fleksibel di mana Charlie Adam dapat bergantian antara bermain sebagai no. 10 atau no. 8 – sejajar dengan Steven N’Zonzi – tergantung pada fase permainan. Glenn Whelan berada di belakang keduanya sebagai pemain no. 6. Secara keseluruhan, tidak ada kejutan pada susunan pemain yang diturunkan Mark Hughes.
Mobilitas Gerrard
Penempatan Gerrard di posisi no. 10 sebenarnya bukanlah hal yang asing. Pada musim 2008/09 di mana ia mencetak 16 gol di liga – raihan tertingginya – dirinya bermain di belakang seorang penyerang. Namun, hal ini menjadi sesuatu yang mengejutkan mengingat mobilitasnya menurun jauh dibandingkan dengan enam tahun yang lalu. Terlebih, pada pertandingan ini Rodgers menggunakan skema 4-3-1-2 di mana mobilitas menjadi hal kunci bagi pemain yang mengisi pos no. 10. Mobilitas ini berguna ketika Liverpool harus melakukan pressing.
Dalam formasi 4-3-1-2 ini, pressing harus menjadi aktor dominan bagi Liverpool ketika kehilangan bola. Progresi bola lawan harus ditekan sehingga memaksa lawan untuk mengirim umpan lambung ke depan. Hal ini disebabkan karena lini tengah Liverpool hanya memiliki tiga gelandang. Ketika Stoke City mampu melakukan progresi ke tengah dengan mudah maka beban zonal coverage yang dimiliki tiga gelandang Liverpool sangat besar, terutama Lucas Leiva.
Beban zonal coverage dalam satu garis horizontal idealnya ditanggung oleh empat pemain, di mana keempat pemain ini akan memiliki maksimal dua beban zonal coverage yang terdiri dari dua koridor vertikal. Misalkan pada skema pressing 4-4-2, sayap kanan akan memiliki beban zonal coverage di area sayap kanan dan halfspace kanan, gelandang kanan di area halfspace kanan dan area sentral, gelandang kiri di area halfspace kiri dan area sentral serta sayap kiri di area halfspace kiri dan sayap kiri. Dengan demikian, kompaksi akan tetap terjaga sementara akses ke masing-masing koridor dapat dijangkau dengan beban zonal coverage seminimal mungkin. Umumnya, zona sayap ini merupakan area untuk mengisolasi pemain lawan karena opsi di area ini sangat sedikit dibandingkan dengan halfspace dan area sentral.
Jika hanya menggunakan tiga pemain dalam satu lini pressing, maka beban zonal coverage-nya akan bertambah terutama pemain yang mengisi pos no. 6. Oleh karena itu, dalam sistem pressing yang menggunakan tiga pemain dalam satu lini pressing semacam ini, pressing yang kontinu dari lini depan menjadi hal yang wajib dilakukan. Pressing ini ditujukan untuk segera mengarahkan permainan lawan ke zona sayap dan sesegera mungkin untuk mengisolasinya sehingga progresi bola mereka akan nihil. Di sini, peran pemain no. 10 sangat penting untuk menjaga agar timnya selalu mendapatkan akses pressing. Oleh karena itu, mobilitas seharusnya menjadi atribut utama pemain yang berada di pos no. 10.
Strategi Rodgers
Namun, alih-alih memberikan pressing yang kontinu, Rodgers justru menggunakan pressing situasional di areanya sendiri. Harapannya, Liverpool dapat mempertahankan blok yang kompak tanpa terekspos melalui bola-bola yang diarahkan langsung di belakang lini pertahanan. Di sini, lagi-lagi mobilitas seorang pemain yang berada di pos no. 10 sangat dibutuhkan. Pemain di pos ini sangat dibutuhkan untuk memotong jalur perpindahan bola serta memberikan bantuan untuk meng-cover ruang bersama no. 6 yang diperankan Lucas.
Pada momen pertama (1) seperti terlihat pada gambar di atas, Geoff Cameron yang berada di sisi lapangan tidak diisolasi dengan baik oleh mekanisme pressing Liverpool. Dirinya dapat dengan mudah memberikan umpan ke Adam yang merupakan titik perpindahan bola Stoke. Pada momen kedua (2), terlihat hanya Lallana yang memberikan tekanan terhadap Adam. Sementara itu, Gerrard justru berdiri di belakang Whelan sehingga Adam dapat dengan mudah melakukan pemindahan bola.
Pada momen ketiga (3), terlihat N’Zonzi dengan mudah mampu membantu Erik Pieters dan Marko Arnautovic memberikan overload terhadap Jordan Henderson dan Lucas. Sementara itu, Coutinho sama sekali tidak memberikan tekanan kepadanya. Pada momen terakhir (4), Charlie Adam yang sebelumnya menjadi titik perpindahan bola mampu bergerak ke zona 5 tidak terkawal. N’Zonzi yang sebelumnya memberikan overload terhadap Henderson dan Lucas dengan mudah memberikan umpan ke Adam.
Situasi-situasi semacam inilah yang membidani terjadinya gol-gol yang dicetak oleh Stoke pada babak pertama. Gol-gol tersebut tercipta akibat buruknya kompaksi spasial Liverpool di mana Lucas harus meng-cover ruang ekstra di lini tengah. Gol ketiga dan keempat yang dicetak Stoke memang hasil dari kesalahan di lini pertahanan, namun bila diamati lebih jauh lagi, gol ketiga dan keempat ini berawal dari kegagalan Liverpool dalam mengisolasi permainan Stoke ketika berada di sisi lapangan. Di sini, mobilitas Gerrard menjadi salah satu faktor buruknya kompaksi spasial Liverpool.
Tim lain yang menggunakan skema 4-3-1-2 adalah Juventus. Bedanya dengan Liverpool, La Vecchia Signora kerap menempatkan Arturo Vidal di pos no. 10. Mobilitasnya yang sangat baik membuatnya mampu membuat pressing Juve lebih terkoordinasi. Selain itu, dalam beberapa fase tertentu, dirinya turun lebih dalam dan menemani Pirlo untuk meng-cover area sentral. Contoh teraktual adalah saat mereka menahan imbang Real Madrid di Santiago Bernabeu.
Perubahan ke 3-5-2
Pada babak kedua, Rodgers melakukan perubahan dengan memasukkan Kolo Toure untuk menggantikan Emre Can serta Jordon Ibe menggantikan Alberto Moreno. Skema yang semula 4-3-1-2 berubah menjadi 3-5-2. Gerrard dan Coutinho berduet di lini depan sedangkan Lallana bergeser ke pos wingback kanan.
Dengan skema ini, kestabilan pertahanan Liverpool menjadi lebih terjaga. Kedua wingback Liverpool mampu memberikan bantuan zonal coverage ke lini tengah. Dengan demikian, akses ke masing-masing koridor vertikal dapat dilakukan dengan beban zonal coverage seminimal mungkin. Sementara itu, ketika permainan Stoke sedang berada di sisi lapangan, keberadaan kedua halfback Liverpool mampu membantu mengisolasi pemain Stoke. Namun sayangnya, pada menit-menit akhir pertandingan ketika Lallana meninggalkan zonal coverage-nya untuk mencegah Asmir Begovic mengulur waktu justru membuat Liverpool kembali kebobolan.
Kesimpulan
Kekalahan ini membuat isu pemecatan Rodgers semakin kencang. Salah satu permasalahan strategis yang dihadapi Liverpool sebenarnya merupakan wabah yang menjangkiti kultur sepak bola di Inggris. Masalah tersebut adalah kompaksi. Tim sebesar Manchester City pun masih memiliki masalah seperti ini. Meskipun demikian, semua keputusan pemilihan strategi, taktik, dan susunan pemain ada di tangan Rodgers. Jadi, apakah pantas Brendan Rodgers didepak dari Liverpool? Nantikan ulasan kami selanjutnya mengenai evaluasi kinerja Brendan Rodgers berdasarkan profil taktik Liverpool selama musim 2014/15 ini.