Kisah tentang cinta selalu menjadi tema menarik untuk dibicarakan. Entah itu berupa romantisasi, perjuangan, kesetiaan, rasa sakit, tangis hingga pengkhianatan. Saya pun teringat lagu kepunyaan Rhoma Irama yang berjudul Kata Pujangga. Salah satu potongan lirik dari lagu tersebut berbunyi, “hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga”.
Saat menulis lagu itu, sang ksatria bergitar tampaknya sadar betul kalau cinta adalah bunga (penuh warna) yang menghiasi kehidupan manusia. Kenyataannya, cerita tentang cinta jadi produk yang sangat mudah dijual, lebih-lebih di Indonesia. Baik kisah tersebut berakhir manis atau malah tragis.
Tak percaya? Tengok saja judul-judul Film Televisi (FTV) yang berseliweran di sejumlah kanal. Apa tema utamanya? Cinta, dong. Saking gemarnya menjual kisah cinta, sampai-sampai judul FTV tersebut terasa begitu tidak masuk akal. Mulai dari “Cintaku Digoyang Penyanyi Dangdut” hingga “Aku Jatuh Cinta Pada Pepohonan Kering yang Awalnya Kukira Oppa Korea”.
Diakui atau tidak, cinta adalah sesuatu yang tak pernah ada cukupnya untuk dijelaskan. Kadar cinta juga selalu berbeda di setiap kisahnya. Ada yang tidak rasional dan begitu gegabah hingga manis seperti di dunia mimpi, semuanya aman terkendali. Namun bagi saya pribadi, tidak ada kisah cinta yang sehebat cinta para suporter sepakbola kepada tim kesayangan atau negaranya.
Sepakbola memang punya kaitan erat dengan kisah cinta. Turun naik perasaan antara jatuh cinta dan patah hati kadang berkelindan dalam satu pertandingan saja, sungguh singkat.
Seorang suporter bisa kehilangan semangat dalam mengawali hari dan uring-uringan cuma karena tim kesayangannya tumbang di satu pertandingan yang berlangsung malam atau dini hari sebelumnya. Terlihat sepele dan penuh drama, tapi begitulah kenyataannya.
“When you start supporting a football club, you don’t support it because of the trophies, or a player, or the history. You support that club because you found yourself somewhere there, you found a place where you belong”.
Itulah kalimat yang dilontarkan legenda Arsenal, Dennis Bergkamp, mengomentari rasa cinta yang acapkali tumbuh di dada para suporter. Mencintai sebuah klub sepakbola memang tak butuh alasan eksak. Ada yang rasa cintanya diawali oleh prestasi klub tersebut, pemain yang kemampuannya eksepsional, fanatisme kedaerahan atau sekadar warna kostumnya merupakan warna kesukaan.
Akan tetapi, seiring dengan laju waktu yang tak mau tahu pada apapun, rasa cinta itu tumbuh dengan suburnya. Membuat segala alasan tadi menguap begitu saja sehingga yang dianggap penting hanyalah lambang di dada. Bukan tentang siapa atau karena apa.
Banyak suporter sepakbola yang sering bertindak di luar nalar. Misalnya dengan menggunakan uang tabungan hanya untuk sekadar membeli seragam orisinal atau tiket pertandingan yang harganya bikin dompet menjerit, datang ke stadion yang jaraknya hampir lima jam perjalanan dari rumah, sampai terlambat datang ke kantor karena memilih nonton pertandingan sampai larut alias begadang.
Bahkan, ada pula kisah absurd yang dialami penggemar sebuah klub sepakbola lantaran sang kekasih marah besar dan berani memberi ultimatum, “pilih aku atau Juventus?”.
Dalam konsep bangsa Yunani kuno, cinta dibagi ke dalam enam jenis yaitu Agape, Eros, Philia, Storge, Philautia, dan Xenia. Cinta para suporter sepakbola kepada tim kesayangannya patut dimasukkan ke dalam kategori Eros yakni cinta yang penuh gairah, intim, dan selalu ingin dibalas (lewat performa bagus tim tersebut di atas lapangan).
Dalam urusan cinta, suporter sepakbola selalu menjadi juaranya. Bagaimana tidak? Bertahan untuk tetap mencintai klub yang tidak selalu juara, sering kalah, berpenampilan medioker, terlibat skandal, ditinggalkan pemain pujaan, bahkan degradasi dan bangkrut pun mereka sanggup.
Sesulit apapun keadaan yang dialami klub tersebut, para suporter, walau senantiasa mengeluh dan kesal, tetap menyediakan ruang untuk mencintai dan bersikap setia. Percayalah, suporter sepakbola adalah budak cinta bukan isapan jempol belaka.
Sebagai contoh, fans AC Milan dan Manchester United, kini tengah merasakan fase sulit klub kesayangannya. Apakah mereka berpindah ke lain hati disebabkan hal tersebut? Belum tentu.
Begitu juga dengan mereka-mereka yang menggemari tim-tim papan bawah dan tidak terkenal. Malah dengan itu, saya memiliki respek yang tinggi. Mereka adalah para pencinta level sufi karena sanggup mencintai segala keterbatasan dengan ikhlas.
Saya sendiri pernah merasakan momen-momen berat seperti itu. Toh, karena rasa cinta yang kuat dan tulus buat Juventus, saya lolos dari ujian tersebut. Seperti yang diucapkan Alessandro Del Piero, “a true gentleman never leaves his lady”.
Lebih jauh, ada satu hal yang ingin saya utarakan. Sebagai budak cinta sebuah kesebelasan sepakbola, tak sepatutnya kita menodai afeksi tulus tersebut dengan perilaku buruk. Jangan hanya diakibatkan kekalahan tim kesayangan atau saling ejek dengan suporter lawan, nyawa manusia justru melayang. Rasa cinta kepada tim kesayangan harus tetap berada di relnya, legowo dan tidak melukai orang lain.
Menjadi budak cinta tim sepakbola, mungkin terdengar kolokan bagi sebagian orang. Namun seperti yang saya tuliskan di bagian awal artikel ini, rasa cinta itulah yang membuat hidup kita lebih berwarna.