Dalam karyanya yang sudah menjadi klasik, The Soldier and the State (1957), mendiang ilmuwan politik Amerika Serikat, Samuel P. Huntington, menawarkan sebuah tafsir modern atas peran angkatan bersenjata dalam batang tubuh sebuah negara.
Dengan mengambil contoh tindak dan tanduk hubungan angkatan bersenjata Amerika Serikat dan jajaran pemimpin politiknya, Huntington mengajukan teori bahwa hubungan antara negara (state) dan serdadu (soldier) sebaiknya didasari pada apa yang disebutnya sebagai kendali sipil secara obyektif (objective civilian control).
Huntington berpendapat bahwa institusi militer, sebagai pihak yang dididik secara khusus untuk bertempur dan menggunakan kekerasan untuk membela kedaulatan suatu negara, tidak seharusnya dibiarkan untuk bersaing di pasar bebas.
Yang dimaksud oleh Huntington adalah para serdadu ini wajib hukumnya dianggap profesional dan berkemampuan untuk melakukan hal-hal yang telah semestinya ia lakukan sesuai tugas-tugas militer pada umumnya, dan tidak patut mencerobohi “pasar bebas” tempat warga sipil bersaing.
Pun begitu, Huntington percaya bahwa elemen sipil harus memegang kendali penuh atas segala tindakan militer. Di Amerika Serikat, fokus utama riset Huntington, Presiden dan Menteri Pertahanan memiliki kuasa penuh untuk menggerakkan angkatan bersenjata, baik itu angkatan darat, laut, udara, hingga korps marinir.
Pemisahan antara elemen sipil dan militer begitu jelas termaktub sehingga terdapat perundangan yang melarang pengangkatan perwira tinggi untuk menempati jabatan Menteri Pertahanan sampai batas waktu tertentu setelah ia pensiun.
Juga sebaliknya, kepemimpinan sipil tak dapat sewenang-wenang mengangkat seorang letnan, misalnya, untuk duduk di rapat Kepala Staf Gabungan, karena itu menyalahi etika dan mencemarkan profesionalitas angkatan bersenjata.
Inilah yang disebut Huntington sebagai kendali objektif, di mana kedua pihak membangun semacam simbiosis komensalisme untuk menjaga stabilitas negara.
Walaupun karya Huntington secara umum berbicara tentang relasi antara militer dan politik, namun menarik juga untuk sedikit menggeser pemaknaan karya klasiknya itu ke ranah hubungan sepakbola dan politik, terutama dalam konteks lokal Indonesia.
Seperti yang kita tahu, tentara dan bola di Indonesia seakan dua entitas yang selalu saling terkait dan membutuhkan satu sama lain.
Bahkan sejak tahun-tahun awalnya, sepak bola Indonesia modern selalu punya hubungan dengan militer. Pada zaman Bung Karno, misalnya, mantan komandan Tentara Pelajar seperti Maladi sampai pesepakbola yang jadi komandan pengawal pribadi macam Maulwi Saelan, punya kuasa penuh atas PSSI.
Panglima-panglima militer di daerah tak jarang menggunakan sepak bola untuk merebut dukungan massa pada (tentara) republik, seperti halnya eks Pangdam Siliwangi Kolonel A.E. Kawilarang yang memprakarsai berdirinya Stadion Siliwangi di Bandung atau siasat politik Kolonel Ahmad Yani, yang pada saat turun bersama serdadunya di Padang untuk meredam gejolak PRRI pada akhir 1950-an, menargetkan kendali atas Stadion Benteng di tengah-tengah kota.
Namun pada zaman Soeharto-lah sepatu lars serdadu mulai benar-benar menjejak becek lapangan bola. Di zaman ketua federasi karate sampai bulu tangkis dikuasai para jenderal, PSSI pun tak ketinggalan untuk ditempati oleh angkatan bersenjata.
Lihat saja sederet nama ketua organisasi tersebut kala Orde Baru kokoh di tampuknya: Ali Sadikin, seorang Letnan Jenderal di KKO; Kardono, seorang Marsekal di Angkatan Udara; Azwar Anas, seorang Letnan Jenderal di Angkatan Darat; sampai Agum Gumelar, yang pensiun dengan tiga bintang dari Kopassus di pundaknya.
Tidak ketinggalan pula sederet klub Perserikatan dengan kepala daerah, boleh itu gubernur, wali kota, atau bupati, menyandang titel pembina, ketua umum, atau penasihat: tak jarang dengan masih berdinas aktif dan memegang tongkat komando.
Memasuki era reformasi, dengan dicopotnya kursi TNI di Senayan dan kembalinya para serdadu menuju barak dan tangsi, pengaruh militer masih tetap ada dan berkuasa. Pelatih-pelatih tim yang menginginkan disiplin dan pembentukan karakter bagi anak asuhnya, entah karena punya nostalgia masa lalu dengan loreng dan bedil atau memang sudah kehabisan akal untuk melatih, tak jarang justru mengirim anak asuhnya ke kamp militer untuk “pembinaan mental”.
Seperti misalnya yang terjadi pada tim nasional U23 jelang SEA Games 2011 yang ditempa instruktur militer dari Kopassus di Batujajar.
Jangan lupakan pula PS TNI, klub sepakbola yang didirikan untuk berkompetisi di Piala Jenderal Soedirman dan menurunkan pemain bola merangkap bintara macam Manahati Lestusen dan Ravi Murdianto. Terakhir, terpilihnya Panglima Kostrad Jenderal Edy Rahmayadi ke kursi PSSI 1 sebulan silam, seakan memulai kembali fase dominasi militer atas lapangan bola.
Fenomena ini sebenarnya tak terbatas pada Indonesia saja. Negara-negara yang pernah berada di bawah kendali diktatorisme militer atau kuasimiliter, cenderung memiliki lebih banyak elemen militer di ranah sepakbolanya.
Uni Soviet, misalnya, dengan cengkeraman militer yang kuat sepanjang kewujudannya, punya pengalaman panjang dengan pesepakbola yang dikirim ke sbori, kamp latihan musim dingin ala militer.
Tak mengherankan kalau kebanyakan klub besar memiliki kaitan erat dengan institusi pertahanan atau keamanan negara, seperti Dynamo Moscow yang berafiliasi dengan Kementarian Dalam Negeri dan CSKA Moscow yang dibekingi Angkatan Darat.
Sebaliknya, di negara-negara dengan tradisi kendali sipil atas militer yang kuat seperti Amerika Serikat atau Inggris, kita tak pernah menemukan tentara masuk ke lapangan sepakbola.
Sulit membayangkan LA Galaxy atau DC United berlaga kontra PS US Army di MLS, atau Liga Primer Inggris menerima Secret Intelligence Service M16 FC sebagai anggota dan menurunkan Royal Navy Commander James Bond sebagai false 9.
Tak sulit menarik benang merah bercelup ironi dalam kasus ini. Keterlibatan militer dalam ranah “sipil” seperti sepakbola, terutama di zaman demokrasi dan masyarakat madani yang kerap terdengar berdengung akhir-akhir ini, tampaknya harus dipikirkan kembali.
Seperti halnya Huntington menentang keras perwira militer melangkahi pejabat sipil, kuasa para serdadu seharusnya berhenti pada saat mereka melangkah masuk ke stadion. Pun bagi elemen sipil, mereka tak sepatutnya menggerus reputasi militer sebagai angkatan bersenjata profesional dengan menyibukkan mereka dalam hal mengurus sepak bola.
Ambil contoh penjualan tiket final Piala AFF baru-baru ini. Panitia pertandingan memutuskan bahwa jalan terbaik untuk menjual ribuan tiket itu pada suporter adalah dengan menjadikan Markas Garnisun Tetap 1 Jakarta, sebuah markas militer, menjadi tempat jual-beli karcis.
Ini adalah kasus klasik ketidakbecusan aparat sipil, dalam hal ini PSSI, dalam mengurus hal yang sudah seharusnya menjadi ranah dan wewenang mereka, sehingga merasa perlu untuk melempar beban itu pada aparat militer.
Yang terjadi akhirnya, adalah sekali lagi, supremasi militer atas sepakbola. Suporter yang berkerumun membeli tiket di markas tentara itu disuruh untuk berjalan jongkok, hukuman khas tentara, untuk meredam kekacauan. Kalau memang PSSI tidak kompeten untuk menjual karcis, mengapa pula tentara harus dilibatkan untuk mengatur barisan?
Alasan utama PSSI menjualnya di tempat itu adalah untuk menekan percaloan. Pertanyaannya, apakah tentara dilatih untuk memberantas calo? Dan jalan jongkok tadi tak dapat pula melerai kekacauan. Pada akhirnya, kericuhan tetap saja terjadi. Efektifkah campur tangan serdadu? Anda tahu sendiri jawabannya.
Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi gesekan antara elemen sipil dan militer, terutama di tribun penonton. Perlu dipahami bahwa kultur suporter di Indonesia masih kerap diwarnai slogan panas, ejekan menyengat, sindiran pahit, dan sebagainya.
Dan itu lumrah saja terjadi, karena memang begitulah umumnya rivalitas tim sepakbola di belahan dunia. Kedua belah pihak biasanya berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Kalau terjadi bentrok dan kerusuhan, misalnya, intensitasnya tentu tak separah konflik bersenjata.
Namun tentu Anda masih ingat dengan insiden antara suporter Gresik United dan PS TNI pada akhir bulan Mei silam. Kericuhan yang boleh dibilang tidak imbang, karena penonton Gresik tentu saja tak sepadan dengan serdadu TNI. Dalam hal ini saja telah terlihat apa jadinya ketika militer mencerobohi dan memegang supremasi atas urusan “sipil”, alias sepakbola.
Kembali pada narasi Huntington, harus ada sebuah garis batas yang jelas antara sipil dan militer. Siapa yang mengurus apa, siapa yang dikendalikan siapa. Dalam banyak hal, di Indonesia, elemen sipil masih memegang kendali lebih besar ketimbang sejawat militernya dibanding dua atau tiga puluh tahun yang lampau.
Namun di lapangan bola, salah satu bidang yang seharusnya dikendalikan penuh oleh unsur-unsur sipil, keberadaan sepatu lars dan tongkat komando masih banyak dirasakan.
Sudah saatnya state dan military mengurus domainnya masing-masing, karena tentara tak pernah dilatih untuk menjual karcis atau suporter sipil berpengalaman bentrok dengan serdadu. Lapangan bola bukan tempat tentara untuk bersaing, tapi ia “pasar bebas” buat warga sipil buat beradu.
Atau, kalau supremasi sipil atas militer dirasa kurang, gantikan kata “sipil” pada kalimat itu menjadi “bola”. Ya, supremasi bola atas militer.