Selama bertahun-tahun, ada perdebatan klasik di dunia musik tanah air. Salah satu yang populer adalah stigma bahwa penyuka musik dangdut adalah orang kampung, sedangkan musik modern semisal pop, rock, dan jazz lebih sophisticated serta sangat mencerminkan selera orang kota yang modern
Tapi, bagi sebagian orang yang menyukainya, dangdut tidak hanya selera orang rendahan atau orang kampung. Dangdut juga tidak semata-mata dibenci karena beberapa orkes dangdut kerapkali hanya menampilkan penyanyi dengan dandanan seronok dan goyangannya yang vulgar.
Lebih dari itu, bagi para penikmatnya, dangdut adalah musik yang sama sophisticated-nya dengan jazz dan pop.
Rekomendasi T-Shirt Timnas Indonesia dari Erspo
Musik lainnya semisal jazz dan pop pun tidak mutlak mencerminkan para penikmatnya adalah orang kota yang well-educated dan borjuis. Tidak ada penelitian ilmiah yang memberi penjelasan logis bahwa penyuka musik jazz adalah selalu orang-orang pintar.
Kalau Rhoma Irama tiba-tiba menyanyikan lagu “Begadang” dengan nuansa jazz, Anda mau apa? Musik dan selera telinga orang dalam mendengarkan apa pun adalah hak pribadi masing-masing. Dan karena itu selera, semuanya menjadi sangat relatif.
Sama seperti keindahan dan nilai-nilai estetika, semua yang bisa ditakar dan diukur oleh manusia di dunia ini, selalu relatif. Jadi memperdebatkan hal yang relatif itu bebal. Membosankan. Jauh lebih membosankan dari sepak bola ala Tony Pulis.
Sebut saja saya moralis. Dan memang saya mendaku diri sebagai moralis sepak bola. Ini pilihan dari berbagai macam cara menonton sepak bola yang saya sukai.
Dimainkan dengan intensitas serangan yang tinggi. Kebobolan 5 gol pun tak mengapa, asal di akhir, tim yang saya dukung mampu mencetak enam hingga tujuh gol. Saya memuja kekalahan 8-2 Arsenal dari Manchester United, daripada harus menyerah kalah 0-1 dari tim asuhan Tony Pulis.
Sebagai moralis, sudah sewajarnya untuk mengutuk sepak bola membosankan ala Jose Mourinho. Walau perlahan seiring berjalannya waktu, berkat tulisan Darmanto Simaepa, saya sedikit memaafkan Jose karena pilihan filosofinya berangkat dari kekecewaan terhadap sesuatu hal yang prinsipil.
Tapi ketika para liyan, sang penolak kemapanan sepak bola atraktif warisan Magical Magyars Hungaria dan Johan Cruyff di Belanda kemudian angkat suara lalu menyuarakan kritikan pada para moralis, ini menjadi hal yang lucu.
Semakin lucu ketika para moralis balik menuding para liyan, memainkan nilai-nilai pragmatisme demi menyudutkan pemuja keindahan di sepak bola.
Sebentar, sebentar, sebenarnya apa yang diributkan soal keindahan di sepak bola?
Sepak bola akan kehilangan kenikmatannya ketika cara menonton dan mengagumi sepak bola dibagi-bagi per ruangnya dan diberi dikotomi dengan cara yang seenaknya.
Saya selalu sakit perut dan mual ketika menonton setiap tim asuhan Jose Mourinho bermain. Semakin mual akut ketika melihat Arsenal bermain melawan tim asuhan Tony Pulis di Liga Inggris tiap waktunya.
Dua nama pelatih ini selalu berhasil membuat kepala saya pening, badan berkeringat dingin dan mual berkepanjangan. Saya mengutuk, tapi di satu sisi, sensasi yang dirasakan ketika melihat para pemuja sepak bola defensif bermain, memberi sesuatu untuk dirasakan dan dinikmati dengan cara berbeda.
Reaksi badan yang berkeringat dingin, tangan mengepal karena geregetan melihat serangan bergelombang gagal menembus parkir bus lawan, hingga kepala yang pusing setengah mati saat satu skema bola mati ala Tony Pulis sukses menghasilkan gol. Itu luar biasa. Perasaan itu yang membuat sepak bola tidak hanya melulu sebuah kepingan berita atau rentetan data statistik.
Sepak bola adalah pertarungan hasrat. Hasrat untuk juara ala Jose, hasrat lepas dari degradasi ala Pulis, semua bersanding dengan elok di jajaran sepak bola juego de posicion ala Pep Guardiola hingga total voetball milik Rinus Michels dan Johan Cruyff.
Dari Jose Mourinho hingga Diego Simeone
Perdebatan dan kritik terhadap sepak bola defensif mengemuka, salah satunya dipicu keberhasilan Atletico Madrid asuhan Diego Simeone lolos ke partai puncak Liga Champions Eropa 2015/2016 usai menundukkan Bayern Munchen di semifinal dengan keunggulan gol tandang (4/5).
Meminjam ucapan Sirajudin Hasbi, membandingkan Jose Mourinho dengan Diego Simeone adalah upaya membandingkan sesuatu yang tak sebanding.
Jose kerapkali menginstruksikan pemainnya untuk pasif dan menunggu bola, sedangkan di satu sisi, Simeone menerapkan intensitas menekan lawan dengan cara yang spartan. Jarang melihat Jose bermain menekan lawan dengan pressure tinggi, walau bukan berarti ia tidak pernah menerapkan strategi itu sama sekali selama kariernya.
Keduanya sekilas serupa, tapi berbeda. Ketika Jose memilih untuk menyerap serangan lawan sebanyak-banyaknya, Simeone memilih untuk memantulkan serangan lawan dengan cara dua hingga tiga kali lebih menyakitkan.
Rabu dinihari (4/5), misalnya. Ketika Jerome Boateng melakukan sekali kesalahan dalam mengumpan, hanya dalam empat sentuhan setelahnya, Atleti melancarkan serangan balik dengan pergerakan dari empat pemain. Hasil akhirnya terasa dengan gol tandang yang diceploskan Antoine Griezmann ke gawang Manuel Neuer.
Kalau Anda cermati dengan menonton Atleti musim ini, Los Rojiblancos membangun benteng tidak hanya sekadar menumpuk pemain di depan gawang. Ia menerapkan kompaksi yang rapat. Transisi menyerang dan bertahan yang baik.
Pergerakan dua bek sayap hebat, Juanfran-Filipe Luis, yang stabil dan reaktif. Hingga produktivitas gol Antoine Griezmann yang luar biasa. Sejauh ini sang pria Prancis sudah mengoleksi 31 gol dari 51 laga jadi sekelumit fakta bahwa Cholo—sapaan akrab Simeone—tidak memainkan sepak bola pasif dan defensif yang membosankan.
Tak perlu menonton senam ritmik atau renang indah untuk mengagumi nilai estetika dari sebuah cabang olahraga. Di sepak bola, semuanya ada.
Dari yang buruk ke yang cantik. Dari yang hebat dan yang pecundang. Dari sepak bola busuk ala Aston Villa, hingga kegemilangan Leicester City saat menjuarai Liga Inggris musim 2015/2016 ini.
Jangan sampai sepak bola yang selalu indah dan nikmat ditonton ini mengubah kita menjadi suporter yang fasis.